Di malam satu Suro Sabtu Pahing, lahirlah Kusuma Magnolya, gadis istimewa yang terbungkus dalam kantong plasenta, seolah telah ditakdirkan untuk membawa nasibnya sendiri. Aroma darahnya, manis sekaligus menakutkan, bagaikan lilin yang menyala di kegelapan, menarik perhatian arwah jahat yang ingin memanfaatkan keistimewaannya untuk tujuan kelam.
Kejadian aneh dan menakutkan terus bermunculan di bangsal 13, tempat di mana Kusuma terperangkap dalam petualangan yang tidak ia pilih, seolah bangsal itu dipenuhi bisikan hantu-hantu yang tak ingin pergi. Kusuma, dengan jiwa penasaran yang tak terpadamkan, mencoba mengungkap setiap jejak yang mengantarkannya pada kebenaran.
Di tengah kegelisahan dan rasa takut, ia menyadari bahwa sahabatnya yang ia kira setia ternyata telah menumbalkan darah bayi, menjadikan bangsal itu tempat yang terkutuk. Apa yang harus Kusuma lakukan? mampukah ia menyelamatkan nyawa teman-temannya yang terjebak dalam kegelapan bangsal 13?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon bobafc, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Dokter Shaka
Dengan helaan napas berat yang keluar dari dadanya, Shaka segera turun dari mobil dan melangkah cepat menuju rumah sakit. Langkahnya penuh rasa cemas, mencari dr. Lista—pemilik rumah sakit yang telah membuat janji temu dengannya esok hari. Pikiran Shaka berputar-putar, bercampur antara harapan dan ketidakpastian.
Namun, ketergesaan membuatnya menabrak seseorang. Suara terjatuh yang menyakitkan menyadarkannya dari lamunan.
“Aduh.. punya mata nggak sih!” sergah seorang gadis berambut sebahu yang ada di hadapannya. Mereka pun saling pandang, dan detik itu, suasana menjadi hening.
“Kamu bukannya Bilqis?” tanya Shaka, mengenali sosok yang pernah ia lihat bertahun-tahun lalu. Bilqis, gadis yang mengisi pikirannya dalam banyak kesempatan, kini berdiri di depannya dengan wajah terkejut.
Bilqis segera bangkit, tak sanggup berkata-kata. Lelaki yang dikaguminya bertahun-tahun lalu kini berdiri tepat di hadapannya, bagaikan bayangan yang tiba-tiba menjadi nyata.
“Kamu? Eh, maksudku, Mas Shaka! Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Bilqis sambil cepat-cepat mengambil buku-buku yang terjatuh saat mereka bertabrakan, pipinya memerah.
“Aku ingin bertemu dengan Dokter Lista, tetapi tidak tahu di mana ruangannya. Apa kamu tahu?” Shaka bertanya, wajahnya menunjukkan keseriusan.
“Oh, Dokter Lista sudah pulang, besok baru kembali kerja,” jawab Bilqis, senyumnya manis dan menggoda, meski rasa gugup jelas terpancar. Bagaimana tidak? Ia tidak menyangka bisa bertemu lelaki yang ia sukai sedari dulu, seorang teman kuliah kakaknya, Fahmin.
Gadis itu jatuh cinta pada pandangan pertama ketika kakaknya memperkenalkan Shaka yang sedang bermain di rumahnya. Rasa kagum dan cinta yang ia pendam bertahun-tahun kini timbul kembali, menghujani pikirannya dengan seribu harapan.
“Pangling, aku Bilqis. Kamu sekarang terlihat dewasa dan cantik banget,” puji Shaka dengan tulus. Kata-katanya meluncur lembut, membangkitkan perasaan hangat di hati Bilqis.
‘Wah! Aduh Bilqis, mimpi apa kamu semalam, sudah bertemu sama sang idola, malah dapat rayuan pula,’ gumam Bilqis dalam hati, wajahnya merona, salah tingkah. Tanpa ia sadari, kedua sahabatnya, Agvia dan Kusuma, mengintip dari balik pintu dengan senyum lebar.
“Hmmm, ada perlu apa, ya, Mas?” tanya Agvia, berusaha terlihat sok jagoan meski hatinya bergetar melihat interaksi mereka.
“Apakah di sini ada penginapan, atau mungkin di sekitar rumah sakit ini?” tanya Shaka dengan senyum hangat.
“Kalau di luar sana aku enggak tahu. Tapi kalau di sini kita ada penginapan Via. Mungkin Anda jika berkenan bisa tidur dengan Agvia,” ucap Kusuma, mengangguk penuh harapan.
Gadis berambut lurus dan panjang itu merasakan ada yang aneh pada pria yang ia temui saat ini, namun Kusuma tak bisa mendeskripsikannya. Pelindungnya terasa sangat kuat, membuatnya tak mampu menjangkau aura yang menyelimuti Shaka.
“Boleh, itu. Terima kasih banyak sudah memberikan tempat tinggal,” jawab Shaka, tatapannya lembut penuh rasa syukur.
“Agvia, kamu mau pulang kan? Antar dokter ini sekalian,” pinta Kusuma dengan nada mengajak.
“Oh iya. Perkenalkan, saya Dokter Shaka,” ucapnya sambil mengulurkan tangan.
Kusuma dan Agvia ikut berjabat tangan, saling mengenal dalam suasana yang kian akrab. “Mari dok, bareng sama aku,” ajak Agvia.
“Kamu kok bisa kenal dia?” tanya Kusuma sambil menata berkas pasien, mencuri pandang pada Bilqis yang tampak terhanyut dalam perasaannya.
Kedua pria itu berjalan menuju penginapan, langkah mereka bersisian di antara gedung-gedung rumah sakit yang megah dan sepi. Suara langkah kaki bergema pelan di lorong yang seolah menceritakan kisah-kisah lama. Sementara itu, Bilqis dan Kusuma masih terjebak dalam rutinitas pekerjaan mereka, menata berkas-berkas pasien hingga pagi menjelang.
“Kamu kok bisa kenal dia?” tanya Kusuma sambil dengan teliti menata berkas pasien, matanya melirik sekilas pada Bilqis yang tampak melamun.
“Dia teman kuliah kakakku waktu di Surabaya,” jawab Bilqis, suaranya lembut namun terhanyut dalam ingatan saat melihat Shaka berjalan bersama Agvia, senyumnya manis dan tulus, membuat hatinya bergetar.
“Bilqis, ini berkas ditata di mana?” tanya Kusuma lagi, namun pertanyaannya seakan tenggelam dalam lamunan Bilqis yang tidak kunjung terbangun.
“Bilqis!” panggil Kusuma sekali lagi, kali ini lebih keras, mencoba mengembalikan fokus sahabatnya.
“Eh, iya. Maaf Kusuma. Biar aku saja nanti yang simpan,” jawab Bilqis cepat, namun pikirannya masih melayang pada sosok Shaka yang kini semakin menjauh.
“Kalau sudah jatuh cinta sampai lupa segalanya,” sindir Kusuma, nada suaranya penuh canda dan tawa, berusaha menghibur diri sendiri dan Bilqis.
“Tampan kan, Kusuma, dia?” tanya Bilqis, matanya bersinar saat mengingat wajah Shaka.
“Iya, tampan buat kamu. Kalau aku, masih kurang tampan, Bilqis,” balas Kusuma dengan nada bercanda, berusaha meredakan rasa cemburu yang tiba-tiba muncul.
“Hah, kaya gitu kurang tampan!” Bilqis melirik dengan tatapan penasaran, seakan tidak percaya dengan pernyataan sahabatnya.
“Nyatanya dia nggak tertarik sama temanku. Padahal, ia sangat cantik, rambutnya seperti duta shampo,” ucap Kusuma sambil tertawa, membuat suasana semakin ceria di antara mereka.
“Dokter.. Dokter Shaka!” panggil Agvia, suaranya memecah keheningan dan membuyarkan lamunan Shaka yang terpaku.
“Iya, maaf!” jawab Shaka, kembali tersadar dari lamunannya, dengan senyum yang tulus.
“Saya mau mandi dulu!” pamit Agvia, melangkah pergi dengan langkah ringan, meninggalkan kesan manis di hati Shaka.
Itulah awal mula pertemuan Kusuma dengan Shaka—sebuah pertemuan yang tampaknya sederhana namun menyimpan potensi kisah yang lebih dalam.
**
Rumah Sakit Tirtonegoro, meskipun terletak di sebuah desa kecil di lereng gunung, memiliki keunikan tersendiri. Dengan hanya empat bangsal, rumah sakit ini mampu menarik perhatian banyak pasien dari tiga kota yang berbeda, berkat posisinya yang strategis. Setiap hari, suara langkah kaki dan obrolan pasien memenuhi lorong-lorong, menciptakan suasana hidup yang seolah tak pernah padam.
"Kusuma, rumah sakit ini ramai, ya? Tapi kenapa perawatnya hanya perawat Syala?" tanya Bilqis, matanya melirik sekeliling dengan rasa bingung, mencoba memahami keramaian yang terjadi di sekitarnya.
"Mungkin saja perawat Syala bisa melakukan segalanya. Kamu tahu sendiri, kemarin saja dia jalannya cepat, mungkin karena dia di sini sendirian," jawab Kusuma sambil mengangkat bahu, menjelaskan dengan nada santai.
Cahaya matahari perlahan masuk melalui celah jendela kamar mereka, memaksa kedua gadis itu untuk bangun dari tidurnya. Dengan semangat yang baru, mereka mandi dan berbenah diri, sebelum akhirnya melangkah keluar untuk berangkat ke rumah sakit. Namun, Agvia dan Shaka tampak tidak ada di tempat.
Setelah beberapa saat, mereka tiba di depan ruangan Dokter Lista. Kusuma duduk menanti di dalam ruangan tersebut, sementara Bilqis melanjutkan langkahnya menuju klinik umum untuk menemui perawat Syala.
Saat itulah, Shaka, yang baru saja tiba dari arah depan, melihat Kusuma dengan tatapan tajam yang penuh pemikiran.
“Wanita ini serasa tidak asing bagiku, padahal aku tidak mengenalnya,” gumam Shaka dalam hati, merasakan keanehan yang menghampirinya saat memandang gadis manis di depannya.
Tiba-tiba, suara seorang wanita paruh baya memecah lamunan Shaka.
“Jadi, sudah sampai kamu?” tanyanya dengan nada tegas namun ramah. “Silakan masuk ke ruangan saya, Dokter Shaka!” Ia membuka pintu lebar-lebar, memperlihatkan ruangannya yang rapi dan teratur, memberi kesan profesional yang kental.
“Terima kasih, Dok,” jawab Shaka, melangkah masuk mengikuti Dokter Lista dan duduk di kursi yang disediakan dengan hati yang berdebar-debar.
“Kamu di luar dulu, Kusuma. Saya ingin bicara secara pribadi dengan Dokter Shaka sebentar saja,” pinta Dokter Lista, menatap Kusuma dengan nada yang serius.
“Baik, Dok,” balas Kusuma, merasa sedikit canggung namun segera menutup pintu dengan lembut.
“Jadi, begini, Dok—” Shaka membuka pembicaraan, namun kalimatnya terhenti ketika Dokter Lista menyela.
“Dokter Shaka, saya sudah tahu maksud kedatangan Anda ke sini. Saya juga mengerti betapa sulitnya perjalanan Anda kemari,” ucap Dokter Lista dengan nada tenang namun tegas, seolah bisa membaca pikiran Shaka.
“Bagaimana Anda bisa tahu?” tanya Shaka, matanya menyala dengan ketidakpercayaan, menatap tajam kepada Dokter Lista, mencoba mencari jawaban di balik sikap percaya diri dokter wanita itu.
“Saya balik tanya. Kenapa kamu kemari? Silakan jawab sendiri,” balas Dokter Lista, memutar balik pertanyaan kepada Shaka dengan cerdas.
Shaka terdiam sejenak, merasakan beban di dadanya.
“Sekarang, ceritakan padaku. Apa yang terjadi dengan rumah sakit yang sekarang kamu kelola?” tanya Dokter Lista, suaranya tegas namun mengandung nada hangat yang membuat Shaka merasa yakin untuk berbagi.
Pria itu menghela napas dalam-dalam, merasa lega karena meminta pertolongan pada orang yang tepat.
“Dokter Lista sudah lama berteman dengan Papa. Apakah dokter tahu apa yang dilakukan Papa selama ini? Ah... tapi jarak kalian sangat jauh. Sementara Papa adalah pria yang sangat sibuk,” ungkap Shaka dengan suara yang mulai bergetar.
“Kamu ini bertanya dijawab sendiri!” seru Dokter Lista, melihat Shaka gugup dan ragu.
“Sudah kamu minum obat kamu?” tanya Dokter Lista, menyentuh sisi pribadi yang menyakitkan, menyadari keadaan Shaka, putra dari teman kuliahnya dulu ketika mereka menjalani program residensi.
“Iya, Dok. Selain itu, saya juga ingin berkonsultasi. Dokter pasti sudah tahu alasannya saya kemari. Beberapa minggu ini saya dihantui oleh arwah penasaran. Bisakah dokter membantu saya mengusirnya?” suara Shaka mulai penuh harapan namun tetap dihimpit rasa takut yang mendalam.
Shaka mengedarkan pandangan seakan dia merasa diawasi. “Bahkan tadi, dia mengikuti saya kemari, Dok,” tambahnya dengan nada bergetar, merasakan kehadiran yang tak kasat mata di sekelilingnya.
“Mungkin itu halusinasi kamu. Saya tidak melihat satupun hantu yang kamu maksud,” jawab Dokter Lista dengan tegas, berusaha meredakan kegelisahan yang menyelimuti ruangan kecil itu.
“Bisa saja, Dok. Sejak Papa meninggal, saya merasa terbebani dengan semua pekerjaan di rumah sakit,” Shaka mengakui dengan nada yang penuh rasa sesak.