Blokeng adalah seorang pemuda berusia 23 tahun dengan penampilan yang garang dan sikap keras. Dikenal sebagai preman di lingkungannya, ia sering terlibat dalam berbagai masalah dan konflik. Meskipun hidup dalam kondisi miskin, Blokeng berusaha keras untuk menunjukkan citra sebagai sosok kaya dengan berpakaian mahal dan bersikap percaya diri. Namun, di balik topengnya yang sombong, terdapat hati yang lembut, terutama saat berhadapan dengan perempuan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Esa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6: Bala Kurawa Siap Tempur
Blokeng berjalan pulang dengan langkah cepat, masih diliputi ketakutan setelah bertemu sekumpulan makhluk gaib. Baru saja ia ingin menghela napas panjang, mendapati dirinya sendirian di jalanan sunyi, ketika ia mendengar suara tawa ramai dari arah taman. Ia menoleh dan melihat sekumpulan teman-temannya—geng tongkrongannya yang ia panggil "Bala Kurawa." Mereka duduk di pinggir jalan, asyik ngobrol sambil tertawa keras, tak peduli malam semakin larut.
Blokeng mempercepat langkahnya mendekati mereka. Begitu melihat sosok Blokeng, Yanto langsung melambai sambil berseru, “Eh, Blokeng! Lo dari mana aja, malam-malam gini kayaknya pucet banget, bro?”
Blokeng berusaha terlihat tenang, tetapi sorot matanya masih tegang. “Gue… baru aja ngalamin sesuatu yang nggak enak, bro. Serem banget!”
Arman, yang paling iseng di antara mereka, mendekat dan menyeringai. “Halah, paling lo cuma kebanyakan nonton film horor. Gitu aja sampe pucet, hahahaha!”
Blokeng menggeleng dengan ekspresi serius. “Ini beneran, Man. Gue baru aja ketemu pocong, kuntilanak, bahkan genderuwo… satu-satu nongol kayak mereka lagi ngumpul buat acara reuni!”
Mendengar itu, teman-temannya langsung tertawa terbahak-bahak. Yanto menepuk bahu Blokeng dengan keras. “Ya ampun, Blokeng! Masa iya ketemu genderuwo tengah malam? Eh, genderuwo emang beneran ada ya?”
Blokeng mendesah kesal, merasa tidak dianggap serius. “Bro, gue nggak bercanda. Mereka beneran muncul, kelihatan jelas. Gue udah tantangin satu-satu, tapi yang dateng malah segerombolan!” katanya sambil menekankan setiap kata, berharap teman-temannya menangkap keseriusan dalam nada bicaranya.
Roni, yang biasanya pendiam, mengangguk sambil mencoba menahan tawanya. “Terus… lo ngapain? Lo lari?”
Blokeng tampak malu, wajahnya memerah. “Ya… gue nggak ada pilihan lain, akhirnya gue minta ampun lah. Gue tantangin, tapi kalau genderuwo datang gue bisa apa?”
Mendengar Blokeng yang mengaku takut dan meminta ampun pada makhluk gaib, tawa teman-temannya makin meledak. Mereka bahkan terpingkal sampai terduduk di tanah, sambil menepuk-nepuk punggung Blokeng. Tapi meskipun mereka menertawakannya, Blokeng tetap diam, mencoba bersabar sampai akhirnya mereka mulai mereda.
Melihat wajah Blokeng yang benar-benar tegang, Yanto akhirnya mulai serius. “Wah, kalau lo se-serius ini, mungkin lo beneran ngeliat sesuatu. Tempat lo nongkrong itu kan memang angker, banyak yang bilang sering lihat sosok aneh.”
Arman, yang tadinya paling cerewet, ikut mengangguk. “Iya, Blokeng. Tapi ya namanya juga hantu. Lagian, kan lo nggak sendiri. Kita kan Bala Kurawa, kita harus berani hadapin apa pun, termasuk makhluk-makhluk kayak gitu.”
Blokeng merasa sedikit lebih tenang mendengar dukungan teman-temannya. “Yakin lo semua berani?” tanyanya sambil menatap mereka satu per satu. “Kalau nongol lagi nih pocong, kuntilanak, sama genderuwo, lo semua masih mau bantuin gue?”
Teman-temannya langsung mengacungkan tangan dengan sikap penuh percaya diri, seolah mereka sudah siap melawan apa pun yang datang. “Ya, masa gue takut sih, Blokeng. Kan kita Bala Kurawa! Buat apaan kita gabung geng ini kalo takut sama yang begituan?” kata Roni sambil tertawa kecil.
Blokeng akhirnya tersenyum, rasa takutnya sedikit mereda. “Oke deh, kalau kalian udah janji. Gue sih emang cuma takut karena sendirian. Tadi gue bener-bener kaget, bro.”
Roni menepuk bahu Blokeng dengan senyuman. “Santai aja, Bro! Kita kan sama-sama di sini. Kalau ada apa-apa, kita hadapi bareng-bareng. Tenang aja, kita semua di belakang lo.”
Blokeng merasa lega dengan dukungan teman-temannya. Mereka semua beranjak berdiri, bersiap pulang bersama. Rasa takut Blokeng seolah hilang berkat kebersamaan mereka. Saat mereka berjalan menyusuri jalan sepi di bawah sinar remang-remang lampu jalan, Yanto mencoba membuat suasana lebih santai dengan bergurau.
“Eh, Blokeng, kalo nanti lo liat lagi tuh kuntilanak sama pocong, jangan cuma ditantangin. Lo ajak ngopi sekalian, biar mereka nggak marah lagi, hahaha!”
“Betul, lo kan udah biasa ngerjain orang, masa sama setan kalah mental sih?” tambah Arman, membuat yang lain kembali tertawa.
Blokeng menggeleng sambil tertawa kecil, merasa semakin nyaman. Namun, meskipun ia mulai tenang, ada bayangan pocong dan kuntilanak tadi yang masih menghantuinya. Dalam hati, ia masih berdoa agar makhluk-makhluk itu tidak muncul lagi.
Sambil berjalan bersama Bala Kurawa, mereka terus bercanda dan berbagi cerita. Malam yang tadi begitu mencekam bagi Blokeng, kini terasa lebih ringan berkat kehadiran teman-temannya. Sesekali Blokeng melirik ke belakang, memastikan mereka benar-benar sudah lepas dari ancaman sosok-sosok gaib yang menyeramkan itu.
Namun dalam hati, Blokeng menyadari satu hal—keberanian itu terasa berbeda saat dijalani bersama sahabat-sahabatnya. Meskipun Bala Kurawa dikenal sebagai geng yang sok jagoan, malam ini mereka menunjukkan solidaritas yang nyata, membuat Blokeng merasa lebih tenang dan berani.
Malam itu, Bala Kurawa terus berjalan bersama hingga perempatan jalan, di mana mereka berpisah menuju rumah masing-masing. Sebelum benar-benar berpisah, Blokeng menoleh ke mereka dan berkata dengan nada penuh keyakinan, “Oke, bro. Kalau nanti ada lagi yang kayak tadi, kita hadapi sama-sama ya. Gue gak mau sendirian.”
Arman tersenyum sambil mengangguk. “Santai aja, Blokeng. Yang penting kita tetap satu geng, jangan pada takut. Siapa tahu mereka malah takut sama kita.”
Dengan perasaan yang lebih ringan, Blokeng melangkah pulang, kali ini dengan kepala tegak. Meskipun rasa takut belum sepenuhnya hilang, ia tahu bahwa apapun yang terjadi, Bala Kurawa akan selalu ada di sisinya.
Setelah perpisahan yang menghibur dengan Bala Kurawa, Blokeng akhirnya tiba di depan rumah. Malam semakin larut, dan keheningan mulai menyelimuti suasana. Rasa kantuk yang awalnya begitu kuat mulai terganggu oleh sensasi kebelet pipis yang tiba-tiba muncul.
“Aduh, daritadi nahan, akhirnya bisa lepas juga,” gumamnya sambil bergegas menuju kamar mandi.
Blokeng membuka pintu kamar mandi yang berderit pelan, suara khas yang sedikit membuat bulu kuduknya merinding. Ia mencoba mengabaikan perasaan aneh yang tiba-tiba menghampirinya dan mulai melepas kantong celananya.
Namun, di tengah fokusnya yang sepenuhnya teralihkan oleh kebutuhan mendesak ini, Blokeng tiba-tiba merasakan angin dingin yang aneh berembus di tengkuknya. Tubuhnya langsung kaku seketika.
“Siapa di sini?” Blokeng mencoba mengusir perasaan tidak nyaman itu, menoleh ke sekeliling kamar mandi yang kecil, gelap, dan penuh aroma lembab.
Belum sempat ia mencerna keadaannya, dari sudut matanya, ia melihat sosok putih pucat dengan wajah menyeramkan muncul di atasnya. Pocong itu menatapnya dari atas kepala, dengan mata kosong dan mulut yang bergerak seolah-olah mencoba mengatakan sesuatu.
“Haiiiiissssh!” jerit Blokeng, tetapi suaranya seakan tercekat di tenggorokan.
Blokeng mundur terhuyung, tetapi pocong itu tidak memberinya kesempatan. Seketika, kepala pocong itu menunduk, lalu dari mulutnya keluar sesuatu yang tak terduga — ludah!
Blokeng merasakan sesuatu yang lengket dan dingin mengenai wajahnya. Ia memekik, setengah takut dan setengah jijik. Blokeng mencoba mengusap wajahnya dengan gemetar, tetapi setiap kali ia mengusap, semakin terasa jelas bahwa ini adalah ludah pocong yang nyata.
“Jijiiik!” teriak Blokeng dengan suara parau.
Pocong itu hanya diam, tidak bereaksi, dengan tatapan yang masih mengunci ke arah Blokeng.