Sebagai seorang wanita yang sudah kehilangan rahimnya, dia tetap tegar menjalani hidup walau terkadang hinaan menerpanya.
Diam-diam suaminya menikah lagi karena menginginkan seorang anak, membuat ia meminta cerai karena sudah merasa dikhianati bagaimanapun dia seorang wanjta yang tidak ingin berbagi cinta dan suami.
Pertemuannya dengan seorang anak kecil membuat harinya dipenuhi senyuman, tapi ia juga dilema karena anak itu meminta ia menjadi ibunya itu berarti dia harus menikah dengan Papa dari anak itu.
Akankah Yasna menerima permintaan anak kecil itu atau kembali kepada mantan suami?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon husna_az, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
25. Mencabut tuntutan
Hari ini Yasna diperbolehkan pulang, semua sudah dibereskan Alina dan Hilman.
"Ayah keluar sebentar ya! Mau cari taksi," ucap Hilman.
"Tidak perlu, Pak. Biar saya yang antar," ucap seseorang yang baru datang. Siapa lagi kalau bukan Emran.
"Nak Emran! Nggak perlu, terlalu merepotkan jika Nak Emran yang mengantar. Bukankah Nak Emran juga harus bekerja," tolak Hilman, ia merasa tidak enak. Emran sudah banyak membantu Yasna.
"Saya tidak merasa direpotkan kok Pak," ucap Emran.
"Iya nih, Bapak. Masa sama calon istri pake merasa direpotkan segala," sela Alina.
"Ibu!" geram Yasna.
Ibu ini benar-benar membuat Yasna kesal sekaligus malu. Bagaimana tidak? Yasna dan Emran sama-sama masih belajar membuka hati, tanpa ingin saling menyakiti. Jadi biarkanlah waktu yang menjawab. Namun, Alina merasa seolah mereka benar-benar sudah memiliki hubungan yang serius.
"Mari, Pak. Biar ini saya yang bawa." Emran mengambil tas yang ada di sofa dan mempersilahkan semua orang berjalan lebih dulu.
Didalam mobil hanya keheningan yang terjadi. Tak ada yang berbicara, hingga Emran berusaha membuka obrolan.
"Ehmm, kamu kenal sama orang yang bernama Avina?" tanya Emran pada Yasna yang duduk disampingnya. sedangkan Alina dan Hilman duduk dibelakang.
"Avina siapa?" tanya Yasna balik.
"Ngga tahu juga, mungkin Ibu atau Bapak mengenalnya? Tadi pagi polisi menghubungiku dan mengatakan jika yang membayar para preman itu, seorang wanita bernama Avina," jawab Emran.
"Avina itu kan istrinya Zahran, Na. Kamu ingatkan kalau mantan mertua kamu itu memanggil pelakor itu Avina? Kenapa namanya harus mirip denganku?" tanya Alina menghela nafas.
"Belum tentu dia juga, Bu. Kita belum melihat orangnya. Nama orang banyak yang sama," ujar Hilman, mencoba berpikir positif.
"Ayah nggak usah belain dia, sudah jelas itu pasti dia. Yasna tidak mengenal Avina yang lain," ucap Alina emosi.
"Sabar, Bu." Hilman mencoba menenangkan istrinya.
Mobil yang dikemudikan Emran akhirnya sampai juga didepan rumah keluarga Hilman. Rumah ssedarhana dengan suasana yang nampak asri,banyak tanaman bunga yang ditanam oleh Alina.
"Mari masuk Nak Emran," ajak Hilman.
"Iya, Pak. Terima kasih," sahut Emran.Ia memandangi setiap sudut rumah ini, ada beberapa foto keluarga dan juga foto Yasna dengan seorang pria. Emran penasaran, siapa pria itu? Mereka terlihat akrab.
"Itu foto Yasna bersama dengan Kakaknya," ujar Hilman yang melihat Emran terus saja menatap foto itu.
"Sekarang tinggal dimana, Pak?" tanya Emran.
"Di luar kota bersama dengan istrinya," jawab Hilman.
Emran mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Ayah kenapa tamunya diajak berdiri terus?Silahkan duduk, diminum dulu," ucap Slina membawa dua cangkir teh.
"Terima kasih, Bu." Emran berkata sambil melangkah menuju sofa.
Drtt drtt drtt
Ponsel Emran bergetar, terlihat nomor kantor polisi yang kemarin menghubunginya. Segera ia menggeset tombol berwarna hijau.
"Halo, assalamualaikum," ucap Emran.
"Waalaikumsalam," sahut seorang polisi diseberang telepon.
"Maaf, Pak. Apa Bapak bisa membawa Ibu Yasna, datang ke kantor untuk pemeriksaan sebagai korban dan saksi?" tanya Polisi tadi.
"Maaf, Pak. Sepertinya tidak bisa, dia baru saja keluar dari rumah sakit. butuh banyak istirahat," ujar Emran.
"Baiklah, mungkin dari pihak keluarga ada yang mau mewakili untuk melengkapi berkas," ucap polisi.
"Iya, Pak. Saya akan kesana." Emran menutup panggilan.
"Pak, Bapak bersedia ikut dengan saya, ke kantor polisi untuk melengkapi berkas? Baru saja pihak kepolisian meminta saya membawa Yasna, tapi Yasna belum sembuh total. Jadi polisi meminta pihak keluarga melengkapi berkas pelaporan," ujar Emran.
"Mas, sebaiknya tuntutannya dicabut saja," sela Yasna.
"Kenapa dicabut? Mereka sudah mencelakaimu, mereka harus mendapat balasan!" seru Alina.
"Bu, aku nggak mau cari masalah sama mereka, biarkan tuhan yang membalas mereka," ucap Yasna.
"Tapi Na--
"Bu, benar apa yang dikatakan Yasna, kita tidak usah cari masalah sama mereka," sela Hilman.
"Terserahlah ... Ayah sama Yasna selalu seperti itu! Padahal mereka yang cari masalah lebih dulu!" kesal Alina.
*****
"Zahran, ayo kita pergi ke rumah Yasna. minta dia membebaskan Avina," ujar Faida.
"Apa Mama pikir aku masih memiliki muka untuk menghadapi Yasna? Aku malu Ma, aku ngga mau, biarkan saja dia membusuk di penjara," ujar Zahran.
"Lalu, apa kamu akan membiarkan dia melahirkan anakmu di dalam penjara? Apa kata orang nanti? Kamu mau anakmu seumur hidupnya mendapat julukan anak napi? Mama nggak bisa membayangkannya," ujar Faida.
Zahran pergi meninggalkan Mamanya. Ia memikirkan ucapan Mamanya, ia juga tidak bisa membayangkan, apa yang akan dialami anaknya kelak. Namun, memohon pada Yasna agar membebaskan Avi? ia tidak memiliki keberanian sebesar itu.
"Pa, kita harus menemui Yasna. Apapun Mama akan lakukan, asal Avi bebas. Mama ngga mau cucu Mama lahir dalam penjara," ujar Faida
"Apa Mama nggak malu ketemu Yasna? Kita pernah menghinanya!" tanya Hamdan.
"Mama nggak peduli, kalau dia meminta Mama bersujud didepannya, akan Mama lakukan, asal dia membebaskan Avi," ucap Faida yakin.
"Baiklah, ayo kita kesana!" sahut Hamdan.
Hamdan sebenarnya ragu. Namun, ia juga tidak tega melihat cucunya nanti mendapat cemoohan orang. Seperti yang istrinya katakan, ia juga akan melakukan apapun yang Yasna inginkan nanti.
*****
Tok tok tok
"Ho ho ho ... tamu agung rupanya yang datang," sindir Alina pada mantan besannya ini.
"Maaf, kami mau bertemu Yasna," ucap Hamdan.
"Apa? Saya tidak salah dengar? Anda meminta maaf? Ck ck ck, ada udang dibalik batu rupanya," sindir Alina lagi.
"Apa maksud Anda?" tanya Faida yang tidak suka dengan sambutan Alina.
"Tidak ada maksud apapun. hanya saja, saya yakin jika kedatangan kalian kesini pasti menginginkan sesuatu. Terakhir Anda datang kesini menghina putriku, tapi hari ini kenapa tiba-tiba menciut?" tanya Alina.
"Mama kesini menghina Yasna?" tanya Hamdan dengan menatap Faida.
"Itu tidak penting, Pa. kita kesini untuk meminta Yasna membebaskan Avi," sahut Faida.
"Mudah sekali Anda berbicara, itu tidak penting! Baiklah, Anda kesini untuk meminta Yasna membebaskan menantu Anda, kan? Itu tidak penting buat kami, jadi silahkan pergi dari sini," usir Alina.
"Kamu mengusirku?" pekik Faida.
"Ya," sahut Alina cepat.
"Ma, ingat tujuan kita kesini!" sela Hamdan dengan menarik lengan Faida.
Alina menatap mereka sinis, seenaknya saja datang meminta bantuan, setelah kemarin menghina putrinya. Meskipun Yasna sudah mencabut tuntutannya. Namun, sebagai seorang Ibu, tetap saja ia sakit hati, saat orang lain berbuat seenaknya terhadap putrinya.
"Saya mohon, tolong biarkan kami bertemu dengan Yasna," ucap Hamdan.
"Tidak ada," sahut Alina.
"Kamu jangan bohong," sela Faida.
"Terserah, mau acak-acak rumah saya? Silahkan." Alina menepikan tubuhnya, memberi jalan agar mereka bisa masuk.
Yasna memang tidak ada di rumah. Ia ikut ke kantor polisi, meski sempat mendapat penolakan dari semua orang, ia tetap kekeh ikut. Semua orang akhirnya pasrah dan mengizinkan Yasna ikut.
.
.
.
Jika ada salah dalam urusan kepolisian mohon maaf, saya hanya menulis setahu saya saja.
sekali lagi mohon maaf.