"Rumah Tanpa Atap" mengisahkan tentang kehidupan seorang remaja bernama Zilfi, yang tumbuh dalam keluarga yang terlihat sempurna dari luar, namun di dalamnya penuh ketidakharmonisan dan konflik yang membuatnya merasa seperti tidak memiliki tempat untuk berlindung. Setelah perceraian orang tuanya, Zilfi harus tinggal bersama ibunya, yang terjebak dalam rasa sakit emosional dan kesulitan finansial. Ayahnya yang Berselingkuh Dengan Tante nya hanya memperburuk luka batin Zilfi, membuatnya merasa tak pernah benar-benar memiliki "rumah" dalam arti sebenarnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yiva Adilla, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
IMAJINASI IBU
Zilfi berdiri di tengah-tengah, jantungnya berdegup kencang. Ruangan yang biasanya terasa hangat kini penuh dengan ketegangan. Ia menatap Ayah, lalu beralih ke Ibu. Dua pilihan, dua jalan yang berbeda, dan masing-masing terasa begitu sulit.
Ayah mendekat, suaranya lebih lembut dari biasanya. “Zilfi, kamu tidak harus memutuskan segalanya sekarang. Yang penting, kamu kembali ke tempat yang aman. Kita bisa bicara lagi nanti.”
Tapi Ibu maju, tangannya meraih bahu Zilfi dengan lembut, matanya penuh dengan air mata. “Zilfi, Ibu tahu kamu bingung. Tapi tolong, percayalah pada Ibu. Ini lebih dari sekadar perasaan takut. Ibu tahu sesuatu yang Ayahmu tolak untuk lihat. Jika kamu pergi sekarang, kamu mungkin tidak akan pernah tahu kebenarannya.”
Zilfi menunduk, kepalanya penuh dengan pertanyaan. Ayah bilang Ibu hanya takut tanpa alasan, tetapi melihat Ibu sekarang, rasa takut itu begitu nyata. Ada sesuatu yang dirasakannya lebih dari sekadar kecemasan biasa.
Dengan suara lirih, Zilfi bertanya, "Ibu, kalau aku tinggal... apa yang akan terjadi padaku?"
Ibu menatapnya dengan penuh harap, seolah memegang jawaban yang Zilfi cari. “Ibu akan melindungimu, Zilfi. Kita akan mencari tahu kebenaran bersama. Kamu tidak sendirian.”
Ayah, yang berdiri hanya beberapa langkah di belakangnya, menambahkan, “Zilfi, kamu tidak perlu dibebani dengan hal-hal yang tidak ada. Jangan biarkan ketakutan mengendalikan hidupmu. Percayalah, di asrama kamu bisa merasa aman, jauh dari semua ini.”
Zilfi memejamkan mata sejenak, mencoba mendengarkan hatinya. Tapi semakin ia mendengarkan, semakin kabur perbedaan antara rasa aman dan ketakutan. Dalam hatinya, ia tahu bahwa pilihannya sekarang akan menentukan bagaimana ia menjalani hidup ke depan.
Dengan napas berat, Zilfi akhirnya berbicara. “Aku... aku akan pergi dengan Ayah,” katanya pelan, nyaris seperti bisikan.
Ayah menghela napas lega, sementara Ibu terdiam, wajahnya berubah pucat. “Zilfi...” bisik Ibu, air mata kini mulai mengalir di pipinya.
Zilfi mendekati Ibu dan memeluknya erat. “Maaf, Bu. Aku masih mencintaimu. Tapi aku butuh waktu untuk memahami semuanya.”
Ibu memeluk Zilfi lebih erat, seolah tidak ingin melepaskannya. “Kamu akan selalu ada di hati Ibu. Tapi tolong, Zilfi... jangan lupakan apa yang Ibu katakan.”
Zilfi mengangguk, air matanya ikut mengalir. Ketika ia melepaskan pelukan Ibu, ia merasakan ada sesuatu yang patah di dalam dirinya. Mungkin ia telah membuat keputusan, tapi perasaan terpecah itu akan terus mengikutinya.
Ayah meraih tangannya dengan lembut. “Ayo, Zilfi. Mari kita pulang.”
Saat Zilfi melangkah keluar pintu bersama Ayah, ia menoleh sekali lagi ke arah Ibu, yang berdiri di ambang pintu, air mata menggenang di matanya. Angin malam terasa dingin di kulitnya, tapi di hatinya, kekacauan belum mereda. Apakah ia telah membuat keputusan yang benar? Atau apakah ia meninggalkan sesuatu yang lebih besar di belakangnya? Pertanyaan itu terus berputar di benaknya saat mereka berjalan menjauh.
Ketika Zilfi dan Ayah berjalan menuju mobil, langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah menjauh dari Ibu mengikatkan beban di hatinya. Ia merasakan genggaman tangan Ayah yang tegas, namun dingin, dan meski itu seharusnya memberinya rasa aman, justru yang ia rasakan hanyalah kekosongan.
Mereka masuk ke dalam mobil. Ayah mulai menyalakan mesin, sementara Zilfi menatap keluar jendela, melihat sosok Ibu yang masih berdiri di depan pintu, semakin mengecil seiring mobil bergerak. Di matanya, bayang-bayang Ibu terus mengiringi, bahkan saat mereka sudah menjauh.
Keheningan menguasai perjalanan mereka, hanya suara deru mesin yang terdengar. Zilfi ingin bertanya, ingin tahu lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi antara Ayah dan Ibu. Namun setiap kali ia membuka mulut, sesuatu menahannya rasa takut, mungkin, atau mungkin kebingungan yang belum bisa diungkapkan.
"Ayah," akhirnya Zilfi memberanikan diri berbicara, "apa sebenarnya yang membuat Ibu begitu ketakutan?"
Ayah tidak segera menjawab. Ia tampak berpikir keras, menimbang-nimbang kata-katanya. Ketika Zilfi dan Ayah berjalan menuju mobil, langkahnya terasa berat, seolah setiap langkah menjauh dari Ibu mengikatkan beban di hatinya. Ia merasakan genggaman tangan Ayah yang tegas, namun dingin, dan meski itu seharusnya memberinya rasa aman, justru yang ia rasakan hanyalah kekosongan.
Mereka masuk ke dalam mobil. Ayah mulai menyalakan mesin, sementara Zilfi menatap keluar jendela, melihat sosok Ibu yang masih berdiri di depan pintu, semakin mengecil seiring mobil bergerak. Di matanya, bayang-bayang Ibu terus mengiringi, bahkan saat mereka sudah menjauh.
Keheningan menguasai perjalanan mereka, hanya suara deru mesin yang terdengar. Zilfi ingin bertanya, ingin tahu lebih banyak tentang apa yang sebenarnya terjadi antara Ayah dan Ibu. Namun setiap kali ia membuka mulut, sesuatu menahannya—rasa takut, mungkin, atau mungkin kebingungan yang belum bisa diungkapkan.
"Ayah," akhirnya Zilfi memberanikan diri berbicara, "apa sebenarnya yang dimaksud oleh ibu?"
ayah menjawab dengan mata berlinang,"sebenarnya ibu kamu sudah satu bulan ini meninggal,itu hanya roh nya saja yang mencoba untuk menemui mu,Ibumu... sudah lama memiliki ketakutan yang tidak berdasar. Dia percaya ada sesuatu yang lebih besar dari kenyataan ini, sesuatu yang tidak bisa kita lihat. Ayah menghormati perasaannya, tapi itu bukanlah kenyataan yang sehat untukmu."
Zilfi mengangguk perlahan, tapi penjelasan itu tidak sepenuhnya memuaskan rasa ingin tahunya. "Tapi... apa yang Ibu takutkan? Kenapa dia begitu yakin?"
Ayah menarik napas panjang. "Dia merasa ada kekuatan di luar sana, sesuatu yang mencoba mempengaruhi hidup kita. Namun, Zilfi, Ayah sudah mencoba membantunya memahami bahwa semua itu hanya ada di pikirannya. Ayah tidak ingin kamu tumbuh dengan ketakutan yang sama."
Zilfi kembali terdiam. Kata-kata Ayah terdengar logis, tapi masih ada yang tidak terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi pada Ibu? Mengapa Ibu begitu yakin akan hal-hal yang tidak dapat dilihat atau dijelaskan?
Saat mobil mulai memasuki jalan raya, tiba-tiba Zilfi merasakan sesuatu yang aneh. Sebuah bayangan melintas cepat di sudut matanya, dan tubuhnya mendadak terasa dingin. Ia menoleh ke belakang, ke arah rumah yang semakin jauh, dan perasaan tak enak menggerogoti hatinya.
"Ayah..." Zilfi bergumam pelan, "apa mungkin... Ibu benar?"
Ayah menghela napas, kali ini lebih keras, tampak jengkel. "Zilfi, jangan biarkan pikiran-pikiran seperti itu mempengaruhimu. Kamu harus fokus pada apa yang nyata, apa yang bisa kita lihat dan buktikan. Ibumu hanya... terlalu terbawa oleh imajinasinya."
Namun, Zilfi tidak bisa menghilangkan perasaan ganjil itu. Saat ia mencoba fokus ke jalan di depannya, bayangan itu terus membayangi pikirannya. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan. Sesuatu yang... menunggunya di rumah.
Di dalam rumah, Ibu Zilfi masih berdiri di ambang pintu, memandang ke arah mobil yang sudah menghilang di kejauhan. Air matanya sudah kering, tapi ketakutan masih melekat di wajahnya.
Ia tahu bahwa Zilfi tidak akan sepenuhnya percaya padanya—belum. Tapi cepat atau lambat, anaknya akan menyadari bahwa dunia yang mereka tinggali bukanlah dunia yang terlihat sederhana.
Sebuah bayangan melintas di belakangnya. Ia menoleh, dan mendapati sosok samar berdiri di ujung ruangan. Matanya dingin, memancarkan sesuatu yang gelap, dan perlahan-lahan, sosok itu mendekat.
"Ibu akan melindungi Zilfi," bisiknya pada dirinya sendiri, meskipun jantungnya berdebar kencang. "Ibu harus."