Lunara Ayzel Devran Zekai seorang mahasiswi S2 jurusan Guidance Psicology and Conseling Universitas Bogazici Istanbul Turki. Selain sibuk kuliah dia juga di sibukkan kerja magang di sebuah perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI.
Ayzel yang tidak pernah merasa di cintai secara ugal-ugalan oleh siapapun, yang selalu mengalami cinta sepihak. Memutuskan untuk memilih Istanbul sebagai tempat pelarian sekaligus melanjutkan pendidikan S2, meninggalkan semua luka, mengunci hatinya dan berfokus mengupgrade dirinya. Hari-hari nya semakin sibuk semenjak bertemu dengan CEO yang membuatnya pusing dengan kelakuannya.
Dia Kaivan Alvaro Jajiero CEO perusahaan Tech Startup platform kesehatan mental berbasis AI. Kelakuannya yang random tidak hanya membuat Ayzel ketar ketir tapi juga penuh kejutan mengisi hari-harinya.
Bagaimana hari-hari Ayzel berikutnya? apakah dia akan menemukan banyak hal baru selepas pertemuannya dengan atasannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayu Anfi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 6. Perhatin Alvaro pada Ayzel
...“Kendi Yolumu Çiziyorum”...
...(aku sedang menggambar jalanku sendiri)...
...“Hergün bir umut, her gece bir huzur”...
...(Setiap hari adalah harapan, setiap malam adalah kedamaian)...
Alvaro sengaja membiarkan Ayzel berjalan masuk lebih dulu, dia bukan tidak tahu asistennya itu merasa tidak nyaman jika terlihat satu mobil dengannya. Tapi dia memang sengaja melakukan itu, Alvaro sudah merasa Ayzel itu unik dan menggemaskan. Saat itu dia kira tidak akan pernah berjumpa dengan perempuan tersebut, ternyata Tuhan malah mempertemukan mereka kembali.
“Olivi. Saya minta tolong bawakan piring dan mangkuk ke meja pak Alvaro,” Ayzel minta tolong pada salah satu office girl yang berpapasan dengannya.
“Tamam Ayzel abla,” office girl tersebut menjawab baik, kak ayzel. Kemudian dia bergegas ke pantry mengambil barang yang di minta Ayzel.
Ayzel berjalan dengan sedikit tergesa menuju ruangannya, sementara Alvaro berjalan dengan santai sambil sesekali membalas sapaan dari karyawannya. Ayzel menyalakan PC terlebih dahulu setelah sampai di mejanya, baru setelah itu dia menyiapkan sarapan atasannya.
“Aferdesin, pardon” Olivi masuk setelah mengucapkan permisi dan mengetuk pintu, dia membawakan barang yang di minta Ayzel.
“Teşekkürler,” Ayzel mengucapkan terimakasih dan mempersilahkan Olivi untuk kembali meyelesaikan pekerjaannya.
Ayzel mulai menyiapkan bubur untuk Alvaro, dia membuka kotak-kotak bekal berisikan bubur bersama pelengkapnya di meja. Semenjak harus membuatkan sarapan untuk atasannya itu, Ayzel memang membeli tempat makan yang tahan panas.
“Sarapan anda pak Alvaro,” ucap Ayzel ketika melihat atasannya itu masuk ruangan. Ayzel sudah menata kotak-kota bekal itu dengan rapi.
“Oh ... oke, waah pas sekali saya sudah lapar” Alvaro duduk di sofa bersiap menikmati bubur ayamnya, dia melirik pada Ayzel.
“Kenapa?” Ayzel sadar dengan lirikan atasannya.
“Eumm ...” Alvaro memainkan sebelah matanya, memberikan kode meminta Ayzel meracikkan bubur untuknya.
“Hmm ... memangnya saya istri bapak? Ada-ada saja,” Ayzel tidak bergumam tapi mengucapkan dengan intonasi biasa.
“Boleh! Mari besok ke KUA,” Alvaro membuat tubuhnya bergerak condong kearah Ayzel.
“Salah bicara lagi. Lupa saya kalau anda tidak akan serius saat seperti ini,” Ayzel mengambilkan bubur dan menaruh beberapa pelengkap ke dalam piring.
“Waaah ... aroma makanan yang saya rindukan,” Alvaro terlihat sumringah saat Ayzel memberikan mangkuk yang sudah berisikan bubur lengkap.
Ayzel heran melihat ekspresi sumringah Alvaro seolah baru mendapatkan sesuatu yang sangat berharga. Terlebih masakannya bukanlah masakan yang bisa dianggap setara dengan masakan chef profesional, itu hanya bubur nasi biasa dengan ayam beserta pelengkapnya.
“Mau dibuatkan kopi atau teh?” tawarnya pada Alvaro.
“Air mineral saja. Tolong,” Ayzel menuangkan air mineral pada gelas dan memberikannya pada Alvaro.
Ayzel kembali ke mejanya untuk segera menyiapkan berkas materi meeting, siang ini Alvaro akan ada meeting dengan beberapa divisi untuk membahas konsep baru yang akan di luncurkan perusahaan. Dia terusik saat melihat atasannya menikmati bubur ayam buatannya, Ayzel dapat melihat senyum dan binar mata Alvaro dalam setiap suapan yang masuk ke dalam mulutnya.
"Terimakasih Ze,” Alvaro sudah selesai dengan aktivitas sarapannya. Salah satu hal yang Ayzel suka dari atasannya itu adalah dia selalu mengucapkan trimakasih setelah selesai menyantap makanan buatannya.
“Apa bubur ayam rasanya selezat itu pak?” dia penasaran melihat Alvaro yang tak henti-hentinya tersenyum bahkan setelah selesai makan.
“Hmm ... entahlah!” Alvaro mengangkat ke dua bahunya.
“Haah?” Ayzel bingung dengan jawaban Alvaro.
“Mungkin karena saya rindu masakan Indonesia. Terutama masakan rumahan, saya sudah jarang ke Indonesia. Saya rindu cita rasa masakan mama saya Ze,” Alvaro tersenyum menatap Ayzel.
“Oh ... tapi bukannya setiap negara ada restoran Asia?” Ayzel tahu atasannya tersebut kehilangan mamanya saat dia masih muda, jadi dia tidak bertanya perihal mamanya. Dia tahu karena dalam berkas yang dia pelajari menjelaskan tentang siapa dia, walaupun tidak semua tertulis.
“Entahlah. Saya merasa tetap ada rasa yang berbeda, bukan cita rasa asli Indonesia. Terimakasih untuk sarapannya,” sekali lagi Alvaro mengucapkan terimakasih padanya.
“Sama-sama pak,” Ayzel tentu merasa senang dengan hal tersebut. Bagaimana tidak jika sesuatu yang dia buat bisa membuat seseorang tersenyum dengan penuh ketulusan sambil berterimakasih.
Mereka kembali fokus pada pekerjaan masing-masing, Ayzel juga sudah menyerahkan berkas untuk meeting sebentar lagi.
“Pak Alvaro yakin mempertemukan dua divisi hari ini?” Ayzel memastikan sekali lagi pada atasannya.
“Iya. Ada apa?” Alvaro menaikkan sebelah alisnya menuntut penjelasan pada Ayzel. Karena sudah dua kali pagi ini dia menanyakan hal yang sama.
“Tidak apa-apa pak,” Ayzel tersenyum dan berlalu menuju ruang meeting. Dia hanya berharap tidak ada perdebatan nanti saat meeting, Ayzel tidak mau terlambat ke kampus hari ini.
Mereka sudah ada di ruang meeting, agenda hari ini untuk membahas project kerja sama dengan salah satu rumah sakit. Salah satu rumah sakit swasta di Turki akan melakukan kerja sama dengan perusahaan Alvaro terkait penggunaan aplikasi kesehatan mental berbasis AI.
“Silahkan presentasi di mulai dari divisi 1, setelah itu di lanjutkan dengan divis 2!” pak Kim mempersilahkan divisi riset untuk mempresentasikan hasil riset terlebih dahulu. Setelah itu baru divisi pengembangan konsep.
Semua mendengarkan dengan seksama presentasi dari ke dua divisi, Alvaro tertegun dengan fokus Ayzel. Perempuan itu terlihat mencatat beberapa hal dari presentasi, dia juga menaruh perekam suara di mejanya.
“Ada yang ingin di tanyakan dari ke dua divisi?” pak Kim memulai sesi lebih serius.
“Bagaimana dengan hasil riset? Apakah sudah memenuhi standar untuk aplikasi dapat di gunakan?” Alvaro memastikan pada di visi riset lebih dahulu.
“Kami kira sudah pak. Selama beberapa bulan kami sudah melakukan uji lapangan,” ketua tim dari divisi 1 menjelaskan pada Alvaro.
“Mohon maaf pak. Tapi kami dari divisi konsep merasa data hasil riset belum memenuhi standar, setidaknya kami butuh tambahan waktu untuk hasil yang lebih meyakinkan.” Ketua tim divisi 2 menjelaskan juga alasan mereka.
Inilah yang di takutkan Ayzel, menyatukan dua divisi tersebut dalam satu waktu yang sama bukan hal yang mudah. Dia pernah menjadi tim dari dua divisi tersebut, jadi dia sangat paham.
“Lalu kalian punya solusi apa untuk masalah tersebut?” Alvaro bersuara di tengah perdebatan dua divisi tersebut. Seketika semuanya menjadi diam, mereka terlihat saling berbisik untuk berdiskusi.
Sementara Ayzel sudah terlihat selalu melihat arlojinya, bagaimana tidak jika saat ini sudah jam 12 siang. Namun meeting juga belum ada tanda selesai, padahal dia harus ke kampus untuk ujian jam dua siang.
“Berapa lama lagi kalian berdiskusi? Saya butuh jawaban kalian secepatnya,” Alvaro sedikit menaikkan tone suaranya dala ruangan tersebut.
Ayzel tahu tidak akan mudah untuk mereka langsung menemukan solusinya, karena aplikasi tersebut akan di gunakan pihak rumah sakit. Aplikasi untuk manajemen perawatan rumah sakit yang akan melibatkan banyak aspek.
“Drrrttt ... drrtt,” ponsel Ayzel tak henti-hentinya bergetar. Melihat hal tersebut Alvaro melihat arlojinya, sudah lebih dari jam dua belas.
“Sudah berangkat belum? Jangan sampai terlambat kali ini,” Naira mengirimi Ayzel pesan karena panggilan teleponnya tidak juga diangkat Ayzel.
“Aku masih meeting. Carikan aku tempat duduk,” Ayzel sudah sangat resah. Kalau hanya kuliah biasa tidak masalah terlambat, tapi ini adalah ujian mata kuliah terakhir. Dia tidak inging mengulang tahun depan, itu akan menghambat tesisnya juga.
“Dasar Ayzel. Ini ujian, awas saja kalau terlambat” Ayzel menghela napas panjang. Berharap meeting segera selesai.
Suasana meeting menjadi sedikit tidak kondusif, dua divisi tidak ada yang mau mengalah. Divisi dua menghendaki riset di tambah dua bulan lagi, sementara divisi satu bersikukuh bahwa hasil yang mereka lakukan sudah cukup.
“Saya beri kalian waktu tiga hari untuk mencari solusi,” semua di buat terkejut dengan ucapan atasan mereka yang menyudahi meeting. Alvaro terlihat sedikit marah pada mereka semua.
Mendengar Alvaro menyudahi meeting, Ayzel langsung menghambur ke luar dari ruang meeting tanpa perduli jika atasannya akan marah. Dia lebih memilih Alvaro menegurnya dibanding harus mengulang satu mata kuliah semester depan.
Ayzel bergegas ganti baju untuk segera berangkat ke kampus, bahkan dia meninggalkan beberapa barangnya di meja. Dia hanya membawa macbooknya, sementara ipadnya dia tinggal di meja kantor untuk bergegas ke halte bus.
“Ze ... Ze,” bahkan panggilan Alvaro tidak di dengar Ayzel. Dia berlari melewati Alvaro begitu saja.
“Mau kemana dia Al?” tanya pak Kim saat melihat Ayzel mengabaikan panggilan Alvaro.
“Sepertinya ada ujian mata kuliah jam dua,” Alvaro melihat arlojinya dan ternyata sudah jam satu siang.
“Oh ... mau makan siang atau tidak?” tanya pak Kim kembali.
“Aku makan siang sendiri saja nanti,” Alvaro kembali ke ruangan, sementara pak Kim menyelesaikan urusannya yang lain.
Alvaro melihat meja Ayzel yang masih belum di rapikan, sesibuk apapun biasanya dia akan merapikan dulu mejanya. Bahkan ipadnya juga tertinggal, Alvaro ingat totebag Ayzel juga tertinggal di mobilnya.
“Ternyata bisa ceroboh juga dia saat panik,” Alvaro mengambil ipad Ayzel dan membawanya. Mungkin saja Ayzel masih di bawah dan Alvaro juga hendak pergi makan siang.
Alvaro sudah berada di mobilnya, sebelum melajukan kendaraannya dia melihat totebag Ayzel yang tertinggal. Dia meraih totebag tersebut dari kemudi depan, melihat isinya pakah penting atau hanya barang biasa.
“Hari ini dua kali dia melakukan kecerobohan,” Alvaro bermonolog dengan dirinya sendiri dan tersenyum. Dia melanjukan mobilnya menembus jalanan Istanbul siang itu.
“Nona cantik sepertinya butuh tumpangan?” Alvaro berhenti di halte bus dan menurunkan kaca mobilnya.
“Pak Alvaro? Kok di sini,” Ayzel terkejut mendapati mobil atasannya yang berhenti di halte.
“Cepat masuk! Sebelum saya kena tilang karena berhenti di halte,” titah Alvaro pada Ayzel.
Pada akhirnya Ayzel tetap masuk ke mobil Alvaro, meskipun sebelumnya da sedikit keraguan. Setidaknya dia tidak akan terlambat sampai kampus, itu akan menghemat waktunya agar dapat masuk kelas ujian tepat waktu.
“Silahkan sebutkan tujuan anda nona,” Alvaro menggoda Ayzel sambil terus fokus menyetir.
“Cosplay jadi supir pak?” Ayzel membuka maps dan di berikannya pada Alvaro.
“Bisa jadi apa saja untuk nona,” Alvaro terkekeh dengan jawabannya sendiri.
Ayzel baru ingat materi ujiannya tertinggal di mobil Alvaro, dia terlihat mencari-cari totebagnya di belakang. Alvaro tersenyum gemas melihat Ayzel yang memutar tubuhnya ke belakang untuk mencari totebag tersebut.
“Lihat bawah kakimu nona Ze,” ujarnya pada Ayzel.
“Ah ... trimakasih pak,” dia tersipu malu. Entah apa yang akan Alvaro pikirkan tentangnya yang ceroboh hari ini.
Alvaro melaju dengan kecepatan yang agak tinggi, dia tahu kalau Ayzel harus sampai paling tidak lima belas menit sebelum ujian. Sementara Ayzel membaca beberapa materi kuliah untuk ujiannya.
“Sudah sampai nona Ze,” Alvaro bahkan masuk sampai fakultas Ayzel.
“Trimakasih pak Alvaro,” Ayzel bergegas turun dari mobil Alvaro.
“Tidak gratis ya nona Ze!” Ayzel berbalik melihat Alvaro.
“Ok pak. Bilang saja butuh apa,” ucap Ayzel pada Alvaro sembari berlari menuju kelasnya.
Alvaro masih di sana menatap Ayzel yang berlali menuju kelasnya, dia baru pergi dari fakultas itu setelah Ayzel benar-benar menghilang dari pandangannya. Alvaro menuju cafe yang tak jauh dari fakultas Ayzel, dia memutuskan untuk makan siang di sana.
“Bayarannya makan malam,” Alvaro mengirim pesan pada Ayzel.
“Malam ini?” Ayzel mengerutkan keningnya membaca pesan dari Alvaro.
“Tahun depan Ze. Tentu saja malam ini,” Alvaro melakukan selfie dan mengirimkannya pada Ayzel.
“Kamu harus tanggung jawab. Saya melewatkan makan siang karena mengantarmu,” Alvaro mengirim fotonya sedang makan pide dan segelas kopi di cafe dekat kampus.
“Ok ... saya selesai sekitar jam 4 sore ini,” Ayzel tidak mungkin menolak karena berkat Alvaro juga dia tidak terlambat ujian.
“Saya tunggu di sini sampai kamu selesai,” balas Alvaro.
Ayzel melihat ponselnya, membaca kembali pesan yang dikirim Alvaro. Dia tidak membalasnya lagi karena sudah masuk waktu ujian, dia juga harus menemui dosen untuk revisi tesis setelah ujian. Soal Alvaro dia akan pikirkan nanti setelah ujian dan temu pembimbingnya selesai.