Hidup Kirana Tanaya berubah dalam semalam. Ayah angkatnya, Rangga, seorang politikus flamboyan, ditangkap KPK atas tuduhan penggelapan dana miliaran rupiah. Keluarga Tanaya yang dulu disegani kini jatuh ke jurang kehancuran. Bersama ibunya, Arini—seorang mantan sosialita dengan masa lalu kelam—Kirana harus menghadapi kerasnya hidup di pinggiran kota.
Namun, keterpurukan ekonomi keluarga membuka jalan bagi rencana gelap Arini. Demi mempertahankan sisa-sisa kemewahan, Arini tega menjadikan Kirana sebagai alat tukar untuk mendapatkan keuntungan dari pria-pria kaya. Kirana yang naif percaya ini adalah upaya ibunya untuk memperbaiki keadaan, hingga ia bertemu Adrian, pewaris muda yang menawarkan cinta tulus di tengah ambisi dan kebusukan dunia sekitarnya.
Sayangnya, masa lalu keluarga Kirana menyimpan rahasia yang lebih kelam dari dugaan. Ketika cinta, ambisi, dan dendam saling berbenturan, Kirana harus memutuskan: melarikan diri dari bayang-bayang keluarganya atau melawan demi membuktika
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lucky One, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rasa penasaran arzan
Arini duduk di sudut bar, kedua tangannya gelisah menggenggam gelas minuman yang belum disentuhnya. Ia tampak bimbang, wajahnya memancarkan kecemasan yang sulit disembunyikan. Tidak lama kemudian, Mirna datang dan langsung duduk di hadapannya, tersenyum tipis seperti biasa.
"Jadi, bagaimana? Kirana masih belum mau menuruti permintaanmu?" tanya Mirna sambil memesan minuman.
Arini menghela napas berat. "Dia keras kepala sekali, Mirna. Aku sudah mencoba bicara baik-baik, mencoba membujuknya dengan segala cara, tapi dia tetap menolak. Bahkan saat aku mengatakan bahwa ini semua demi masa depan kita."
Mirna tersenyum sinis. "Kirana itu terlalu polos untuk memahami keuntungan dari menikahi pria seperti Haryo. Anak muda zaman sekarang terlalu idealis."
"Aku bingung harus bagaimana lagi," kata Arini, suaranya melemah. "Haryo sudah memberikan tenggat waktu dua minggu. Kalau aku gagal, aku harus mengembalikan uangnya. Kau tahu aku tidak mungkin bisa melakukannya."
Mirna mengaduk minumannya dengan santai, lalu bersandar di kursinya. "Dengar, Arini. Ada satu cara yang menurutku efektif, tapi memang membutuhkan sedikit keberanian darimu."
Arini menatap Mirna penuh harap. "Cara apa? Aku akan mencoba apa saja."
Mirna mendekatkan wajahnya ke Arini dan berbicara pelan. "Bagaimana jika kau mengancam Kirana dengan alasan ayahnya, Rangga? Kau tahu Kirana sangat dekat dengan Rangga. Jika kau mengatakan bahwa Haryo bisa membuat masa tahanan Rangga diperpanjang, aku yakin dia akan mempertimbangkan pernikahan itu."
Arini tersentak, wajahnya berubah tegang. "Apa? Mengancam Kirana dengan ayahnya? Tapi... Haryo tidak pernah mengatakan hal semacam itu."
Mirna tersenyum tenang, seolah saran itu bukanlah hal besar. "Tidak perlu benar-benar melibatkan Haryo. Cukup katakan bahwa Haryo punya kekuasaan untuk memperpanjang hukuman Rangga jika Kirana tidak menuruti kemauannya. Lagipula, siapa yang tahu kalau itu benar atau tidak? Yang penting Kirana percaya."
Arini menggeleng, ragu. "Aku tidak yakin, Mirna. Itu terlalu kejam. Aku tahu Kirana dekat dengan ayahnya, tapi memanfaatkan hubungan itu... aku takut malah membuatnya semakin membenciku."
Mirna menepuk tangan Arini dengan nada menenangkan. "Arini, kau sendiri yang bilang bahwa kau tidak punya pilihan lain. Kau sudah menerima uang itu, dan kau tahu Haryo tidak akan tinggal diam kalau kau gagal memenuhi janjimu. Ini satu-satunya cara. Percayalah, setelah menikah, Kirana akan terbiasa dengan kehidupan barunya."
Arini terdiam, pikirannya kalut. Ia tahu Mirna mungkin benar. Tapi hatinya diliputi keraguan dan rasa bersalah. Membayangkan Kirana menangis lagi karena dirinya membuat hatinya terasa berat.
"Baiklah," kata Arini akhirnya, meskipun suaranya terdengar goyah. "Aku akan mencobanya. Tapi, aku harap kau benar, Mirna."
Mirna tersenyum puas, mengangkat gelasnya. "Percayalah, semuanya akan berjalan sesuai rencana. Kau hanya perlu memainkan peranmu dengan baik."
Arini memejamkan matanya sesaat, berusaha menenangkan debaran di dadanya. Ia tahu bahwa keputusan ini akan membawa konsekuensi besar baik untuk dirinya, maupun untuk Kirana.
...****************...
Arzan melangkah pelan di sepanjang lorong rumah Haryo yang dipenuhi oleh lukisan-lukisan indah. Matanya tertuju pada sebuah lukisan besar di dinding utama, gambaran lanskap pedesaan yang tampak begitu hidup. Ia menghela napas ringan, mengagumi detail yang tertuang dalam setiap sapuan kuas.
Rumah Haryo memang memancarkan kemewahan, tetapi juga terasa dingin dan sepi. Tidak ada tanda-tanda kehidupan selain suara langkah kaki pelan dari pelayan yang berlalu-lalang. Sesaat sebelumnya, Haryo telah berpamitan untuk pergi bekerja, meninggalkan Arzan sendiri untuk menghabiskan waktu.
Ketika Arzan hendak melangkah ke ruang tengah, ia melihat Bi Lina keluar dari arah dapur dengan membawa nampan yang penuh dengan makanan. Terdapat mangkuk sup, sepotong roti, dan segelas jus. Bi Lina berjalan terburu-buru, tetapi Arzan menghentikannya dengan senyuman ramah.
“Bi Lina, siapa yang akan makan ini? Bukankah Haryo sudah pergi?” tanya Arzan dengan nada ingin tahu.
Bi Lina tampak terkejut. Tatapannya gugup dan ia jelas mencari-cari jawaban yang tepat. “Ah, ini... ini untuk... untuk salah satu tamu Pak Haryo,” jawabnya terbata-bata.
“Tamu?” Arzan mengangkat alis, semakin penasaran. “Sepertinya aku tidak melihat ada orang lain di sini tadi pagi. Di mana tamu itu sekarang?”
Bi Lina semakin kebingungan, kedua tangannya yang memegang nampan sedikit gemetar. “I-itu... tamunya di kamar. Sedang istirahat, Pak Arzan. Mohon maaf, saya harus segera mengantarkan ini.”
Tanpa menunggu respon dari Arzan, Bi Lina berjalan cepat meninggalkan lorong dan menuju ke lantai atas. Arzan berdiri terpaku di tempatnya, merasa ada sesuatu yang tidak beres.
“Sejak kapan Haryo menyembunyikan tamu di rumahnya?” gumamnya pelan, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.
Keingintahuannya semakin besar. Ia mengenal Haryo cukup baik untuk tahu bahwa sepupunya bukan tipe orang yang suka menjamu tamu tanpa alasan tertentu. Apalagi rumah itu biasanya hanya dihuni oleh Haryo sendiri.
Arzan memutuskan untuk tidak langsung mengejar Bi Lina, tetapi ia mencatat hal itu dalam benaknya. Sikap gugup pelayan itu terlalu mencurigakan untuk diabaikan. Dengan langkah perlahan, ia berjalan menuju tangga, seolah-olah hanya ingin menjelajahi rumah.
Namun, pikirannya tidak bisa lepas dari apa yang baru saja ia lihat. Siapa sebenarnya tamu yang dimaksud Bi Lina? Dan mengapa Haryo tidak memberitahunya tentang kehadiran seseorang di rumah?
Di lorong menuju kamar-kamar, Arzan berhenti sejenak. Ia mendengar suara langkah kaki Bi Lina menjauh, tetapi tidak ada suara lain yang mencolok. Rasa penasarannya semakin menguasai dirinya, tetapi ia memutuskan untuk tidak terburu-buru.
Arzan memperhatikan dari kejauhan saat Bi Lina keluar dari sebuah kamar di ujung lorong, membawa nampan kosong di tangannya. Ia menyempatkan diri melirik sekilas ke dua bodyguard yang berdiri kaku di depan pintu kamar itu. Sikap mereka waspada, bahkan ketika Bi Lina lewat, seolah memastikan tidak ada yang bisa masuk atau keluar tanpa seizin mereka.
Rasa penasaran Arzan semakin besar. Siapa yang dijaga dengan begitu ketat di rumah sepupunya? Haryo memang memiliki kecenderungan untuk merahasiakan sesuatu, tetapi ini berbeda. Penjagaan seperti ini lebih cocok untuk menyembunyikan seseorang daripada sekadar menjamu tamu.
Arzan menyembunyikan kegelisahannya dengan berjalan santai, seolah-olah hanya berkeliling rumah untuk menikmati dekorasinya. Namun, matanya terus mengamati kamar yang dijaga ketat itu.
Ketika ia melintas, salah satu bodyguard menoleh ke arahnya, seakan memperingatkan agar tidak terlalu dekat. Arzan memberikan senyum kecil, berpura-pura tidak peduli, lalu berlalu begitu saja. Namun, pikirannya terus bekerja mencari cara untuk mengetahui siapa yang ada di dalam kamar itu.
Di ruang tamu, Arzan duduk di sofa, mencoba menyusun rencana. Ia tahu bahwa mendekati kamar secara langsung hanya akan menimbulkan kecurigaan. Mungkin Bi Lina bisa menjadi jawabannya, pikirnya.