Ketika seorang pemuda dihantui oleh teka-teki atas hilangnya sang Ayah secara misterius. Bertahun-tahun kemudian ia pun berhasil mengungkap petunjuk dari buku catatan sang Ayah yang menunjuk pada sebuah batu prasasti kuno.
Satrio yang memiliki tekad kuat pun, berniat mengikuti jejak sang Ayah. Ia mulai mencari kepingan petujuk dari beberapa prasasti yang ia temui, hingga membawanya pada sebuah gunung yang paling berbahaya.
Dan buruknya lagi ia justru tersesat di sebuah desa yang tengah didera sebuah kutukan jahat.
Warga yang tak mampu melawan kutukan itu pun memohon agar Satrio mau membantu desanya. Nah! loh? dua literatur berbeda bertemu, Mistis dan Saint? Siapa yang akan menang, ikuti kishanya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Deni S, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 5: Awal Perjalanan Satrio V1
Pada sebuah kamar, di apartemen sederhana. Satrio sibuk mengemasi beberapa barang yang akan ia bawa selama ekspedisinya. Berkas-berkas penelitian, terlihat berserakan di atas meja chabudai, meja lesehan khas Jepang.
Laptop di depannya menyala, menampilkan daftar barang yang harus ia siapkan untuk perjalanan menuju Gunung Niuts.
Dengan satu tangan ia merapikan tas ransel, sementara tangannya yang lain menggenggam ponsel, terhubung dengan timnya dalam panggilan konferensi.
"Bayu, bagaimana dengan obat-obatan, apa Sudah siap?" tanyanya.
Dari seberang telepon, suara Bayu terdengar yakin. "Tenang, semuanya sudah disiapkan. Ada persediaan obat-obatan darurat, dan kalau ada yang terluka parah, kita punya peralatan medis lengkap."
Satrio mengangguk pelan. Ia merasa lega, mengetahui bahwa timnya telah siap dari segi kesehatan. "Baik, bagus, dan Rio. Bagaimana dengan peta?"
"Salinan peta sudah aku buat, lengkap dengan titik-titik yang mungkin menyimpan sisa-sisa peradaban kuno di area sekitar Gunung Niuts. Aku juga menandai jalur-jalur yang tampaknya lebih aman untuk dilewati," jawab Rio dengan nada penuh keyakinan.
Satrio menghela napas lega. Peta itu penting, terutama mengingat medan di Gunung Niuts yang terkenal sulit dan penuh dengan misteri.
Ia kemudian beralih ke Gilang, yang sedari tadi tampak tenang di ujung telepon. "Gilang, bagaimana dengan dana? Aku nggak bisa berangkat tanpa memastikan semua bisa kita biayai."
Gilang terlihat berpikir sejenak sebelum menjawab, "Tidak perlu cemas, aku sudah mendapatkan dana dari lembaga kebudayaan. Tapi ada beberapa hal yang harus dibicarakan, terutama soal biaya tambahan untuk alat-alat yang lebih canggih."
Satrio mengangguk sambil memasukkan beberapa catatan ke dalam tas. "Bagus! Kita ketemu di kafe kampus yang biasa." Semua anggota tim setuju, dan percakapan berakhir.
Satrio menatap sebentar pada kasur busa di sudut ruangan yang belum sempat ia rapikan, sebelum kembali sibuk merapikan perlengkapannya.
Hingga beberapa saat kemudian Satrio menaruh ranselnya yang sudah penuh dengan peralatan dan bekal. Sebelum keluar dari apartemennya, ia berhenti sejenak di depan foto yang tergantung di dinding. Foto itu memperlihatkan sang ayah, berdiri di tengah tim penelitiannya saat mereka menemukan situs megalitikum di sebuah pelosok daerah.
Ekspresi bangga dan bahagia terpancar jelas dari wajah ayahnya. Satrio merasakan ada sesuatu yang menggelitik dalam dadanya.
"Ayah, mungkin ini adalah langkah yang sama seperti yang pernah kau ambil," pikirnya.
Jiwa petualangan dan keinginan untuk mengungkap misteri tersembunyi seolah mengalir dalam darahnya, sesuatu yang selalu ia kagumi dari sang ayah.
Dia menarik napas panjang, lalu menghela dengan mantap. Foto itu menjadi semacam pengingat bahwa ia tidak sendiri dalam perjalanan ini--ada jejak langkah yang ia ikuti, meski rintangannya kini berbeda. Satrio menatap sekali lagi foto itu, sebelum akhirnya berbalik dan berjalan keluar apartemennya. Kini waktunya bertemu tim dan menghadapi tantangan di Gunung Niuts yang semakin dekat.
Di luar, jalanan kota terlihat biasa saja, namun di dalam diri Satrio, antusiasme bercampur ketegangan terus bergelora. Sebentar lagi, mereka akan menghadapi sesuatu yang mungkin mengubah banyak hal.
***
Satrio tiba lebih dahulu di kafe, memilih meja dekat jendela dan memesan kopi hangat. Sambil menunggu kedatangan teman-temannya, ia membuka laptop, memeriksa kembali materi yang perlu dibahas--persiapan terakhir sebelum ia memulai perjalanan ke Gunung Niuts seorang diri. Beberapa catatan penting tentang potensi lokasi peradaban kuno sudah diatur rapi di layar.
Tak lama, pintu kafe berbunyi, dan Satrio melihat Rio dan Gilang masuk dengan langkah cepat, diikuti oleh Bayu yang menutup pintu di belakang mereka. Mereka semua mendekati meja, wajah-wajah mereka penuh rasa ingin tahu.
"Sudah siap semua?" Rio bertanya, mengambil tempat di seberang Satrio.
"Sudah," jawab Satrio sambil tersenyum, "Tapi masih ada beberapa hal yang ingin aku tanyakan, lalu aku berangkat besok pagi."
Gilang mengeluarkan beberapa dokumen dari tasnya, "Terkait dana, ada sebuah lembangga kebudayaan. Mereka tertarik tapi mau lihat hasil temuan sementara dulu. Mungkin bisa kasih mereka gambaran saat kamu sudah mulai dapat bukti di Niuts."
"Bagus," jawab Satrio. "Mudah-mudahan perjalanan ini jadi langkah pertama untuk membuka misteri Gunung Niuts."
Satrio menyesap kopi hangatnya, sambil memandang layar laptop yang terbuka di hadapannya. Di sana, beberapa peta digital terpampang jelas, menunjukkan kontur dan lokasi di sekitar Gunung Niuts.
"Jadi, menurut kalian," kata Satrio, mengawali diskusi, "di mana kira-kira lokasi yang paling mungkin untuk sebuah peradaban kuno tinggal di sekitar gunung ini?"
Rio, yang paling ahli soal peta dan geografi, menggeser tubuhnya ke depan. Ia membuka peta yang ia bawa, lalu menunjuk beberapa titik yang sudah ditandainya. "Ini ada dua lokasi yang paling mungkin. Pertama, di sebelah barat daya gunung, dekat lembah besar ini. Daerah ini terjaga dari angin kencang dan cukup dekat dengan sumber air. Kondisi tanahnya juga subur untuk pertanian."
Gilang, sambil memeriksa peta di layar laptop Satrio, mengangguk setuju. "Benar. Dari beberapa prasasti yang kita pelajari, peradaban kuno biasanya menetap di dekat sumber air. Ada potensi besar mereka tinggal di sana."
Satrio mengamati titik yang Rio tunjukkan. "Tapi lokasi ini cukup jauh dari puncak gunung. Apakah ada kemungkinan bahwa mereka mendekati area yang lebih tinggi, seperti untuk alasan spiritual?"
Bayu, yang lebih banyak diam selama diskusi, ikut angkat bicara. "Ada kemungkinan juga, Tri. Beberapa suku kuno sering melakukan ritual di tempat-tempat yang lebih tinggi, karena mereka percaya itu mendekatkan mereka pada dewa-dewa atau leluhur. Tapi, dari sisi praktis, mereka akan tinggal di lembah, dekat sumber air, dan naik ke puncak untuk ritual."
"Jadi, intinya mereka mungkin membangun pusat pemukiman di lembah dan menggunakan gunung untuk keperluan spiritual," kata Satrio, mencoba merangkum.
Rio menambahkan, "Ya, dan di sekitar puncak mungkin kita bisa menemukan jejak-jejak ritual kuno, seperti monumen atau batu-batu besar yang disusun secara khusus."
Satrio mengangguk, menyusun rencana dalam pikirannya. "Baiklah, kalau begitu, aku akan memeriksa lembah itu dulu. Kalau ada jejak pemukiman, kita bisa mulai menggali lebih dalam. Tapi aku juga akan menyisihkan waktu untuk mendekati puncak dan mencari petunjuk ritual yang mungkin ada."
Timnya tampak setuju dengan rencana itu. Gilang menatap Satrio dengan serius, "Jangan lupa untuk tetap berhati-hati. Lembah itu mungkin terlihat menjanjikan, tapi wilayahnya masih liar dan tidak mudah diakses."
Satrio mengangguk pelan. "Aku sudah mempersiapkan semuanya. Ini akan menjadi perjalanan yang panjang, tapi aku yakin kita akan menemukan sesuatu di sana."
Gilang menyandarkan tubuhnya ke kursi, menatap Satrio dengan rasa ingin tahu. “Tri, bagaimana dengan buku catatan itu? Aku ingat, kamu bilang ayahmu pernah melakukan penelitian di sebuah gunung. Apakah ada gambaran kompleks tentang lokasi yang dia temukan di catatan itu?”
Satrio terdiam sejenak, pandangannya tertuju pada ransel yang tergeletak di lantai, di mana buku catatan ayahnya tersimpan. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menjawab, “Sebenarnya, buku ini lebih berfokus pada teks-teks kuno yang dia kumpulkan. Teks-teks ini saling berhubungan dan mengacu pada suatu tempat, tapi sayangnya, hingga sekarang aku belum bisa mengidentifikasi lokasi pastinya.”
Gilang menatap Satrio dengan alis terangkat. “Tempat yang belum diketahui? Apakah ada hubungannya dengan Gunung Niuts?”
Satrio mengangguk pelan. “Bisa jadi. Ayahku selalu merasa bahwa ada sesuatu yang tersembunyi di balik teks-teks ini. Dia yakin ada sebuah tempat yang penting, mungkin sebuah pusat peradaban kuno, tapi belum sempat menemukannya sebelum dia... ya, sebelum dia pergi.”
Rio, yang mendengarkan dengan serius, ikut berbicara. “Mungkin itu sebabnya ayahmu sangat tertarik dengan penelitian di pegunungan. Gunung sering menjadi tempat peradaban-peradaban kuno menyembunyikan rahasia mereka.”
Bayu juga tertarik. “Dan teks-teks itu, apakah ada petunjuk yang lebih spesifik di dalamnya? Misalnya, simbol atau pola yang bisa kamu cocokkan dengan peta?”
Satrio menggeleng pelan. “Sebagian besar teks berbicara tentang ritual dan kepercayaan kuno, tapi tidak ada yang secara jelas menyebut lokasi. Yang ada hanya fragmen-fragmen yang mungkin bisa saling terkait, tapi aku belum berhasil memecahkannya. Itu sebabnya aku merasa Gunung Niuts bisa jadi kunci.”
“Jadi, kamu akan mencoba menyusuri jejak yang belum sempat ayahmu selesaikan?” tanya Gilang dengan nada serius.
Satrio menatap temannya dengan tekad kuat di matanya. “Ya, aku merasa ini bukan sekadar penelitian. Ini adalah sesuatu yang harus aku selesaikan. Untuk ayahku... dan untuk semua yang telah dia pelajari selama ini.”
Ketiga teman Satrio saling bertukar pandang, menatap Satrio dengan rasa bangga yang begitu jelas. Mereka tahu perjalanan ini bukan hanya tentang penelitian semata, tapi juga tentang melanjutkan jejak ayahnya.
Rio, yang biasanya lebih banyak diam, memecah keheningan. “Tri, andai ayahmu masih ada, aku yakin dia akan bangga melihatmu seperti sekarang. Sejauh ini kamu melangkah. Kamu hampir sampai di titik yang dia cari. Bahkan bisa melebihinya.”
Satrio tersenyum kecil, mencoba menyembunyikan keharuannya. “Terima kasih, Rio. Aku cuma berusaha melakukan yang terbaik. Apa yang aku kerjakan ini adalah bagian dari mimpi ayah, dan... ya, mimpi kalian juga sekarang.”
Bayu menepuk bahu Satrio dengan penuh kehangatan. “Kita semua di sini mendukungmu. Kamu nggak sendirian, Tri.”
Gilang pun ikut angkat bicara, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. “Kita semua paham betapa pentingnya ini buat kamu. Dan kami siap bantu sebisa mungkin, meskipun kali ini kamu harus pergi sendiri.”
Satrio menatap ketiga temannya satu per satu, rasa syukur terbersit di matanya. “Kalian nggak tahu betapa berartinya dukungan kalian. Meskipun ini perjalanan yang harus aku tempuh sendiri, aku tahu aku selalu punya kalian di belakangku.”
Mereka semua terdiam sejenak, larut dalam momen kebersamaan itu, sebelum Rio dengan canggung mencoba memecahkan suasana, “Tapi jangan lupa, kalau butuh bantuan fisik di lapangan, jangan ragu panggil kita, ya, Tri. Kami nggak keberatan lari-lari di gunung juga kok.”
Semua tertawa kecil, meredakan ketegangan, sambil tetap menyadari pentingnya perjalanan yang akan segera Satrio tempuh.
lanjut nanti yah