Geya dipaksa menikahi kakak iparnya sendiri karena sang kakak meninggal karena sakit. Dunia Geya seketika berubah karena perannya tidak hanya berubah menjadi istri melainkan seorang ibu dengan dua anak, yang notabenenya dia adalah keponakannya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lin_iin, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Step Selanjutnya
***
"Gimana tadi?"
Bukannya menjawab pertanyaan Mas Yaksa aku malah celingukan mencari keberadaan seseorang. "Alin sama Javas mana?"
"Di atas, main ditemenin main sama Sita." Mas Yaksa menutup buku dan meletakkannya di atas meja, ia kemudian menepuk sofa yang ada di sebelahnya, "duduk sini!" perintahnya kemudian.
Aku menolak dengan gelengan kepala. "Mau mandi dulu."
Mas Yaksa mengangguk paham dan berdiri, meraih bukunya tadi lalu mendekat ke arahku. "Ayo!" ajaknya tanpa malu-malu merangkul pundakku.
Aku melepaskan diri dari rangkulannya. "Apaan? Aku mau mandi loh, Mas. Jangan macem-macem!" ancamku tidak main-main.
Aku baru pulang dari rumah sakit, menemani Alin bermain sebentar habis itu diculik Mama sama Ibu untuk bertemu ketemu pihak WO. Aku lelah luar biasa karena harus mengurus kebaya, undangan, sovenir dan lainnya yang bahkan aku lupa apa saja tadi saking banyaknya dan sekarang aku harus meladeni Mas Yaksa?
"Sebenernya macem-macem pun nggak masalah, Geya, tapi Mas nggak mau macem-macem cuma mau nemenin kamu mandi sementara Mas baca buku di kamar. Pikiran kamu tuh yang macem-macem." Mas Yaksa menatapku sedikit galak, "jadi mandi apa enggak?" Yang langsung kuangguki sebagai tanda jawaban.
"Gimana tadi?" Kami berjalan beriringan menaiki anak tangga.
"Capek."
"Udah ke mana aja tadi?"
"Ke butik langganan Mama buat bikin kebaya, cari sovenir, cetak undangan, ke toko kain juga, banyak deh, sampe pusing aku. Kamu mah enak, Mas, nikah dua kali tinggal terima beres."
Saat pernikahannya dengan Kak Runa dulu semua yang mengurus Mama, Ibu, Kak Runa dan aku. Mas Yaksa benar-benar tinggal terima beres. Aku tidak mengerti kenapa tidak ada yang memaksanya untuk ikut mempersiapkan pernikahan mereka dulu, padahal kan yang nikah berdua tapi yang ngurusin hanya kami para perempuan.
"Terus kenapa tadi nggak minta ditemenin?"
"Dan berakhir aku yang kena omel Ibu?" Aku menggeleng cepat, "enggak deh, Mas, makasih. Seharian ini Ibu bisanya marah-marah doang."
"Besok masih pergi-pergi nggak?"
"Masih lah, masih banyak yang harus dilakuin. Belum cek gedung, nyari catering, duh, pusing banget. Ini tuh yang aku malesin dari pesta pernikahan, udah ribet ngurusinnya bikin capek pula."
"Mas seneng--"
"Seneng ngeliat aku pusing?" potongku dengan raut wajah tidak percaya.
"Bukan, maksudnya seneng ngeliat kamu cerewet begini. Kemarin Mas pusing banget ngadepin kamu yang nangis terus, kayak beban di pundak kamu berat banget. Jadi ngeliat kamu yang cerewet kayak barusan jadi Mas ngerasa seneng."
Aku menghela napas panjang. Benar, beberapa hari kemarin terasa berat banget buatku, dituduh morotin Mas Yaksa, memanfaatkan keadaan dan tidak becus ngurus Mas Yaksa. Tapi setelah kupikir-pikir lagi ngapain juga aku memusingkan itu semua, toh, mereka tidak benar-benar tahu keadaanku, bagaimana susahnya aku, jadi mereka tidak punya hak membuat mentalku down. Dan sekarang aku lebih memilih untuk menerima nasibku lebih lapang dada lagi, meski aku tahu ke depannya akan semakin berat.
"Udah lah, Mas, move on! Nggak usah dibahas lagi itu drama nangis-nangis kemarin. Aku pusing. Mending pusing ngurus resepsi kamu yang kedua deh dibanding mikirin yang itu."
Mas Yaksa tertawa sambil mengusap pundakku. "Nah, itu baru istri Mas."
"Emang yang kemarin siapa?"
Dengan wajah polosnya Mas Yaksa hanya merespon dengan mengangkat kedua bahunya.
***
Saat aku selesai mandi, Mas Yaksa nampak asik dengan bukunya. Ia bahkan seakan tidak menyadari keberadaanku. Aku kemudian memilih untuk duduk di depan meja rias, menyisir rambut dan memakai krim malam. Aku tidak serajin itu untuk melakukan serangkaian skincare setiap malam.
"Kalau sudah selesai, sini, gabung sama Mas."
Saat aku menoleh ke arah Mas Yaksa, ia masih sibuk dengan bukunya. Aku kemudian berjalan ke arahnya dan duduk di sampingnya.
Tepat saat aku mendaratkan bokong, Mas Yaksa langsung menutup bukunya secara tiba-tiba. Hal itu membuatku terkejut bukan main. Bagaimana tidak, aku tadi niatnya mau mengintip bacaan apa yang sedang dia baca lalu secara mengejutkan ia menutupnya begitu saja, tentu saja aku kaget.
"Baca apaan emang kok langsung ditutup pas mau aku intip?"
Mas Yaksa kemudian menyodorkan bukunya. "Mau baca? Nih!"
Aku menerima buku itu sambil meringis dan meletakkan di atas meja. Meski membaca adalah hal yang aku suka, tapi melihat judul bukunya sudah membuatku hilang minat.
"Ngapain nyuruh ke sini? Mau ajak diskusi soal apa?"
"Step selanjutnya."
"Oh."
"Harus banget sekarang?"
Dengan wajah yakinnya, Mas Yaksa mengangguk cepat. "Mumpung Alin masih sama Sita."
"Mending pas Alin tidur sekalian aja nggak sih?" usulku.
"Nanti kamu keburu ngantuk terus ketiduran pasti, mending sekarang mumpung kamu masih seger."
"Aduh, Ac-nya rusak ya, Mas?"
Mendadak aku merasa gerah padahal baru selesai mandi.
Di tempatnya, Mas Yaksa sontak langsung menertawakanku, tidak sampai terbahak-bahak tapi cukup membuatku semakin salah tingkah.
Aku tidak tahu bagaimana ceritanya, tapi yang jelas suasana mendadak berubah. Mas Yaksa menatapku intens, aku semakin gugup. Apalagi kala wajah Mas Yaksa kian maju dan mengecup bibirku. Perlahan kecupannya berubah menjadi lumatan.
Otakku seketika langsung blank, aku tidak bisa berpikir jernih. Lalu tahu-tahu badanku sudah berada di pangkuan Mas Yaksa.
Wah, aku pasti sudah kehilangan kewarasan saking pusingnya mikirin resepsi pernikahan kami.
"Mas..." Suaraku tertahan.
"Mas nggak akan menyakiti kamu, Geya," bisiknya tepat di telingaku. Tak lupa ia memberikan kecupan di sana.
"Mas mau ngapain?" Aku bertanya dengan panik saat bibir Mas Yaksa turun menuju leher jenjangku.
"Step selanjutnya, Geya."
Mas Yaksa semakin menenggelamkan wajahnya pada ceruk leherku dan aku semakin terbuai oleh perlakuannya.
"Jangan digigit!" Aku memukul pundaknya kesal karena perlakuannya itu.
Mas Yaksa menggeleng. "Kamu cantik," pujinya lalu kembali mengecup bibirku. Kedua lengannya melingkar di pinggangku, tatapannya fokus pada kedua indera penglihatanku, "makasih," imbuhnya sembari membenarkan baju atasku yang sedikit berantakan karena ulahnya.
"Biar gini bentar," ucap Mas Yaksa kembali melingkarkan kedua lengannya pada pinggangku.
Entah dapat dorongan dari mana, aku tiba-tiba mengalungkan kedua lenganku pada lehernya sambil tersenyum manis saat menatapnya.
Sesaat aku tiba-tiba kepikiran, kemana ya jiwa malu-maluku itu? Apa ini artinya aku sudah benar-benar siap menyerahkan tubuhku pada Mas Yaksa?
"Mau lagi?"
"Hah?" Lamunanku seketika langsung buyar.
"Yang tadi."
Aku yakin kedua pipiku sudah merah seperti kepiting rebus.
"Oke, mulai sekarang kita pake trik yang tadi ya kalau kamu stres atau pusing. Biar nggak sakit kayak waktu itu," godanya membuatku semakin salah tingkah.
Aduh, memang susah ya menolak pria matang berpengalaman gini. Yang ada kita kalah duluan.
To be continue,
komunikasi dewasa yg bisa merekatkan keduanya.... jaga yaa geya yg terbuka ...yeksa yg membimbing...
g enak banget ya..geya...dengernyaa
sabar yaa..
...ibu sedikit saja mengerti,memahami geya u bisa adaptasi dengan keadaannya... toh geya pada dasarnya anak penurut.