🔥Bocil dilarang mampir, dosa tanggung masing-masing 🔥
———
"Mendesah, Ruka!"
"El, lo gila! berhenti!!!" Ruka mendorong El yang menindihnya.
"lo istri gue, apa gue gak boleh pakek lo?"
"El.... kita gak sedekat ini, minggir!" Ruka mendorong tubuh El menjauh, namun kekuatan gadis itu tak bisa menandingi kekuatan El.
"MINGGIR ATAU GUE BUNUH LO!"
———
El Zio dan Haruka, dua manusia dengan dua kepribadian yang sangat bertolak belakang terpaksa diikat dalam sebuah janji suci pernikahan.
Rumah tangga keduanya sangat jauh dari kata harmonis, bahkan Ruka tidak mau disentuh oleh suaminya yang merupakan Badboy dan ketua geng motor di sekolahnya. Sementara Ruka yang menjabat sebagai ketua Osis harus menjaga nama baiknya dan merahasiakan pernikahan yang lebih mirip dengan neraka itu.
Akankah pernikahan El dan Ruka baik-baik saja, atau malah berakhir di pengadilan agama?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nunna Zhy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 31
"Ruka..." Diego menyodorkan sebuah cake red velvet ke hadapan Ruka, senyumnya tulus, penuh perhatian. "Gue inget ini favorit lo," tambahnya, membuat suasana di sekitar meja sedikit lebih hangat.
"Thanks, Di," jawab Ruka sambil tersenyum balik, menerima cake itu dengan tangan ringan. Tapi alisnya sedikit mengerut saat ia mengalihkan pandangan dari Diego ke Hana dan lelaki di sebelah sahabatnya. "Tunggu, kalian sejak kapan akrab?" tanyanya, penuh rasa ingin tahu.
"Baru seminggu yang lalu," jawab Hana, sambil melirik Rico dengan tatapan genit. "Iya kan, honey?"
"Hah?" Ruka hampir tersedak ludahnya sendiri, tangannya refleks meraih segelas air untuk menenangkan tenggorokannya. "Bentar, bukannya Marcel pacar lo, Han? Kok sekarang tiba-tiba jadi Rico?" Ruka berbisik, mencoba mengatur volume suaranya agar tak menarik perhatian Rico.
"Marcel udah kelaut, sekarang Rico cowok gue."
"Cepet banget move on lo," komentar Ruka dengan ekspresi bingung bercampur tak percaya. Ia menatap Hana seperti mencoba memastikan sahabatnya tidak sedang bercanda.
Hana mengangkat bahu santai, wajahnya tetap ceria. "Life's too short buat stuck sama satu cowok yang gak bisa ngimbangin gue, sayang. Rico lebih nyambung."
Di sisi lain, Rico hanya terkekeh kecil, tidak sedikit pun terlihat keberatan dengan pernyataan Hana yang blak-blakan. Sementara itu, Diego menatap Ruka dengan raut bingung, mungkin penasaran dengan pembicaraan mereka yang jelas-jelas tidak melibatkan dirinya.
"Kalian ngomongin apa sih?" tanya Diego akhirnya, memecah keheningan kecil.
"Ah, enggak, cuma obrolan cewek-cewek aja. Gak penting." Ia melirik Hana dengan tajam, mencoba memberi sinyal untuk berhenti.
Namun Hana, seperti biasa, tidak bisa membaca situasi atau justru sengaja memancingnya. "Tapi kan penting buat lo tahu, Di. Kalau gue udah taken sama Rico, Jadi kalian berdua kapan nih official-nya?" godanya sambil tertawa kecil.
Ruka langsung menutup wajahnya dengan tangan. Sementara itu, Diego hanya tersenyum canggung, tapi ada secercah harapan di matanya. "Gue tergantung Ruka sih," jawabnya ringan, namun jelas sarat makna.
"Ruka... tunggu apa lagi sih? Tinggal bilang yes aja susah banget. Apa perlu gue wakilin?" Hana terus menggoda tanpa henti, senyumnya nakal seperti biasa.
"Bawel banget!" Ruka akhirnya mencubit lengan Hana, membuat gadis itu meringis kecil sambil tertawa. "Lo gak capek ya bikin drama?" tambah Ruka sambil menggeleng tak percaya.
"Abis gue gemes banget sama kalian berdua."
Mereka melanjutkan obrolan ringan sambil menikmati makanan yang terhidang. Percakapan mulai bergeser dari godaan Hana ke topik-topik santai lainnya.
"Abis makan kita nonton yuk? Ada film bagus yang baru tayang loh," usul Hana dengan penuh semangat, memecah suasana.
"Boleh!" sahut Diego antusias, matanya langsung menatap Ruka seolah menunggu jawaban darinya.
Ruka mengangkat alis, lalu menghela napas. "Oke, asal bukan film horror. Gue gak mau denger Hana teriak-teriak sepanjang film."
"Ish, emang gue suka teriak?" Hana pura-pura tersinggung, membuat Rico tertawa lebih keras.
"Suka banget," jawab Ruka sambil tersenyum kecil, mengerling tajam pada sahabatnya.
Dengan rencana dadakan itu, keempatnya sepakat untuk menghabiskan sore mereka di bioskop. Suasana di antara mereka terasa ringan, namun ada ketegangan kecil yang terselip, terutama bagi Rico yang memperhatikan gerak-gerik Ruka sejak tadi.
Saat mereka baru saja akan masuk ke gedung bioskop, Rico menahan lengan Ruka. "Lo suka sama Diego?" tanyanya to the point, tanpa basa-basi.
Ruka memutar bola matanya, jelas tidak terkejut dengan pertanyaan itu. Dengan nada datar, dia menjawab, "Bos lo juga tahu kok, jadi gak usah banyak drama, Rico."
"Ya udah, gue cuma ngecek aja."
Setelah itu, mereka berempat masuk ke gedung bioskop. Lampu di dalam ruangan sudah mulai meredup, suasana hangat aroma popcorn memenuhi udara. Sesuai pembagian tempat duduk yang tanpa sengaja terbentuk, Ruka mendapati dirinya duduk di antara Hana dan Diego, sementara Rico berada di sisi luar, mengapit Hana.
Diego tampak sedikit lebih santai, meski sesekali matanya melirik ke arah Ruka. Sementara itu, Hana sibuk mengunyah popcorn sambil berkomentar tentang trailer yang diputar di layar. "Eh, film ini kayaknya seru deh buat kita nonton nanti," katanya sambil menyenggol lengan Ruka.
Namun, Ruka hanya memberikan respons singkat, pikirannya melayang entah ke mana. Di sisi lain, Diego menyodorkan sekotak popcorn ke arah Ruka, senyumnya ramah. "Mau?"
Ruka mengangguk pelan, mengambil segenggam popcorn tanpa berkata apa-apa. Diego tersenyum kecil, puas bisa membuat Ruka menerima tawarannya.
Film pun dimulai, suasana dalam ruangan langsung berubah hening. Namun, meski mata mereka tertuju ke layar, pikiran masing-masing penuh dengan pertanyaan dan perasaan yang belum terjawab. Rico, yang duduk di ujung, melirik sekilas ke arah Diego dan Ruka, tersenyum tipis. Dia merasa bahwa apa pun yang terjadi selanjutnya akan jauh lebih rumit daripada yang mereka bayangkan.
***
Di tempat lain, El duduk di kursinya dengan wajah penuh emosi. Tangannya menggenggam ponsel dengan erat, nyaris meremukkannya. Matanya tertuju pada sebuah foto yang baru saja dikirim Rico melalui pesan pribadi.
Terlebih lagi saat melihat sebuah foto yang Ruka post di media sosialnya. Foto itu menunjukkan Ruka bersama Diego di sebuah bioskop, dengan senyum lebar di wajah mereka. Caption yang menyertai foto tersebut menusuk hati El seperti bilah belati:
"A perfect evening with great company."
Darah El mendidih, setiap detik yang berlalu semakin menyulut amarahnya. Dengan gerakan kasar, El melempar ponselnya ke sofa, lalu melangkah ke meja kecil di sudut ruangan. Botol minuman beralkohol yang baru saja dibeli pagi tadi masih berdiri di sana, isinya hampir penuh. Tanpa pikir panjang, El membuka tutupnya, suara "klik" kecil terdengar seperti undangan.
Dia menuang minuman itu ke gelas, tetapi sebelum cairan itu sempat menyentuh bibirnya, dia berhenti sejenak. Matanya menatap kosong ke arah botol, pikirannya berkecamuk. "Lo marah karena apa, El? Dia istri lo, tapi lo sendiri yang bilang gak akan pernah ada perasaan," suara kecil di kepalanya berbicara, tetapi langsung ditepis.
Dengan satu tarikan napas panjang, El akhirnya menenggak isi gelas itu dalam sekali teguk. Rasa panasnya membakar tenggorokan, memberikan sensasi aneh yang sedikit meredakan emosinya. Tapi itu tidak cukup. Dia menuang lagi, lebih banyak kali ini, dan kembali menenggaknya seperti air putih.
Di ruangan itu, suasana menjadi semakin sunyi, hanya suara dentingan gelas dengan meja yang terdengar berulang kali. Wajah El memerah, bukan hanya karena alkohol, tetapi karena amarah yang masih berkobar.
"Ruka... lo bener-bener tahu cara bikin gue gila," gumamnya pelan, hampir seperti bisikan. Dia tertawa kecil, tawa pahit yang tidak sampai ke matanya. Dia tahu ini salah, tapi dia tidak peduli.
Alkohol yang mulai menguasai tubuhnya hanya membuat pikirannya semakin kacau. Tatapan matanya mulai buram, tetapi di balik semua itu, hanya ada satu gambaran yang terus muncul di benaknya: senyum Ruka saat bersama Diego. Sesuatu di dalam dirinya memberontak, sebuah perasaan yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, El mengangkat botol itu langsung ke mulutnya, menenggak sisanya tanpa sisa. Kali ini, bukan lagi untuk meredakan amarahnya, melainkan untuk menghilangkan rasa sakit yang mulai menyelinap di hatinya. Rasa yang tidak ingin dia akui, bahkan kepada dirinya sendiri.
***
Ruka mengerahkan semua tenaganya, mencoba mendorong tubuh El yang berat menindihnya. "El, lo gila! BERHENTI!" suaranya serak, nyaris putus asa, namun tidak ada tanda El akan berhenti. Matanya merah, amarah bercampur dengan pengaruh alkohol yang mematikan akal sehatnya.
"Lo istri gue," gumam El kasar, napasnya memburu. "Apa gue gak boleh pakek lo?"
"El, kita gak sedekat ini! Lo mabuk! Minggir!" Dia terus meronta, tangannya mendorong dada El, namun kekuatannya tak cukup. Berat tubuh El yang penuh emosi menekan seluruh gerakannya, membuatnya hanya bisa terpekur dalam ketegangan.
"MINGGIR ATAU GUE BUNUH LO!" Ruka berteriak lantang, suaranya memecah keheningan malam.
Bersambung....
Kira-kira El beneran khilaf gak nih?
Untuk up bab berikutnya, kasih Zhy 20 vote ya 🙏
Kalau belum 20 vote hari ini, Zhy up bab selanjutnya besok.
Terimakasih.