Turun Ranjang
***
Tidak terbayang olehku kalau aku akan kehilangan orang yang paling aku sayangi setelah kedua orang tua-ku. Aku anak bungsu dari dua bersaudara, aku tidak memiliki saudara lain selain kakakku. Dia sudah menikah dan memiliki dua anak, yang satu cowok dan yang satu cewek. Dan sekarang aku harus kehilangan kakak satu-satunya yang ku miliki itu.
Malam itu sekitar pukul sebelas malam, aku yang baru saja keluar dari kamar mandi untuk menuntaskan hajatku. Aku seorang perawat yang kebetulan sedang jaga malam kala itu. Saat hendak kembali ke meja Nurse station, tiba-tiba salah satu rekan perawat yang jaga denganku mencegatku lalu memeluk secara tiba-tiba. Aku yang sedang kebingungan tentu saja langsung melepaskan pelukan dan menatapnya heran.
"Kesambet apaan lo tetiba meluk gue?"
Bukannya menjawab, Rita, rekan sejawatku itu malah kembali memelukku. Hal ini membuatku semakin kebingungan, apalagi perempuan yang satu tahun lebih tua dariku itu malah menangis dan bukannya menjelaskan apa yang sedang terjadi.
"Lo abis lihat sesuatu?" tanyaku ragu-ragu.
Percaya tidak percaya namanya rumah sakit kalau malam hari kan terkadang ada sesuatu yang tidak kasat mata. Meski aku sendiri belum pernah menemui, tapi beberapa rekan kerjaku sudah melihatnya. Jadi mungkin saja Rita baru mengalaminya makanya dia sedikit shock. Bisa jadi kan?
"Kakak lo."
Aku mengerutkan dahi bingung. Kakakku?
"Kenapa sama kakak gue? Dia lagi kelon kali sama anak suaminya."
Jujur, saat mengatakannya aku sambil tertawa sedikit. Karena gimana ya, kakak iparku itu orangnya bisa dibilang kaku, berwajah datar, dingin, kayak judes gitu. Jadi, aku sedikit merasa geli sendiri saat membayangkan mereka sedang berpelukan di atas ranjang dengan Alin, ponakanku yang paling bontot berada di tengah-tengah mereka. Tapi meski pembawaannya tegas dan sedikit menyeramkan aslinya baik banget. Sekolah keperawatanku saja yang biayain beliau.
For information, kakak iparku ini anak pemilik rumah sakit tempat aku bekerja. Tidak banyak yang tahu kalau aku ini adik ipar dari anak pemilik rumah sakit, hanya beberapa orang yang benar-benar mengenalku saja yang mengetahuinya.
"Kakak lo nggak ada, Ge."
Jantungku tiba-tiba berdetak kencang. Kepalaku pening dan aku mulai merasakan cemas berlebih. Pikiranku pun sudah berkecamuk tidak tahu arah.
"Enggak ada gimana maksudnya?" tanyaku dengan suara yang entah kenapa terdengar seperti bergetar.
"Meninggal. Kakak Runa udah nggak ada."
"Lo kalau ngomong jangan sembarangan deh!"
"Gue nggak ngomong sembarangan, ini gue baru dapet kabarnya dari IGD. Kakak lo dibawa ke sini sebelumnya."
Saat itu aku sudah tidak bisa berpikir jernih. Hanya mampu dituntun Rita menuju lantai bawah, di mana IGD berada. Lalu sesampainya di sana, tubuhku mendadak lemas saat melihat tubuh kaku Kak Runa. Aku bahkan tidak sempat menangis, langsung kehilangan kesadaran saking shocknya.
Yang membuatku semakin shock adalah penyebab kematian Kak Runa. Ternyata selama ini dia sakit tanpa memberitahuku.
Aku marah tentu saja.
Aku marah dengan semuanya. Kedua orang tuaku, bahkan kakak iparku, dan juga semua orang yang bersekongkol.
"Sejak kapan Ibu tahu?" todongku pada perempuan yang sudah membuatku terlahir di dunia ini.
Karena kekecewaan yang teramat besar, sejenak, aku melupakan sopan santun dan juga tata krama. Hatiku terlanjur hancur dan aku sangat ingin memarahi semua orang.
"Bu, tolong jawab Geya!" seruku frustasi.
"Geya, Mas harap kamu tenang!" sahut Mas Yaksa. Yang tak lain tak bukan suami Kak Runa, alias kakak iparku sendiri.
Aku menatap tajam ke arah pria yang dulu sangat aku hormati maupun aku segani ini.
"Mas Yaksa minta aku tenang? Aku baru saja kehilangan kakakku dan Mas masih minta aku tenang?" jeritku histeris.
"Di sini yang kehilangan bukan cuma kamu, Geya!" balas Mas Yaksa dengan nada yang terdengar sedikit membentak.
Jujur, aku sedikit takut karena ini pertama kalinya aku dibentak oleh Mas Yaksa. Aku cukup jarang mendengar suaranya karena dia tipe yang jarang mengobrol, lalu sekarang aku dibentak. Tentu saja aku ketakutan. Maka yang dapat aku lakukan hanya menangis tersedu-sedu. Ibu yang sedari tadi tidak bersuara pun hanya ikut menangis, tak lama setelahnya Mama Mas Yaksa datang dan memarahi Mas Yaksa lalu memelukku.
"Yaksa, kamu ini kenapa Geya yang kamu marahin?" omelnya. Beliau langsung mengelus jilbab instanku sambil sesekali melirik sang putra, "minta maaf nggak sama Geya sekarang!"
Mas Yaksa terlihat masih kesal, ia hanya melirikku sekilas lalu memilih untuk pergi begitu saja.
Sejujurnya, aku di sini juga salah. Mas Yaksa nggak sepenuhnya salah juga, dia benar, di sini yang kehilangan nggak cuma aku tapi semua orang. Tapi dengan egoisnya aku masih ingin menyalahkan semua orang.
Kepalaku kembali terasa pening karena terlalu banyak menangis dan memikirkan semuanya. Otakku tidak bisa berpikir jernih, lalu secara tiba-tiba semua berubah gelap. Samar-samar aku mendengar teriakkan Mama Mas Yaksa, aku juga sempat merasakan tepukan pelan pada kedua pipiku selama sesaat sebelum akhirnya tubuhku dibopong entah oleh siapa. Lalu setelahnya aku sudah tidak ingat lagi.
***
Tok Tok Tok
Perlahan aku membuka mata saat mendengar suara pintu kamar diketuk. Susah payah aku mencari jilbabku namun tidak kunjung ketemu.
"Geya?" panggil suara dari luar.
Tubuhku spontan menegang. Itu suara Mas Yaksa.
"Bentar, Mas," balasku sambil berteriak.
Cklek!
Aku langsung mematung, tidak berani berbalik atau sekedar menggerakkan tubuh karena paniknya.
"Nyari ini?"
Kali ini aku menoleh ke arah pintu, di mana hanya tangan Mas Yaksa yang terlihat sambil memegang jilbabku, tubuhnya pun masih tetap di luar.
Aku berlari kecil menghampirinya lalu meraih jilbabku dan memakainya buru-buru.
"Sudah?" tanyanya hati-hati.
Aku mengangguk dan mengiyakan. Lalu membuka pintu lebih lebar. Penampilan Mas Yaksa kali ini terlihat santai dengan celana pendek di bawah lutut dan kaos polo andalannya.
"Sudah enakan?"
"Eh?"
"Dari kemarin kamu pingsan terus."
"Oh." Aku kemudian mengangguk dan mengiyakan.
"Mama sama Ibu ngajakin sarapan. Mau makan di sini atau di bawah?"
Aku menundukkan kepala karena masih teringat suara bentakannya kemarin.
"Di bawah aja, Mas."
Mas Yaksa tidak membalas dan hanya mengangguk. Ia tidak perlu repot-repot mengeluarkan suara lalu pergi begitu saja dengan aku yang mengekor di belakangnya. Meski tanpa memberi kode atau memerintahku untuk mengikutinya, tapi aku secara naluriah paham kalau kakak iparku itu menginginkan hal tersebut.
"Soal semalam--"
"Mas minta maaf," potong Mas Yaksa.
Aku mengangguk sambil mengigit bibir bawahku. "Iya, Mas, Geya juga minta maaf--"
"Berarti impas kan?" potong Mas Yaksa tiba-tiba.
Aku sedikit merengut, namun, tidak berani protes dan hanya mampu mengekor di belakangnya dengan kepala tertunduk.
Saat sampai di dapur, gue sedikit heran karena tidak ada siapa-siapa di sana.
"Loh, Mas, kok sepi? Yang lain mana?"
"Udah duluan."
Aku meringis malu. "Aku kesiangan ya, Mas?"
Dengan wajah datarnya, Mas Yaksa mengangguk untuk mengiyakan. Pria itu tidak mengeluarkan suara dan memilih langsung menarik kursi untuknya duduk dan mulai agenda sarapannya. Tanpa dipersilahkan sekali lagi, aku pun mengikutinya.
"Nggak subuh?" tanya Mas Yaksa tiba-tiba.
Aku mengangguk cepat sambil mengambil sendok. "Subuh kok, cuma tidur lagi," ringisku dengan wajah menahan malu.
"Jangan dibiasain."
Aku kembali mengangguk, kali ini dengan kepala tertunduk. "Iya, Mas."
"Masih pusing?"
Kali ini aku menggeleng. Mas Yaksa mengangguk paham.
"Abis sarapan Mas mau ngomong."
"Soal?" Aku mengerutkan dahi karena penasaran.
"Nanti."
Lagi-lagi aku hanya mampu mengangguk paham tanpa perlu melayangkan aksi protes. Meski sebenarnya sangat ingin, tapi ya sudah lah, tahan dulu sampai selesai makan.
Hm, kira-kira Mas Yaksa mau ngomong apa ya?
To be continue,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 45 Episodes
Comments
MARLINA DJAILANI
akhirnya...... ada yg baru 🥹
2024-11-07
1
LISA
Aku mampir Kak
2024-11-05
1