Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
(menuju) Berbaikan
***
Aku berjalan mondar-mandir di teras depan rumah dengan perasaan gelisah seorang diri, setelah selesai menemani Javas mengerjakan PR-nya. Tadi niat awalku setelah menemani Javas mengerjakan tugas sekolahnya, aku ingin menidurkan Alin, tapi ternyata putri bungsuku itu sudah tertidur lebih dulu sewaktu aku sedang mengajari Javas.
Alhasil, setelah menemai Javas belajar, aku membawa Alin menuju ke kamar dan menidurkannya, menyuruh Javas masuk kamar sementara aku menunggu Ayah mereka. Awalnya, Javas ingin menemaniku tapi tentu saja kutolak. Selain karena besok sekolah dan dia harus bangun pagi, aku ingin meminta maaf kepada Mas Yaksa.
Setelah kupikir-pikir, sejak kemarin aku sudah bersikap keterlaluan sebagai seorang istri yang terkesan kurang sopan. Padahal harusnya aku bisa menegur Mas Yaksa dengan cara yang lebih baik, tapi sepertinya akibat hormonku jelang pms aku tidak dapat mengontrol diri dengan baik, hal itu menimbulkan perasaan bersalah.
Aku pikir Mas Yaksa tidak akan pulang terlambat hari ini, tapi ternyata dugaanku salah. Mobil Mas Yaksa tidak kunjung terlihat, akhirnya karena mulai mengantuk aku memutuskan untuk masuk ke dalam rumah dan menunggunya di ruang tamu.
Niat awalnya aku ingin menunggu Mas Yaksa tanpa adegan tertidur, tapi ternyata aku ketiduran dengan televisi yang masih menyala. Aku menyadari hal itu saat Mas Yaksa mematikan televisinya, reflek aku langsung bangun dan mengaduh sesaat karena bangun secara tiba-tiba.
"Geya, pelan-pelan," tegur Mas Yaksa yang kurespon dengan meringis samar, "maaf, Mas bikin kamu kaget ya?" lanjutnya dengan nada suara yang penuh penyesalan.
Aku mengibaskan telapak tangan cepat. "Enggak kok, Mas. Mas Yaksa udah makan?"
Kali ini Mas Yaksa menjawab dengan gelengan kepala. "Belum."
Aku mengangguk paham. "Ya udah, Mas Yaksa mandi dulu ya, biar aku siapin makan malamnya."
"Enggak ngerepotin?" Mas Yaksa bertanya dengan nada bicara yang terdengar hati-hati.
Aku tersenyum tipis lalu menggeleng. Mas Yaksa terlihat ragu di awal, namun, pada akhirnya tetap mengangguk paham dan pamit untuk mandi, sementara aku bergegas menuju dapur dan menyiapkan makan malam untuk Mas Yaksa. Kegiatan rutinku akhir-akhir ini memang hanya begitu-begitu saja, mengurus Alin dan Javas lalu menyiapkan makan malam untuk Mas Yaksa di malam hari, minus memasak dan beberes rumah karena Mas Yaksa sudah mempekerjakan orang untuk bagian memasak dan beberes rumah. Tugasku benar-benar hanya mengurus Alin dan Javas. Makanya aku mulai bosan saat anak-anak sedang tidur siang.
Kalau dulu sewaktu masih bekerja, tidur siang adalah sebuah hal yang aku dambakan, tapi setelah tidak bekerja, aku merasa tidur siang adalah kegiatan yang membosankan. Sesaat, aku tiba-tiba merasa merindukan pekerjaanku, mengurus pasien dijudesin wali pasien, atau bahkan terjebak macet.
"Geya?"
Lamunanku seketika langsung buyar saat mendengar suara Mas Yaksa, pria itu kini sudah berganti pakaian kantornya dengan kaos polos berwarna putih yang ia padukan dengan celana kolor. Wajah Mas Yaksa tampak jauh lebih segar dengan wangi sabun yang aku suka.
"Kamu melamun?" Mas Yaksa bertanya dengan nada hati-hati.
"Eh?" Aku kebingungan.
"Mas tadi panggil-panggil kamu nggak nyaut."
Aku meringis malu. "Maaf, Mas, nggak sengaja."
"Jangan dibiasain," tegur Mas Yaksa sambil menarik kursi.
Aku pun mengikuti pergerakannya, menarik kursi sambil mengangguk dan mengiyakannya.
"Kamu belum makan?"
"Udah sih, tadi ngabisin bakso Javas. Dia tadi tiba-tiba pengen bakso gegara denger ada yang lewat depan rumah, ya udah aku beliin tapi ternyata dia nggak abis. Aku cuma mau nemenin Mas Yaksa makan, sekalian mau ngomong."
"Enggak makan lagi?"
Aku menggeleng. "Masih kenyang."
"Emang baksonya seberapa kok makan sisa udah bikin kamu kenyang?"
"Porsi makanku emang dikit, Mas, tapi sering."
"Ngemil?" tebak Mas Yaksa sambil menerima piring yang aku sodorkan.
Kembali meringis aku kemudian mengangguk. Aku memang suka sekali mengemil apalagi kalau sedang pms, males makan berat.
"Udah makan nasi kan tapi hari ini?"
Aku diam, sedikit menunduk saat menyadari ekspresi Mas Yaksa yang terlihat seperti orang yang sedang menahan kesal. Masalahnya aku tidak terlalu ingat hari ini sudah makan nasi atau belum.
"Geya, kamu lupa kalau kamu sekarang menyusui?"
"Maaf, Mas."
Mas Yaksa meletakkan sendoknya dan menggeleng tegas. "Enggak, Mas nggak bermaksud marahi kamu, Geya. Maksud Mas, tolong kamu pedulikan tubuh kamu juga. Sampai sini paham kan maksud Mas?"
Aku mengangguk cepat. "Iya, Mas, aku paham. Tapi aku lagi pms, agak males makan berat."
"Males?" beo Mas Yaksa seolah terdengar tidak percaya.
Waduh, gawat, harusnya kan malam ini aku minta maaf dan berbaikan dengan Mas Yaksa, tapi kenapa sekarang giliran melihat Mas Yaksa marah aku rasanya jadi malas untuk meminta maaf ya?
Kalau begini, kapan baikannya?
"Kamu tahu nggak sih kalau makan itu adalah kebutuhan? Kamu sekolah di bagian kesehatan loh, Geya."
"Mas, aku bilang aku lagi pms, niat aku nungguin kamu itu biar aku bisa minta maaf dan kita berbaikan, tapi kenapa dari nada bicaramu barusan terkesan ngajak ribut ya?"
"Mas nggak ada itu yang namanya ngajak ribut, itu asumsi kamu sendiri, Geya. Apa yang kamu asumsikan belum tentu sama dengan apa yang Mas maksud. Sama kayak kamu bilang niat baik Mas nggak selamanya baik juga buat kamu."
Oke, Mas Yaksa benar dan aku merasa tertampar. Ah, sungguh menyebalkan.
Lalu suasana mendadak hening, baik aku maupun Mas Yaksa sama-sama memilih untuk diam. Aku kemudian melirik Mas Yaksa ragu-ragu dan menyuruhnya untuk makan. Mas Yaksa pun menurut, ia bahkan mengajakku untuk ikut makan juga yang tentu saja tidak bisa kutolak. Selesai makan aku langsung membereskan meja makan dan mencuci piring kotornya. Mas Yaksa tetap bergeming di kursinya.
Begitu aku selesai mencuci piring kotor, aku kembali duduk di hadapan Mas Yaksa. Aku bertekad untuk berbaikan dengannya malam ini juga. Aku sudah tidak bisa menunda lagi.
To be continue,