"Buang obat penenang itu! Mulai sekarang, aku yang akan menenangkan hatimu."
.
Semua tuntutan kedua orang tua Aira membuatnya hampir depresi. Bahkan Aira sampai kabur dari perjodohan yang diatur orang tuanya dengan seorang pria beristri. Dia justru bertemu anak motor dan menjadikannya pacar pura-pura.
Tak disangka pria yang dia kira bad boy itu adalah CEO di perusahaan yang baru saja menerimanya sebagai sekretaris.
Namun, Aira tetap menyembunyikan status Antares yang seorang CEO pada kedua orang tuanya agar orang tuanya tidak memanfaatkan kekayaan Antares.
Apakah akhirnya mereka saling mencintai dan Antares bisa melepas Aira dari ketergantungan obat penenang itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Puput, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 31
"Ares, Aira, kalian tidak tidur?" tanya Shena yang terbangun dan melihat Aira berada di brankar Antares.
Seketika Aira turun dari brankar hingga membuatnya terjatuh. "Aduh!"
"Aira!" Antares akan menolong Aira tapi tubuhnya masih tidak bisa bergerak.
Shena segera turun dari ranjang dan membantu Aira berdiri. "Aira, kamu baru sadar. Badan kamu pasti masih lemas."
"I-iya. Saya mau ke kamar mandi, Tante." Aira mengambil tabung infusnya lalu membawanya menuju kamar mandi.
Shena segera mendekati Aira dan membantunya ke kamar mandi. "Bilang sama Tante kalau mau apa-apa, ya. Badan kamu masih sangat lemas."
Aira menganggukkan kepalanya lalu masuk ke dalam kamar mandi. Shena setia menunggunya di dekat pintu memastikan Aira tidak terjatuh.
Sedangkan Sky kini bangun dan mendekati putranya. Dia membenarkan selimut Sky yang tersingkap. "Jangan aneh-aneh dulu, kamu masih sakit."
"Pa, geser brankar Aira biar dekat sama aku," kata Antares sambil menatap brankar yang berjarak hampir dua meter itu.
"Ini sudah dekat. Mau sedekat apalagi? Kamu cepat tidur, ini sudah hampir tengah malam."
Antares membuang napas kesal kemudian dia menoleh ke sisi lain.
"Ya sudah, tapi jangan macam-macam sama Aira. Kalau masalah perasaan udah clear, cepat resmikan," kata Sky. Dia menurunkan penghalang di pinggir brankar Antares lalu menggeser brankar Aira hingga kedua brankar itu menjadi satu.
Antares tersenyum melihat brankar mereka yang telah menyatu. "Makasih Papa, my best father." Kemudian dia berpura-pura tidur saat Aira keluar dari kamar mandi.
Aira bingung melihat brankarnya yang sudah menempel di brankar Antares. "Mengapa didekatkan?"
"Biar kamu tidak jatuh lagi," jawab Sky sambil memakai jaketnya.
Shena membantu Aira naik ke atas brankar dan menggantung tabung infus itu pada tempatnya. Dia melirik suaminya yang sudah bersiap pergi. Dia mengerti dengan kode itu.
"Aira, kamu membutuhkan sesuatu lagi tidak?" tanya Shena.
Aira menggelengkan kepalanya.
"Kalau begitu, kita keluar dulu mau menginap di hotel sebelah," kata Shena. Dia mengambil cardigan dan memakainya, lalu menggandeng tangan suaminya keluar dari ruang rawat inap.
"Kita beri waktu mereka berdua, aku ikut bahagia karena akhirnya Ares benar-benar melupakan perasaannya pada Ara," kata Sky sambil merengkuh bahu istrinya berjalan di lorong rumah sakit yang dingin itu.
"Iya, akhirnya Ares mendapatkan cintanya. Semoga mereka memang berjodoh."
Sedangkan di dalam ruang rawat, Aira menjadi canggung. Bagaimana dia bisa tidur jika berada sangat dekat dengan Antares.
Antares membuka matanya dan menarik selimut Aira. "Aira, dekat sini. Aku merasa kedinginan."
Aira melepas selimutnya lalu menumpuk selimut Antares. "Kamu pakai saja."
Antares menarik tangan Aira agar tetap berada di dekatnya. "Aku butuhnya kamu, bukan selimut kamu." Antares semakin menarik Aira lalu melingkarkan tangannya di lengan Aira. "Sini, masuk selimut. Tadi kita belum selesai bicara."
Aira tersenyum kaku. "Pak Ares tidur saja ya, biar cepat sembuh."
Antares semakin kuat menahan lengan Aira hingga akhirnya Aira menyerah dan tidur di samping Antares di bawah selimut yang sama. Satu kakinya menyentuh kaki Antares yang membuat detak jantungnya tidak stabil lagi.
"Pak Ares, ini ruang rawat. Tidak boleh seperti ini ..."
"Pak?"
"Hmm, Mas Ares. Aku belum terbiasa."
"Sini mendekat, aku tidak bisa gerakin tubuhku."
Aira akhirnya memiringkan tubuhnya dan menatap Antares. "Udah tahu gak bisa gerak, jangan aneh-aneh gini. Sekarang lebih baik tidur saja."
Antares tak juga memejamkan matanya. Dia masih saja menatap Aira dari jarak yang dekat. "Aira, kamu tahu kan umur kita sudah tidak muda lagi."
Aira hanya menganggukkan kepalanya. Dia berusaha menenangkan detak jantungnya yang terus melonjak.
"Kita sama-sama mencintai, kita langsung menikah saja yuk!"
Aira kembali memutar tubuhnya dan menatap langit-langit ruangan itu. "Menikah? Aku masih butuh waktu."
"Kamu ragu sama aku?"
Aira menggelengkan kepalanya. "Siapa yang tidak mau menikah dengan CEO tampan yang kaya raya dan lebih mementingkan aku daripada nyawanya sendiri. Tapi ...." Aira menghentikan perkataannya.
"Tapi apa?"
"Meski sebenarnya aku tidak terlalu ingin tahu tentang ayah kandungku, tapi ketika aku menikah, jujur saja aku ingin ayahku menjadi wali, tapi sepertinya itu tidak mungkin. Jadi, beri aku waktu untuk menjawabnya." Aira kembali memiringkan tubuhnya lalu memeluk perut Antares.
"Iya, aku mengerti. Aku akan menunggu jawaban kamu, yang penting sekarang hubungan kita lebih dari bos dan sekretaris."
Aira mengangguk pelan dan semakin menempelkan kepalanya di lengan Antares. "Kadang aku iri sama Mas Ares karena memiliki kedua orang tua yang sangat baik dan perhatian. Jika tidak ada Mas Ares, pasti aku sekarang sendirian di sini."
"Tadi sore ibu kamu ke sini. Dia menangis melihat kondisi kamu, tapi tidak berkata apa-apa lalu pergi."
Aira mendongak menatap Antares. "Benarkah?"
Antares menganggukkan kepalanya. "Ibu kamu sebenarnya sayang sama kamu. Mungkin selain kamu yang menderita, ibu kamu juga sebenarnya menderita karena tekanan dari Fadil."
"Menurut Mas Ares, apa setelah ini aku pulang ke rumah saja?"
"Terserah kamu. Pulang ke rumahku juga tidak apa-apa."
"Ih!" Aira tersenyum malu sambil mengalihkan pandangannya karena dia belum sanggup menerima tatapan dalam dari Antares.
Aira tak juga memejamkan kedua matanya. Pikirannya terus berkelana. Sekarang dia justru penasaran dengan keberadaan ayah kandungnya. "Mas Ares bisa bantu aku cari ayah kandungku."
"Tanpa kamu minta, aku sudah melakukannya," sahut Antares.
Aira menegakkan kepalanya dan menatap Antares tak percaya. "Mas Ares sudah bertemu?"
Antares mengangguk pelan. "Sebenarnya tadi siang aku ke tempat Ayah kandung kamu."
Aira terpaku menatap Antares. Di saat dia mengira Antares sedang marah padanya tapi ternyata diam-diam Antares tetap menemui ayah kandungnya. "Ajak aku menemuinya, ya?"
"Nanti, kalau aku sudah sembuh. Tapi, ayah kamu tidak tahu kalau ibu kamu mengandung anaknya, jadi ayah kamu masih belum terlalu percaya kalau kamu anak kandungnya."
"Tidak apa-apa, yang penting aku sudah melihatnya. Janji ya, antar aku."
"Iya."
"Makasih." Aira mengecup singkat pipi Antares lalu dia memunggunginya.
Antares menarik lengan Aira agar menatapnya lagi. "Aira, kenapa di pipi saja?"
"Memang mau dimana?" Pipi Aira bersemu merah. Dia kembali menghadap Antares dan bersandar di lengannya.
"Bibir, seperti pertama kali kamu bertemu denganku."
"Jangan bahas itu lagi. Aku khilaf."
"Tidak apa-apa kalau mau khilaf lagi."
Aira hanya tersenyum. Dia semakin memeluk perut Antares. "Sekarang kita tidur saja, biar kita cepat pulih dan keluar dari rumah sakit."
"Iya, iya. Aku juga ingin cepat pulih biar bisa goda kamu sepuasnya." Kemudian Antares memejamkan kedua matanya. Tubuhnya merasa nyaman dan rasa sakit itu seperti menghilang mendapat pelukan dari Aira, meskipun dia belum bisa membalas pelukan itu.
akhirnya ngaku juga ya Riko...
😆😆😆😆
u.....