Perempuan di Balik Topeng
menceritakan kisah Amara, seorang gadis desa sederhana yang jatuh cinta pada Radit, seorang pria kaya raya yang sudah memiliki dua istri. Radit, yang dikenal dengan sifatnya yang tegas dan dominan, terpesona oleh kecantikan dan kelembutan Amara. Namun, hubungan mereka menghadapi banyak rintangan, terutama dari Dewi dan Yuni, istri-istri Radit yang merasa terancam.
Dewi dan Yuni berusaha menghalangi hubungan Radit dan Amara dengan berbagai cara. Mereka mengancam Amara, menyebarkan fitnah, dan bahkan mencoba untuk memisahkan mereka dengan berbagai cara licik. Amara, yang polos dan lugu, tidak menyadari kelicikan Dewi dan Yuni, tetapi Radit, meskipun jatuh cinta pada Amara, terjebak dalam situasi sulit.ujian
Radit harus memilih antara kekayaan dan kekuasaannya, atau menuruti hatinya yang telah jatuh cinta pada Amara. Kisah ini menjelajahi tema cinta, kekuasaan,
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Idayati Taba atahiu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
Mas Radit kembali dari perjalanan bisnisnya. Ia memasuki rumah dengan wajah lelah, tapi matanya langsung mencari Amara. "Amara, di mana kamu?" tanyanya, suaranya sedikit khawatir.
Yuna langsung menjawab dengan nada sok perhatian, "Amara sedang beristirahat di kamar, Mas. Dia lelah karena seharian membersihkan rumah."
Dewi menimpali, "Iya, Mas. Amara memang rajin sekali. Dia selalu membersihkan rumah dengan rapi."
Mas Radit mengangguk, terkesan dengan cerita mereka. Ia tidak curiga sedikit pun dengan apa yang sebenarnya terjadi.
Saat Mas Radit hendak menuju kamar Amara, Dewi dan Yuna langsung mencegatnya. "Mas, sebentar," ucap Dewi, suaranya berbisik penuh ancaman.
"Ada apa, Dewi?" tanya Mas Radit, bingung.
"Jangan tanya Amara tentang apa pun, Mas," ucap Yuna, menambahkan, "Kami sudah mengurus semuanya. Amara baik-baik saja."
Mas Radit semakin bingung, "Tapi, aku ingin bicara dengan Amara."
"Tidak usah, Mas. Amara sedang lelah. Lebih baik kamu istirahat saja," ucap Dewi, menarik Mas Radit ke ruang tamu.
Yuna mendekati Amara, matanya menyala dengan api dendam. "Jangan beritahu Mas Radit tentang apa pun, Amara," bisiknya, suaranya dingin dan mengancam.
"Kalau kau berani cerita, kami akan membuatmu menderita," tambah Dewi, suaranya bergetar dengan amarah.
Amara terdiam, tubuhnya gemetar. Ia merasa sangat ketakutan. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa pasrah, menahan air mata dan kesedihan.
Ia merasa sangat kecil dan lemah di hadapan Dewi dan Yuna. Ia hanya bisa berharap, Mas Radit akan segera mengetahui kebenarannya.
*****
Mentari pagi menyinari rumah, menandakan hari baru telah tiba. Dewi bangun dengan semangat, mencoba untuk bersikap baik kepada Amara. Ia tersenyum lebar, menyapa Amara dengan ramah.
"Pagi, Amara. Kamu sudah bangun? Ayo, sarapan dulu," ucap Dewi, suaranya terdengar lembut, berbeda jauh dengan nada kasarnya yang biasa.
Yuna juga ikut-ikutan bersikap baik. Ia menyiapkan sarapan dengan cekatan, menawarkan berbagai macam makanan kepada Amara. "Makan yang banyak, Amara. Kamu harus kuat," ucap Yuna, mencoba untuk bersikap peduli.
Amara hanya diam, menatap makanan di hadapannya dengan tatapan kosong. Ia tidak percaya dengan perubahan sikap Dewi dan Yuna. Ia tahu, di balik kebaikan mereka, tersembunyi niat jahat yang ingin menghancurkannya.
"Hari ini kamu ke salon saja, Amara. Supaya kamu lebih cantik," ucap Dewi, mencoba untuk bersikap perhatian.
Amara hanya mengangguk, mencoba untuk bersikap tenang. Ia tidak ingin menunjukkan rasa takutnya kepada Dewi dan Yuna. Ia tahu, jika ia menunjukkan kelemahan, mereka akan semakin beringas.
Mas Radit datang dari kamar, matanya tertuju pada Amara. Ia heran dengan perubahan sikap Amara. Amara yang dulu selalu ceria dan penuh semangat, kini tampak lesu dan pendiam.
"Amara, kamu kenapa? Kamu sakit?" tanya Mas Radit, suaranya terdengar khawatir.
Amara menggeleng, "Tidak apa-apa, Mas. Aku hanya sedikit lelah."
Mas Radit tidak curiga. Ia berpikir, Amara mungkin hanya kelelahan karena seharian membersihkan rumah. Ia tidak tahu, bahwa Amara sedang menderita di tangan Dewi dan Yuna.
Mas Radit mengelus kepala Amara, "Kamu istirahat saja, ya. Nanti kalau kamu sudah sehat, kita jalan-jalan."
Amara hanya tersenyum tipis, mencoba untuk menyembunyikan kesedihannya. Ia tahu, Mas Radit tidak akan pernah percaya dengan apa yang sebenarnya terjadi. Ia hanya bisa berharap, suatu saat nanti, kebenaran akan terungkap.
******
Dewi menarik Amara ke dalam mobil. "Ayo, kita ke salon," ucap Dewi, suaranya terdengar dingin. Ia tidak peduli dengan perasaan Amara yang sedang terluka.
Di dalam mobil, Amara terdiam, menatap ke luar jendela. Ia merasa sangat sedih dan rindu pada ayah dan ibunya. Ia ingin sekali pulang, bertemu dengan mereka, bercerita tentang semua yang terjadi padanya.
"Kamu kenapa, Amara? Kok diam saja?" tanya Dewi, suaranya terdengar sinis.
Amara menggeleng, "Tidak apa-apa, Dewi."
"Bohong! Kamu pasti sedang memikirkan ayah dan ibumu, kan?" ucap Dewi, menertawakan Amara.
"Ya, aku merindukan mereka," jawab Amara, suaranya bergetar. Air matanya mengalir deras, membasahi pipinya.
"Hahaha! Lihat, Amara! Kau memang tidak pantas menjadi istri Mas Radit. Kau hanya perempuan murahan yang tidak bisa hidup sendiri," ejek Dewi, suaranya berdengung penuh kepuasan.
Yuna ikut-ikutan menghina Amara. "Iya, Amara. Kau hanya sampah. Kau tidak pantas untuk dicintai. Kau hanya pantas untuk disiksa."
Amara terdiam, menahan air matanya. Ia merasa sangat tersakiti. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya bisa pasrah, menahan air mata dan kesedihan.
Ia merasa sangat kecil dan lemah di hadapan Dewi dan Yuna. Ia hanya bisa berharap, Mas Radit akan segera mengetahui kebenarannya.
Saat mereka tiba di salon, Dewi dan Yuna langsung menyuruh Amara untuk duduk di kursi. Mereka memilih gaya rambut dan make-up yang menurut mereka cocok untuk Amara.
Amara hanya pasrah. Ia tidak peduli dengan penampilannya. Ia hanya ingin semua ini segera berakhir.
"Lihat, Amara! Kamu jadi lebih cantik sekarang," ucap Dewi, mencoba untuk memuji Amara.
Amara hanya tersenyum tipis, mencoba untuk bersikap tenang. Ia tahu, Dewi dan Yuna hanya ingin membuat dirinya terlihat cantik di mata Mas Radit.
"Kamu harus bersyukur, Amara. Kami sedang berusaha membuatmu menjadi istri yang sempurna untuk Mas Radit," ucap Yuna, suaranya berbisik penuh ancaman.
Amara terdiam, menahan air matanya. Ia tahu, Dewi dan Yuna tidak akan pernah berhenti menyiksanya. Ia hanya bisa berharap, Mas Radit akan segera mengetahui kebenarannya.
*******
Suasana di salon terasa mencekam bagi Amara, meskipun salon itu sendiri dipenuhi dengan suara riuh dan aroma harum produk kecantikan.
Amara duduk di kursi, terkurung di antara perlengkapan salon yang berkilauan. Ia merasa seperti boneka yang sedang dipersiapkan untuk dipamerkan, tanpa memiliki kendali atas dirinya sendiri.
Dewi dan Yuna, yang seharusnya menjadi teman, berubah menjadi algojo yang kejam. Mereka memilih gaya rambut dan make-up yang menurut mereka cocok untuk Amara, tanpa mempertimbangkan keinginan Amara.
Tatapan mereka tajam dan penuh ancaman, menunjukkan bahwa mereka tidak akan segan-segan menyiksa Amara jika ia berani menolak atau menunjukkan ketidaksetujuan.
Suara tawa mereka terdengar sarkastik, menghina dan mengejek Amara. Amara merasa terasing, seperti berada di tengah hutan belantara yang penuh dengan predator yang siap menerkamnya.
Suasana salon yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi neraka bagi Amara. Setiap sentuhan, setiap kata, setiap tatapan, mengandung ancaman dan kepedihan. Amara hanya bisa pasrah, menahan air mata dan kesedihan, menunggu saat-saat penyiksaan ini berakhir.
******
Dewi terdiam, matanya terbelalak tak percaya. Ia menatap Amara dengan tatapan penuh kekaguman dan kecemburuan. Amara tampak begitu cantik setelah perawatan di salon. Rambutnya yang hitam legam terurai indah, menutupi bahunya yang putih bersih. Make-upnya yang tipis, menonjolkan kecantikan alami Amara.
"Amara, kamu... Kamu cantik sekali," gumam Dewi, suaranya terdengar sedikit gemetar.
Yuna yang berdiri di samping Dewi, juga terkesima dengan kecantikan Amara. "Ya, Amara. Kamu memang cantik. Mas Radit pasti akan sangat menyukaimu," ucap Yuna, suaranya terdengar sedikit iri.
Dewi merasa cemburu. Ia tidak menyangka, Amara bisa terlihat secantik itu. Ia merasa, Mas Radit pasti akan lebih memperhatikan Amara daripada dirinya.
"Tidak, Yuna. Mas Radit pasti akan lebih memperhatikan aku. Aku kan lebih cantik dari Amara," ucap Dewi, mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri.
Namun, dalam hati, Dewi merasa tidak yakin. Ia merasa, kecantikan Amara telah mengancam posisinya di hati Mas Radit.
Amara yang melihat tatapan cemburu Dewi, hanya tersenyum tipis. Ia tidak peduli dengan kecantikan dirinya. Ia hanya ingin semua ini segera berakhir. Ia ingin pulang, menemani ayahnya yang sedang sakit, dan mengurus ibunya yang sedang lemah.
"Ya Allah, aku mohon, selamatkan aku dari semua ini. Berikan aku kekuatan untuk menghadapi semua cobaan ini. Lindungi ayah dan ibuku," lirih Amara, mengucapkan doa dalam hatinya.
Amara merasa tenang setelah berdoa. Ia yakin, Allah akan selalu menolongnya dalam segala kesulitan. Ia yakin, semua ini akan segera berakhir.
Amara hanya bisa berharap, Mas Radit akan segera mengetahui kebenarannya dan menyelamatkannya dari siksaan Dewi dan Yuna.