Mars Reviano, seorang duda yang akan kembali menikah dengan wanita yang di jodohkan oleh orang tuanya. Sayangnya, di hari pernikahannya calon mempelai wanita tak datang. Situasi sungguh kacau, pernikahan tak bisa di batalkan begitu saja.
Hingga tiba-tiba, kedatangan seorang gadis memakai gaun pengantin mencuri perhatiannya. Aurora Naomi, sosok gadis cantik pemilik senyuman indah. Ia tak sengaja masuk ke dalam gedung acara pernikahan Mars karena menghindari kejaran polisi yang ingin menilangnya.
Entah kebetulan atau tidak, Aurora merupakan keponakan dari asisten pribadi kakek Mars. Mengetahui nama Aurora dan calon mempelai wanita sama, kakek Mars langsung meminta asistennya untuk menikahkan keponakannya dengan cucunya.
"Kenapa Tuan Planet mau menikah denganku?"
"Jangan panggil saya planet! Itu sangat mengesalkan!"
Si gadis pecicilan yang bertemu dengan duda dingin? Bagaimana akhirnya? Di tambah, seorang bocah menggemaskan.
"Ibu tili? Woaah! tantiknaa ibu tili Alkaaan!"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kenz....567, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Demam dadakan
Sore hari, Julia berpamitan pulang bersama dua anak kembarnya. Dia datang hanya menjemput kedua anak kembarnya saja yang sulit di minta untuk pulang. Sampai Julia pulang, Aurora tak banyak berbicara. Ia takut mertuanya itu masih marah padanya karena kejadian siang tadi.
"Tadi mama marah gak yah." Tanya Aurora pada Mars yang sedang duduk di atas ranjang sembari memainkan ponselnya.
"Enggak, mama emang kayak gitu. Judes, tapi sebenarnya sayang kok." Terang Mars.
Aurora merengut, ia duduk di tepi ranjang dan memainkan jari jemarinya. "Sayang tapi kok galak yah, apa semua ibu begitu? Aku gak tahu kalau bunda masih ada, apa segalak itu? Tapi kata Bibi, bunda tuh orangnya lembut." Ucap Aurora yang mana membuat Mars mengalihkan pandangannya dari ponselnya.
"Kangen sama bunda?" Tebak Mars.
Aurora menggeleng, ia merebahkan tubuhnya dan memilih tidur memunggungi Mars. Jujur saja, ia merasa tak enak hati dengan Julia. Jika Julia marah, hanya Mars yang dapat membelanya. Ia tak bisa seperti anak perempuan lainnya yang membagi cerita pada orang tua. Jika bercerita pada bibinya, ia khawatir bibinya akan memikirkannya.
"Minggu depan kamu sudah bisa masuk kampus, bareng dengan Zeeya dan Jimmy. Jadi, mereka berdua bisa menemanimu di sana. Aku sudah memilih kampus terbaik untukmu," ujar Mars, ia sudah mengambil langkah untuk kegiatan istrinya kedepannya.
"Iya." Sahut Aurora yang lemas.
"Kenapa? Kamu gak mau kuliah?" Tanya Mars sembari menaikkan satu alisnya.
Aurora menggeleng, "Bosen di rumah, mending kuliah sekalian cuci mata juga." Balas Aurora.
Disini, Mars mengerti cuci mata yang di maksud istrinya adalah bertemu pria tampan lainnya. Tentunya, hal itu membuat pria tersebut kesal. "Gak boleh macem-macem loh! Kamu udah punya suami, awas aja kalau sampe nyant0l sama berondong gak modal!" Desis Mars.
Aurora melongo tak percaya, ia menatap suaminya itu yang masih menatap tajam padanya. "Astaga enggak Mars! Tau aku udah nikah, siapa juga yang mau sama istri orang. Aneh-aneh aja kamu ini!"
Mars masih merengut, "Bisakah kamu memanggilku dengan sopan? Mars ... Mars ... Mars." Gerutu pria itu.
Aurora memejamkan matanya sejenak, ia lalu beranjak duduk dan menatap kesal ke arah suaminya itu. "Mba Oliv panggil kamu apa?" Tanga Aurora.
"Abang." Jawab Mars dengan santai.
"Yaudah, aku panggil kamu Mas. Mas Mars! Atau kakak Mars? Atau Daddy Arkaaaan? Bagusan juga Tuan planet atau Mister Planet. Lebih masuk ke wajah dan nama kamu." Ucap Aurora yang mana membuat Mars mendelik kesal.
"Enggak mau! Aku mau di panggil Honey seperti kemarin. Kita buat kerja sama saja! kalau kamu memanggilku Mister Planet atau Tuan Planet atau bahkan duda genit lagi, akan ada hukumannya. Kamu harus memanggil ku Honey, mengerti?!" Aurora mengerutkan keningnya heran mendengar tawaran suaminya itu.
"Hukumannya apa?" Tanya Aurora yang penasaran.
Mars menyeringai dalam, "Yang salah kena c1um!"
"Dih! Terus untungnya buat aku apa dong?!" Seru Aurora tak terima.
Mars mengambil dompetnya, ia mengambil beberapa lembar uang dari sana dan menunjukkannya ke arah Aurora. "Kalau aku memanggilmu gadis pecicilan, atau kucing nakal ... aku akan memberikan mu satu juta, bagaimana? Deal?"
"Oke deal! Udah kan dramanya? Aku mau tidur!"
Aurora memejamkan matanya, ia tak ingin lagi berdebat dengan pria itu. Tak lama, gadis itu terlelap. Mars yang mendengar suara dengkuran halus mengalihkan pandangannya ke arah sang istri. Melihat Aurora yang tertidur dengan begitu lelap, membuat Mars tersenyum tipis. Perlahan, ia turut merebahkan tubuhnya dan memandang wajah Aurora dengan tatapan lekat.
"Maaf aku selalu membuatmu kesal, tapi ... aku ingin rumah tangga kita berjalan dengan baik." Ujar Mars dengan suara lirih. Perlahan, pria itu mendekatkan wajahnya, ia meng3cup kening Aurora dan turun ke bibir wanita itu.
"Jika kamu tidak tidur, pasti kamu sudah menam.parku karena mencuri sesuatu darimu." Gumam Mars dan tertawa kecil.
.
.
.
Mars baru saja mandi sembari mengeringkan rambutnya dengan handuk kecil. Ia akan berangkat ke kantor pagi ini. Namun, dirinya terkejut mendapati istrinya tengah duduk di tepi ranjang sembari memegangi kepala. Mars yang khawatir segera meletakkan handuk kecilnya dan melangkah mendekati sang istri.
"Kamu kenapa?" Tanya Mars dengan khawatir.
"Kepalaku pusing, badanku juga lemas." Jawab Aurora yang lemas.
Mars segera mengecek kening Aurora dengan punggung tangannya. Panas, sepertinya istrinya itu sedang demam. Aurora mendongakkan kepalanya, ia menatap wajah suaminya yang terlihat khawatir saat menatapnya. Pria itu hanya memakai celana pendeknya saja tanpa memakai atasan.
"Kamu demam, aku akan memanggil dokter. Tiduran dulu, aku minta bibi buatkan teh hangat." Mars membantu Aurora merebahkan tubuhnya. Ia lalu menyelimuti tubuh istrinya itu dan menaikkan suhu ac agar tidak terlalu dingin.
Karena berat membuka matanya, Aurora memilih memejamkan matanya. Ia tidak tahu mengapa tubuhnya mengalami demam secara tiba-tiba. Tenggorokannya juga terasa sakit, belum lagi tubuhnya yang lemas tak bertenaga. Padahal, semalam ia merasa baik-baik saja.
Mars segera berpakaian dan pergi keluar sebentar. Tak lama, ia kembali dengan membawa secangkir teh hangat.
"Nih, minum teh hangatnya dulu." Mars membantu istrinya itu untuk meminumnya.
"Pasti gara-gara manjat kemarin, kamu sih pecicilan banget, heran!" Omel Mars.
Aurora tersenyum lebar, ia lalu menadahkan tangannya di hadapan wajah Mars. Pria itu bingung, ia menatap tangan istrinya yang menadah padanya.
"Satu juta, kamu panggil aku pecicilan tadi." Ujar Aurora dengan suara nya yang lemah.
"Astagaaa, lupakan soal itu! Aku sedang marah padamu, kau tahu hah?!"
"Maaf, maafkan aku. Kalau boleh milih juga aku tidak kamu sakit kok." Lirih Aurora, ia kembali memejamkan matanya karena kepalanya yang terasa sakit.
Mars menutup pintu kamarnya, ia lalu naik ke atas ranjang dan membawa Aurora ke dalam pelukannya. Tubuh istrinya itu sangat hangat, tak dapat di pungkiri jika Mars takut terjadi sesuatu pada Aurora.
"Dokter dalam perjalanan kesini, sabar yah." Ujar Mars.
Aurora mengangguk, ia balik memeluk pinggang Mars tak kalah erat. Tak lama, dengkuran halus terdengar. Mars menunduk, ia menatap raut wajah pucat istrinya itu.
"Ayah ... yah ...." Gumam Aurora.
Mars terdiam, ia mencoba memperjelas pendengrannya dengan mendekatkan telinganya pada bibir sang istri. "Ayah?" Lirih Mars.
"Yaah, ayah." Gumam Aurora kembali, sepertinya gadis itu mengigau memanggil sang ayah.
"Kamu kangen ayah yah makanya sakit gini? Gengsi sih, padahal kangen. Sebentar, aku minta nomor ayah ke paman." Mars meraih ponselnya, ia memberi pesan pada Herman untuk meminta nomor Ansel.
Sementara itu di posisi Herman, ia masih berada di rumahnya. Mendapati kabar dari Mars jika Aurora sakit, tentu membuatnya panik dan khawatir. Kepanikannya, mengundang perhatian Helen yang baru saja menyiapkan sarapan.
"Ada apa? kenapa kamu panik seperti itu?" Tanya Helen.
"Barusan Mars kirim pesan, kata nya Aurora sakit, dia mengigau memanggil ayahnya terus. " Jawab Herman.
"Yaudah, hubungi aja Ansel. Kabarin dia kalau anaknya sakit. Masa gak mau jenguk anaknya, kan sekarang udah tinggal satu kota." Seru Helen.
Herman mengangguk, ia menghubungi Ansel. Namun, tak ada jawaban. Pria itu berdecak kesal. "Kebiasaan! Nanti deh, aku datang ke rumahnya aja."
Helen mendudukkan tubuhnya di sebelah Herman, ia lalu memandang ke depan dengan raut wajah yang sendu. "Aurora kalau sakit manja nya kebangetan, kira-kira Mars bakal telaten ngurus dia gak yah? Atau, suruh Mars antar Aurora kesini aja biar aku yang rawat. Aku gak tega kalau di sana dia ngurus diri sendiri." Ucap Helen.
Herman merangkul istrinya itu dan mengelus lengannya dengan lembut, "Mars itu pria dewasa, dia pasti sudah paham apa yang harus ia lakukan. Sudah, keponakan kecil kita sudah ada suami. Jelas, lebih di perhatikan. Kayak kamu kalau sakit, kan aku perhatiin." Herman bergurau sedikit agar istrinya tidak larut dalam kesedihan.
"Ih apaan sih! Beda tahu! Udah, sarapan sana terus samperin adikmu itu. Masa, anaknya sakit gak mau jenguk. Keterlaluan banget! Udah tinggal deketan tapi masih mentingin ego!" Kesal Helen.
Herman mengangguk paham, "Iya, nanti aku samperin dia. Kalau perlu, aku seret dia ke rumah Mars."
"Nah iya, gitu aja!"
__
Arkan mana thoooor, nanti yah kawan. Semoga gak ada drama u p hari ini🥶
densel n mars gak boleh egois bagaimanapun densel bpk kndungnya meski mars yg merawat dr kecil.
aerora bijak bisa ambil jln kluarnya.
dr kecil arkan uda sm kel mars gak bisa lsg hdp densel. hrs ada pendekatan dulu biar arkan terbiasa. densel bisa ke rmh mars klo kangen arkan.