Genap 31 tahun usianya, Rafardhan Faaz Imtiyaz belum kembali memiliki keinginan untuk menikah. Kegagalan beberapa tahun lalu membuat Faaz trauma untuk menjalin kedekatan apalagi sampai mengkhitbah seorang wanita.
Hingga, di suatu malam semesta mempertemukannya dengan Ganeeta, gadis pembuat onar yang membuat Faaz terperangkap dalam masalah besar.
Niat hati hanya sekadar mengantar gadis itu kepada orang tuanya dalam keadaan mabuk berat dan pengaruh obat-obatan terlarang, Faaz justru diminta untuk menikahi Ganeeta dengan harapan bisa mendidiknya.
Faaz yang tahu seberapa nakal dan brutal gadis itu sontak menolak lantaran tidak ingin sakit kepala. Namun, penolakan Faaz dibalas ancaman dari Cakra hingga mau tidak mau pria itu patuh demi menyelamatkan pondok pesantren yang didirikan abinya.
.
.
"Astaghfirullah, apa tidak ada cara lain untuk mendidik gadis itu selain menikahinya?" Rafardhan Faaz Imtiyaz
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 03 - Waspada Mode On
Sungguh terpaksa Papi Cakra berbohong, dia tidak punya cara lain untuk menangkap putrinya. Lagi dan lagi, kebohongan itu ternyata menjadi petaka.
Selepas akad berlangsung, Ganeeta mengurung diri di kamar dengan perasaan hancur. Dia merasa dunianya seperti direnggut paksa, bahkan dramanya mengalahkan korban pemerkosa-an.
Bagaimana tidak? Selain dibohongi, kebebasan Ganeeta juga dibatasi. Ponsel disita, akun sosial medianya dihapus hingga tidak bisa menghubungi sahabat maupun pacarnya.
Karena itulah, setengah jam Ganeeta gunakan untuk meraung dan meluapkan kekesalan di dalam kamar tanpa satu pun yang mengganggu.
Hingga setelah merasa lelah, Ganeeta menghempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur. Masih dengan air mata yang terus berurai, Ganeeta meratapi jalan hidupnya.
Setelah satu tahun lalu dibuat patah sepatah-patahnya dengan kabar pernikahan Om Pras - pria yang dia cintai dari kecil, kali ini Ganeeta kembali merasa patah karena lagi-lagi harus terpisah dengan orang yang dia cinta, Zion.
"Papi maunya apasih? Dulu sama Om Pras dilarang ... sekarang sama Zion juga dipisahin, jadi orangtua egois terus," ucapnya sembari terisak.
Napasnya sampai terasa sempit, Ganeeta menggigit bibir dan mencoba untuk berpikir jernih. Setelah tadi sempat berusaha mencari benda tajam yang bisa digunakan untuk menyakiti diri sendiri gagal, dia mulai berpikir untuk benar-benar membenturkan kepalanya ke wastafel kamar mandi.
Dengan cara itu, Ganeeta yakin sakitnya minimal, tapi kemungkinan wa-fat lebih maksimal. Namun, belum sempat dia realisasikan seseorang mengusap rambutnya begitu pelan.
Tanpa perlu dijelaskan, Ganeeta tahu siapa di balik usapan lembut itu. "Mami mau apa? Anet tidak lapar, silakan nikmati makan malam kalian."
Jawaban super dingin dari Ganeeta cukup membuat batin maminya teriris. Tidak pernah dia menduga, Ganeeta yang dulunya ceria akan mengalami hal semacam ini sewaktu beranjak dewasa.
Hanya karena Papi Cakra menentang keras cinta terlarangnya kepada Prasetya, Ganeeta kian lama kian terluka dan kehilangan dirinya. Hingga, pernikahan Prasetya dan Innaya menjadi puncak kehancuran Ganeeta.
Sejak saat itu, Ganeeta benar-benar menjelma menjadi gadis nakal dan liar. Lingkungannya berubah, anak punk seakan jadi sahabat bahkan dia rela kehilangan teman kecilnya.
Jalan raya seolah jadi dunia, kebut-kebutan menjadi hobinya dan tidak terhitung sudah berapa kali pulang dalam keadaan mabuk.
Terakhir, dia juga mulai mengonsumsi nar-koba jenis ekstasi hingga membuat kedua orang tuanya putus asa.
Padahal, tujuan Papinya baik. Dia tidak merestui cinta yang Ganeeta miliki pada Prasetya karena usia mereka jauh berbeda, 24 tahun bedanya.
Di sisi lain, Prasetya juga mencintai wanita lain yang sekarang dijadikan istri dan dia pun menganggap Ganeeta seperti anak sendiri.
Sayangnya, hingga detik ini Ganeeta masih tutup mata dan buta akan fakta. Tanpa peduli dengan maksud dan tujuan kedua orangtuanya, yang Ganeeta tahu baik papi maupun maminya sama, egois.
"Eh, Oma masakin iga bakar loh ... Anet suka, 'kan?"
"Tidak, sudah Anet bilang tidak mau."
"Loh kok gitu? Atau mau Papi yang ajak makan?"
Ganeeta menggeleng pelan. "Anet benci papi," ucap Ganeeta sembari mengepalkan tangan. "Benci mami juga," tambahnya kemudian.
Bukan main perihnya hati Ameera, walau memang dalam keadaan marah, tapi kata-kata benci dari sang putri terlalu menyedihkan baginya.
Terlebih lagi, sejak kecil tidak pernah begitu. Ameera tidak dapat menyalahkan siapa-siapa, hendak menyudutkan suaminya tidak mungkin karena yang Cakra lakukan sudah benar.
Hanya saja, Ganeeta memang belum dewasa dan terobsesi pada kisah cinta sesuai dengan dongengnya.
"Baiklah, Mami keluar kalau begitu ... maaf kalau Papi dan Mami terkesan kejam, tapi percayalah semua ini demi kebaikanmu, Ganeeta," ucap wanita itu kemudian mengecup puncak kepala putrinya.
Tetap tidak ada tanggapan, Ganeeta masih terlihat keras hati. Hal itu tidak mengurungkan niat Mami Ameera untuk keluar mengingat keluarga besannya masih di rumah.
Begitu membuka pintu kamar, wanita itu dibuat terkejut tatkala sadar Faaz tengah berdiri di sana.
.
.
"Ehm, kamu di sini?"
"Iya, tadi diminta Om Cakra_"
"Heih kenapa Om manggilnya? Papi dong, ingat kamu sudah jadi bagian dari keluarga ini ... jadi jangan lagi dipanggil Om, kualat loh nanti," ucapnya masih saja bisa bercanda.
Padahal, hati wanita itu hancur lebur dengan apa yang terjadi pada putrinya.
"Iya, maksudnya Papi," ucap Faaz gugup sekali.
Bukan hanya gugup di hadapan mertua, tapi hatinya sudah dag dig dug sejak awal diminta masuk untuk menemui Ganeeta.
"Ah iya, mau masuk, 'kan?"
"Iya, Mi."
"Masuklah, maaf kalau sikapnya bikin ngelus dada ... Mami yakin lama-lama dia akan menerima, mohon bersabar ya, Faaz," tutur Mami Ameera dengan kedok peringatan darurat di sana.
Meski begitu, Faaz tidak memperlihatkan ketakutannya. Pria itu mengangguk seraya mengulas senyum hangat sebagai bentuk keikhlasannya.
"Oh iya, Ganeeta belum makan ... nanti agak maleman dikit tolong kamu tanyain ya, Mami khawatir karena dia punya riwayat magh," jelas Mami Ameera sebelum benar-benar berlalu pergi meninggalkan kamar putrinya.
Selepas kepergian mertuanya, baru kemudian Faaz memberanikan diri untuk masuk ke dalam kamar istrinya. Belum apa-apa, Faaz sudah lebih dulu mengelus dada tatkala memandangi seisi kamar yang sudah persis kapal pecah.
Ingin sekali dia tegur, tapi yang punya kamar sudah mendengkur hingga membuat Faaz mengurungkan niat.
"Cepat sekali tidurnya, apa mungkin lelah setelah olahraga?" Faaz bermonolog sembari menatap ke arah Ganeeta yang tidur di tepian ranjang dengan posisi meringkuk.
Tanpa menunggu lama, Faaz berinisiatif memperbaiki posisi tidur sang istri sebagaimana mestinya.
"Maaf ya, Mas izin benerin posisi tidurnya," ucap Faaz masih meminta izin walau Ganeeta sudah terpejam.
Hanya terpejam, bukan tertidur karena hingga detik ini Ganeeta masih terjaga. Bahkan, dia masih bisa memandangi wajah tampan Faaz dengan modal pura-pura tidur seperti ini.
Seakan sengaja menguji kesabaran Faaz, setelah posisinya diperbaiki bahkan diselimuti, Ganeeta berdiri dan meraih dua bantal dengan wajah cemberutnya.
"Kamu mau kemana?"
"Tidur," jawabnya cuek seraya memalingkan muka.
"Tidur kemana?"
"Kamar tamu."
"Kenapa begitu?"
"Masih tanya kenapa, aku tidak mau sekamar lah," jawab Ganeeta sedikit lebih panjang dari sebelumnya.
"Tetap di sini, biar Mas yang tidur di sofa," ucap Faaz segera ambil tindakan dan mengambil satu bantal untuk dia letakkan di atas sofa yang berada di sudut kamar.
"Huft, aku bilang tidak mau sekamar."
Faaz terdiam, dia tampak berpikir sebelum kemudian kembali bicara. "Ehm, kalau begitu seranjang mau?"
"Ih, apalagi itu!! Sekamar saja tidak mau, apalagi seranjang."
"Tapi bagaimana? Kamar tamu sudah terisi, satu-satunya kamar yang bisa kutempati hanya ini."
"Hah? Sudah terisi?"
"Iya, full pokoknya."
"Kok bisa? Siapa yang isi?"
"Keluarga Mas ada beberapa yang nginap di sini, karena itu semalam saja Mas numpang tidur di kamar kamu boleh ya," ucap Faaz baik-baik tak ubahnya tengah merayu anak TK.
Dengan wajah sebalnya, Ganeeta berdecak pelan seraya melemparkan kembali bantal-bantal yang tadi dia peluk.
"Ya sudah, tapi ingat cuma tidur ya!"
"Iya, memangnya mau apa lagi selain tidur?"
"Situ kan sudah dewasa, jadi aku harus waspada."
"Kenapa harus waspada?" tanya Faaz masih dengan pikiran super sucinya.
"Takut saja, nanti dicoblos diam-diam kan bahaya."
"Astaghfirullah, Ganeeta ...."
.
.
- To Be Continued -
Kamu dah mahasiswi loh..bkn anak kecil lagi
Bisa kan mencerna ucapan Faaz
Kalian sama² terpaksa awalnya...bahkan kamu kabur Neet
Tp seiring berjlnnya wkt mulai sama² nyaman kan...mulai saling membutuhkan
Klwpun kamu marah & kecewa....jgn ke Faaz dong...ke Papimu sana
Kalian sama² 'korban' disini
Klw boleh jahat....biangnya sebenarnya Om Pras...salah memperlakukan sedari balita...itu menurut aku
Jd sampai kamu remaja kamu salah mengartikan sayangnya Om Pras ke kamu
jiwa posesif Faaz muncul jga..
😀😀😀😀❤😉😉
Plg dulu sana Om
dan semoga dngan dtang ny Pras konflik rumhtngga ny Anet ma Faaz cpet kelar
Gaspol no rem 😂
ak sendiri klo jd anett jangankn Deket liat muka orgnya aja udh GK mau,,
pasti butuh pelampiasan entah pelukan atau sandaran,, 😔🤧