Yaya pikir mereka benar sebatas sahabat. Yaya pikir kebaikan suaminya selama ini pada wanita itu karena dia janda anak satu yang bernasib malang. Yaya pikir kebaikan suaminya pada wanita itu murni hanya sekedar peduli. Tak lebih. Tapi nyatanya, ia tertipu mentah-mentah.
Mereka ... sepasang kekasih.
"Untuk apa kau menikahi ku kalau kau mencintainya?" lirih Yaya saat mengetahui fakta hubungan suaminya dengan wanita yang selama ini diakui suaminya sebagai sahabat itu.
(Please yg nggak suka cerita ini, nggak perlu kasih rating jelek ya! Nggak suka, silahkan tinggalkan! Jgn hancurkan mood penulis! Dan please, jgn buka bab kalo nggak mau baca krn itu bisa merusak retensi penulis. Terima kasih atas pengertiannya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
6
Tiba di hotel dimana ia menginap,Yaya mendapati kamarnya yang kosong. Ia menghela nafas berat lalu menggelengkan kepala.
"Bulan madu macam apa ini? Bahkan aku belum merasakan kebahagiaan sama sekali setibanya di sini," gumam Yaya dengan sesak di dada yang kian menyiksa.
Yaya lantas segera masuk ke kamar mandi dan mengguyur tubuhnya yang panas dengan air dingin. Ia perlu mendinginkan kepalanya yang terasa panas. Panas hingga jantung dan ke ulu hati. Perih menerjang hingga relung terdalam.
Yaya pun segera menyudahi kegiatan mandinya. Kemudian ia segera berpakaian dan membereskan barang-barangnya. Setelah semuanya beres, ia pun segera menuju pintu. Pikirnya, tak ada lagi yang bisa ia lakukan di sana. Percuma saja ia datang jauh-jauh ke sana. Percuma saja ia meninggalkan pekerjaannya kalau waktunya di sana hanya ia habiskan seorang diri saja.
Ceklek ...
"Yaya," ucap Andrian yang sudah berdiri di depan pintu yang baru saja dibuka. Yaya terkejut saat mata keduanya bersirobok.
Yaya bungkam. Ia enggan mengeluarkan kata walau sepatah katapun. Andrian kemudian melihat koper di tangan kiri Yaya. Dahinya mengernyit. "Kau mau kemana?" tanya Andrian heran.
"Aku mau pulang," jawab Yaya singkat.
"Pulang?" beo Andrian yang mencoba mencerna maksud Yaya.
"Ya, pulang. Lagipula untuk apa aku berada di sini. Toh aku hanya menghabiskan waktu seorang diri. Lebih baik aku pulang. Waktuku pasti akan lebih bermanfaat di sana ketimbang di sini. Buang-buang waktu saja," ucap Yaya datar dan terkesan acuh tak acuh yang jelas saja membuat mata Andrian membulat seketika.
"Apa kau bercanda?"
Yaya mengedikkan bahunya tak acuh. "Terserah Mas mau berpikir apa. Maaf, bisa permisi sebentar?"
"Yaya, jangan main-main denganku!"
"Main-main? Apa perasaanku ini sekedar main-main, hah? Kau mau datang dan pergi sesuka hatimu, kau pikir aku ini tidak punya hati? Tidak punya perasaan? Aku sakit, Mas. Sakit. Aku jauh-jauh datang kemari untuk berbulan madu. Bukan untuk melihat kemesraanmu dengan perempuan lain. Bukan pula untuk melihat drama keluarga cemara mu dengan Mbak Marissa dan putrinya. Bukan. Aku ingin menikmati madu pernikahan kita yang baru berusia beberapa hari ini. Tapi apa yang aku dapat ... hanya kesakitan," ucap Yaya menggebu. Matanya memerah. Kabut bening menyelimuti netra hitam pekatnya.
"Ya, kau tau 'kan aku tidak bermaksud seperti itu!" Ucap Andrian mencoba membela diri.
"Aku tidak tau dan tidak mau tau. Yang aku tau sekarang, aku ingin pulang. Sekarang juga," tegas Yaya.
"Ya, tolong jangan seperti ini. Kita bisa membicarakan masalah kita baik-baik."
"Baik-baik seperti apa? Bukankah mau aku bicara seperti apapun tetap saja dia yang utama. Sudahlah. Penerbanganku sebentar lagi. Aku pergi. Permisi!" ucap Yaya sambil berjalan dan menerobos paksa sisi kiri Andrian.
"Yaya, berhenti!" seru Andrian. Namun Yaya tidak memedulikan seruan itu. Ia tetap melanjutkan langkahnya menuju lift yang letaknya tak jauh dari sana.
"Yaya, berhenti kataku! Apa kau lupa, dosa seorang istri yang mengabaikan suaminya dan dosa besar bagi istri yang pergi tanpa seizin suaminya!" lanjut Andrian membuat Yaya terpaksa menghentikan langkahnya.
Yaya membalikkan badannya. "Lalu bagaimana seorang suami yang pergi karena lebih mementingkan perempuan lain? Apa itu tidak berdosa?" sinis Yaya.
"Yaya, jangan membesar-besarkan masalah. Sudahlah, ayo kembali ke kamar," ucap Andrian yang kini melembut.
"Tidak, Mas. Aku tetap akan pulang." Yaya tetap kekeh dengan keputusannya.
"Oke, oke, aku minta maaf atas sikapku tadi. Sudah 'kan? Ayo, kembali! Apa kata orang tuamu kalau kau pulang sebelum waktunya."
Yaya yang mendengar itu hanya bisa tersenyum miris. Tidakkah laki-laki itu memikirkan perasaannya sedikit saja? Sungguh, Yaya begitu kecewa.
Yaya tersenyum sendu. "Mas tenang saja, aku tidak akan kembali ke rumah. Aku juga takkan memberitahu orang tuaku mengenai apa yang sudah terjadi."
Setelah mengucapkan itu, Yaya pun segera menekan tombol di dinding depan lift. Setelah pintu terbuka, Yaya pun segera menyeret kopernya masuk ke dalam sana. Andrian meraup wajahnya kasar saat Yaya akhirnya benar-benar pergi.
"Sial!" umpatnya kesal.
...***...
Keluar dari lift, air mata yang sejak tadi Yaya tahan akhirnya tumpah ruah. Matanya memanas. Penglihatannya sampai kabur, tapi Yaya terus melangkah dengan pasti. Tak peduli setiap pasang mata tampak mengarahkan pandangannya padanya, ia tetap berjalan penuh percaya diri.
"Aduh ... "
Yaya hampir saja terjungkal karena kakinya yang menabrak undakan yang ada di depannya. Namun sebuah tangan dengan cepat menahan tubuh Yaya agar tidak sampai terjatuh.
"Ooop, maaf!" seru orang itu yang segera melepaskan tubuh Yaya kemudian mengangkat kedua tangannya. Melihat Yaya yang menggunakan hijab, tentu saja orang itu bisa melihat kalau Yaya merupakan perempuan yang sangat menjaga dirinya. Meskipun perempuan yang tidak berhijab pun pasti tak jauh berbeda, hanya saja entah mengapa ia takut kalau tindakannya barusan dinilai lancang oleh Yaya.
"Ah, aku ... tidak apa-apa," jawabnya serak. Bahkan terdengar begitu sengau. Mungkin karena Yaya yang sudah menangis sejak tadi membuat suaranya jadi sengau seperti itu. Belum lagi, hidungnya penuh membuat Yaya kesulitan bernapas. Orang yang baru saja membantu Yaya itupun menyerahkan sapu tangannya pada Yaya. Yaya menerima sapu tangan itu dengan ragu, tapi orang itu terus menyodorkannya. Yaya lantas menyeka matanya yang basah dengan sapu tangan itu. Pun cairan hidung yang menyumbat hidungnya. Saat Yaya sadar, ia pun merasa bersalah.
"Yah, maaf," ucapnya saat melihat sapi tangan berwarna biru muda itu sudah basah karena dirinya.
Orang itu terkekeh. "Nggak papa, Mbak. Bisa dicuci kok."
"Tapi ... eh, kamu 'kan yang tadi." Yaya terkejut saat melihat pemuda di hadapannya.
Pemuda itu terkekeh sambil menggaruk kepalanya yang tiba-tiba gatal.
"Iya, Mbak. Kayaknya kita berjodoh. Eh ... "
Yaya tersenyum tipis. "Ini ... saya bawa aja ya. Saya cuci."
"Kalau mbak cuci, artinya mbak mau ketemu sama saya lagi dong buat balikin."
Mata Yaya mengerjap membuat pemuda itu tertawa geli. "Nggak usah cuci, Mbak. Sini. Aku bisa nyuci sendiri kok. Mbak jangan nangis lagi dong. Cantik-cantik kok nangis. Entar ingusnya tambah meler lho."
Mendengar kata-kata itu, sontak saja membuat Yaya bersemu merah. Malu ih.
Makin tergelak lah pemuda itu. "Ya udah. Mbak mau pulang ya? Hati-hati di jalan ya. Semoga kita bisa ketemu lagi."
Yaya tersenyum tipis kemudian mengangguk.
"Terima kasih. Maaf udah buat kotor sapu tangannya."
"No problem. Bisa aku masukin museum entar."
"Ah, maksudnya?"
"Ah, nggak. Nggak papa. Hehehe ... "
Yaya yang sudah dikejar waktu penerbangan pun akhirnya segera berlalu dari hadapan pemuda itu. Tak ada keinginan Yaya untuk berkenalan sebab ia pikir mungkin ini pertemuan terakhir mereka.
"See you soon, Mbak cantik," pekik pemuda itu. "Eh, mbak, kita belum kenalan woy!" teriak pemuda itu lagi sambil melangkah panjang mendekati Yaya. Tapi sayang, Yaya sudah naik ke salah satu taksi yang mangkal di pelataran parkir hotel.
"Yah, pergi," gumamnya yang disambut tawa oleh teman-temannya yang entah sejak kapan melihat dirinya.
"Kasian. Dah, yuk, mandi! Kita harus segera istirahat sebelum besok mulai berjibaku dengan aktivitas di RS," ujar salah satu teman pemuda itu. Pemuda itupun mengangguk. Lalu ia pun segera berlalu dari sana sambil tersenyum sendiri.
...***...
...Happy reading 🥰🥰🥰 ...
emang klu perempuan sama laki dekatan lngsung dibilang ada hubungan..Nethink aja nih