Di Bawah Umur Harap Minggir!
*****
Salahkah bila seorang istri memiliki gairah? Salahkah seorang istri berharap dipuaskan oleh suaminya?
Mengapa lelaki begitu egois tidak pernah memikirkan bahwa wanita juga butuh kepuasan batin?
Lina memiliki suami yang royal, puluhan juta selalu masuk ke rekening setiap bulan. Hadiah mewah dan mahal kerap didapatkan. Namun, kepuasan batin tidak pernah Lina dapatkan dari Rudi selama pernikahan.
Suaminya hanya memikirkan pekerjaan sampai membuat istrinya kesepian. Tidak pernah suaminya tahu jika istrinya terpaksa menggunakan alat mainan demi mencapai kepuasan.
Lambat laun kecurigaan muncul, Lina penasaran kenapa suaminya jarang mau berhubungan suami istri. Ditambah lagi dengan misteri pembalut yang cepat habis. Ia pernah menemukan pembalutnya ada di dalam tas Rudi.
Sebenarnya, untuk apa Rudi membawa pembalut di dalam tasnya? Apa yang salah dengan suaminya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Momoy Dandelion, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 29: Tidak Mungkin Suamiku Begitu
Tok tok tok
Baru saja Lina mengakhiri telepon dengan Rama, terdengar bunyi pintu diketuk. Ia heran siapa yang pagi-pagi datang bertamu ke rumahnya.
Ia berjalan menghampiri pintu dan membukanya. Tampak seorang wanita berusia kisaran 30an dengan dandanan yang tebal dan penampilan glamor yang tidak ia kenal.
"Apa benar ini rumah Pak Rudi Ardian?" tanya wanita tersebut.
"Benar, saya istrinya. Ada perlu apa, ya?" tanya Lina penasaran. Baru kali ini ada tamu tak dikenal berkunjung ke rumahnya.
"Boleh saya masuk? Kita bisa bicara di dalam," pinta wanita tersebut.
Lina agak ragu untuk mempersilakan orang yang tak dikenal masuk rumahnya. "Ya, tentu saja. Silakan masuk."
Akhirnya, Lina tetap mempersilakannya masuk karena sungkan.
"Terima kasih."
Wanita itu mengikuti Lina masuk ke dalam rumah. Mereka lantas duduk berhadap-hadapan di ruang tamu.
Wanita itu tampak mengedarkan pandangan ke sekeliling seakan tengah mengamati kondisi rumahnya.
"Jadi, apa tujuan ibu datang ke rumah saya?" tanya Lina membuka percakapan.
Wanita itu tersenyum. "Sebelumnya, perkenalkan, nama saya Wina. Saya istri dari Chang Yue, atau Pak Chang."
Lina mengernyitkan dahi.
"Pemilik perusahaan tempat Pak Rudi bekerja," lanjut Wina.
"Ah, iya."
Lina baru ingat nama itu. Ia pernah bertemu dengan atasan suaminya waktu berobat ke rumah sakit. Lelaki yang bertubuh tinggi dan bermata sipit itu adalah suami wanita yang ada di hadapannya.
"Lantas, hubungannya dengan saya apa?" tanyanya bingung. Ia sama sekali tidak mengenal rekan kerja suaminya. Rudi juga tak pernah bercerita apapun tentang kehidupan di kantornya.
Wina menatap lekat wanita di hadapannya. "Suamimu punya rahasia yang dia sembunyikan darimu."
Lina terkejut mendengarnya. Ada orang asing yang seolah lebih mengetahui tentang suaminya. Ia jadi bertanya-tanya, apa yang Rudi sembunyikan darinya? Apakah suaminya selama ini selingkuh?
"Tolong bicara lebih jelas. Saya tidak menangkap maksud pembicaraan ini," pinta Lina. Ia antara ingin tahu dan takut untuk mengetahui kenyataannya.
"Suamimu pasti jarang pulang, kan?"
Lina masih ingin berpikir positif. Ia yakin Rudi tak akan menjadi orang yang macam-macam. Justru dirinya yang sudah membuat kesalahan melakukan hubungan terlarang dengan Trian.
"Suami saya memang rajin bekerja. Mungkin Ibu lebih tahu karena suami Anda atasannya," kilah Lina.
Wina menggelengkan kepalanya. "Mereka tak sesibuk itu untuk bekerja. Aturan jam kerja juga hampir sama dengan perusahaan lainnya."
"Lalu, kenapa? Apa Ibu ingin menuduh suami saya punya selingkuhan?" tanya Lina.
Wina tertawa kecil. "Bagaimana ya, aku menjelaskannya? Mungkin justru bagi mereka, kamu yang jadi selingkuhannya."
Lina membulatkan mata mendengarnya.
"Suamiku meninggalkan keluarganya untuk tinggal bersama suamimu."
"Apa?"
Lina terperanjat kaget. Seperti ada sambaran petir yang menggelegar di atas kepalanya. Perasaannya dibuat campur aduk antara tidak percaya dan kecewa.
"Aduh, Ibu jangan mengarang cerita. Mana mungkin suami saya seperti itu."
Lina berusaha menolak kenyataan. Sama sekali tak pernah terlintas di kepalanya jika suaminya ada penyimpangan.
Wina membuka tasnya. Ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya dan disodorkan ke depan Lina.
Dengan tangan gemetar, ia mengambil satu per satu foto yang disodorkan Wina kepadanya. Foto-foto yang menunjukkan hubungan keintiman antara suaminya dan bosnya. Bahkan sampai ada foto mereka berciuman.
Rasanya Lina ingin berteriak. Kepalanya seakan mau pecah melihat sesuatu yang sangat membuatnya syok itu. Napasnya terasa sesak, dadanya sakit sekali. Ia masih tidak percaya dan berharap hal itu tak pernah benar-benar terjadi.
"Sebenarnya saya ingin menutup mata dengan hubungan tak lazim mereka. Saya juga tidak ingin hubungan rumah tangga kalian terganggu jika mengetahui kebenarannya. Tapi, Rudi itu sudah sangat keterlaluan mengatur suami saya."
"Suami saya sekarang sudah tidak pernah pulang ke rumah. Jatah uang yang dia berikan kepada keluarga kami juga jauh berkurang. Bahkan dia membeli beberapa aset atas nama suamimu!"
"Aku yakin kehidupanmu pasti sangat berkecukupan, kan? Itu semua adalah uang suamiku yang suamimu dapatkan darinya."
Tekanan batin Lina semakin besar. Ia tak kuat mendengarkan kenyataan pahit itu lebih jauh. Sekarang saja rasanya ia ingin menangis.
"Alasan inilah yang membuat saya jauh-jauh dari kota Y untuk datang menemuimu. Keluarga kami hampir hancur karena ulah suamimu."
"Satu hal yang saya minta, tolong nasihati suamimu agar mau meninggalkan suami saya. Juga jangan memeras suami saya. Ada tiga orang anak di rumah yang membutuhkan nafkah darinya."
"Tidak mungkin suami saya seperti itu. Dia menyukai wanita. Ibu jangan mengada-ada." Lina masih tidak bisa terima.
Wina tertawa. "Saya juga mengira hal yang sama. Kami bahkan bisa sampai tiga orang anak. Tapi, di balik itu, dia punya seleranya sendiri. Istri baginya hanya selingan atau justru malah pernikahan hanya dijadikan tabir untuk menutupi jati dirinya yang sesungguhnya," ucapnya.
"Saya sudah tidak peduli mereka ada hubungan atau tidak. Tapi, setidaknya biarkan suami saya bertanggung jawab terhadap keluarganya. Tolong, sampaikan itu kepada suamimu," pinta Wina.
Lina merasa hidupnya tak ada lagi gairah. Hubungan yang awalnya berjalan manis ternyata menyimpan racun yang perlahan menghancurkan dirinya. Bagaimana bisa ia menikmati kemewahan di atas penderitaan orang lain? Selama ini ia kira uang yang diterima adalah hasil kerja keras suaminya.
"Kalau kamu masih tidak percaya, datanglah ke apartemen XOX unit nomor 3216. Mereka biasa menginap di sana. Ini kartu aksesnya." Wina menyerahkan sebuah kartu akses yang dimaksud.
"Kalau begitu, saya pamit. Saya berharap Anda bisa membantu saya. Permisi," ucap Wina seraya beranjak dari tempat duduknya.
Lina turut bangun. Ia mengantar tamunya sampai ke depan pintu rumah. Tatapannya terlihat kosong. Bahkan setelah mobil tamu itu pergi, ia masih tertegun di depan rumahnya.
"Lina!"
Terdengar panggilan Dara. Lina menoleh melihat wanita itu sedang memainkan selang menyiram tanamannya.
"Ada apa, Dara?" Lina berusaha bersikap biasa meskipun pikirannya sedang kalut.
"Tadi ada tamu, ya?"
Lina mengangguk menjawab pertanyaan Dara.
"Tamu siapa? Kelihatannya orang penting," tanya Dara ingin tahu.
"Ah, itu! Tadi istrinya pemilik perusahaan suamiku. Dia ingin mengenal karyawannya, jadi ada kunjungan seperti itu," kilah Lina.
"Wah, kenapa pagi-pagi datangnya? Rajin sekali Ibu itu," gumam Dara.
"Mungkin ada waktunya pagi."
"Oh, iya. Lina! Aku boleh tanya sesuatu?"
Lina mengerutkan dahinya. "Tanya apa?" ia berharap bukan pertanyaan aneh yang keluar dari mulut Dara.
"Kamu tadi masak sarapan?" tanya Dara.
Lina merasa aneh mendengar pertanyaan itu.
"Ya, memangnya kenapa?"
"Boleh aku minta? Aku sejak tadi belum sarapan, aku lapar," ucap Dara dengan nada memelas.
Lina tercengang. Bisa-bisanya Dara minta makan kepadanya.
"Ah, iya. Kalau mau, masuk saja ke rumah. Masih ada makanan, kok," jawab Lina canggung.
Dara langsung mematikan air kran dan berlari menghampiri Lina. Ia menggandeng lengan Lina dengan santainya seolah hubungan mereka sangatlah dekat.