Lusiana harus mengorbankan dirinya sendiri, gadis 19 tahun itu harus menjadi penebus hutang bagi kakaknya yang terlilit investasi bodong. Virgo Domanik, seorang CEO yang terobsesi dengan wajah Lusiana yang mirip dengan almarhum istrinya.
Obsesi yang berlebihan, membuat Virgo menciptakan neraka bagi gadis bernama Lusiana. Apa itu benar-benar cinta atau hanya sekedar obsesi gila sang CEO?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Sept, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Keputusan Lusi
Kediaman pak Hadi
Rumah pak Hadi kelihatan sepi, mungkin karena pak Hadi sedang bekerja, di rumah hanya ada istri beliau dan anak Lusi yang bahkan belum bisa ke mana-mana. Masih kecil dan belum bisa jalan. Paling sehari-hari digendong atau diletakkan di kasur, kalau capek ditaruh di ayunan dari jarik, bila sang ibu sedang bekerja. Ini karena Bu Hadi tak mungkin mengendong Tirta 24 jam, belia juga sudah tak muda lagi. Pasti punya keluhan kesehatan, seperti asam urat atau encok.
Beda dengan Lusi. Meskipun kecil dan kerempeng, wanita satu anak tersebut cukup tangguh dan kuat.
Kini Lusi sedang berdiri di depan pintu rumah pak Hadi. Pintunya dikunci, mungkin Bu Hadi sedang di dapur, sampai diketuk beberapa kali tak ada sahutan.
"Buk ... Ibuk?" panggil Lusi.
Di sebelahnya, Virgo sedang duduk di kursi berbahan rotan sintetis, capek berdiri. Lelaki itu pun memilih duduk sambil menunggu yang punya rumah membuka pintu.
"Di rumah ada orang tidak?" tanya Virgo yang malas menunggu.
"Ada, mungkin ibu sedang di belakang. Sebentar, saya lihat pintu samping dulu," Lusi pamit.
Ternyata benar, Bu Hadi sedang memasak untuk makan siang nanti. Karena untuk sarapan sudah habis lauknya, itu karena lauk sisa semalam.
"Loh? Kok sudah pulang? Kamu sakit?"
Layaknya seorang ibu, beliau memang perhatian pada Lusi.
"Nggak, Bu. Lusi memang pulang cepet karena ada urusan. Di depan ada Pak Virgo, Lusi buka pintunya dulu."
Lusi bergegas ke depan lewat pintu samping tadi, melewati kamar pak Hadi serta kamarnya, barulah sampai rumah tamu dan membuka pintu untuk Virgo.
"Silahkan masuk," Lusi masih memperlakukan Virgo dengan sopan, walau tadi mereka sempat bersitegang. Lusi masih sadar, kalau Virgo adalah atasannya.
"Mana anak itu?" Virgo melihat ke belakang Lusi. Seperti mencari sosok anak yang katanya anaknya tersebut. Belum ada getar-getar rasa ataupun naluri sebagai ayah, mungkin karena masih kaget dan bingung juga. Tiba-tiba statusnya sudah jadi seorang ayah.
Dari belakang yang muncul malah Bu Hadi, beliau membawa nampan berisi dua gelas teh hangat. Tidak punya es di rumah, alhasil Virgo dibuatkan teh hangat.
"Silahkan diminum, maaf ... Hanya seadanya," kata Bu Hadi.
Virgo cuma mengangguk sekenanya saja. Kelihatan angkuh dan sombongnya.
"Lusi, aku ingin melihat anak itu!" ucap Virgo kemudian.
Lusi menatap Bu Hadi yang masih berdiri membawa nampan yang sudah kosong.
"Oh ... Mau lihat Tirta? Ada, tidur di kamar." Bu Hadi langsung menatap Lusi.
"Antkan saja ke kamar, Lus," tambah Bu Hadi.
Lusi memandang Virgo, kemudian beralih ke Bu Hadi. Beliau mengangguk, membuat Lusi beranjak dari tempat duduknya.
"Mari!" ucap Lusi jalan duluan.
Virgo ikut berjalan di belakang Lusi, dilihatnya kamar Lusi yang kecil, sempit, pengap, tanpa AC. Kurang pencahayaan, udara juga tak sehat, tempat tinggal yang buruk. Virgo terlalu sibuk mengamati kondisi kamar yang bahkan cat kamarnya ada yang mengelupas. Dia memang perfeksionis, dan pemandangan di kamar itu, cukup menganggu.
"Bawa dia keluar, aku tak tahan di dalam sini!" seru Virgo dengan gayanya yang angkuh. Lelaki itu kemudian ke ruang tamu kembali, mengipas wajahnya dengan kertas undangan yang tergelatak di atas meja.
"Dia masih tidur," kata Lusi sambil menggendong anaknya.
Tirta lelap sekali, bahkan saat udara terasa gerah pun, dia masih tidur dengan nyenyak. Apalagi kalau sudah digendong ibunya, pasti betah berlama-lama tidur dalam gendongan.
"Tapi dia tidak mirip denganku," gumam Virgo saat melirik anak yang digendong Lusi.
"Karena laki-laki, saya dengar anak laki-laki akan banyak mirip ibunya."
"Selimut apa yang kau pakaian padanya, bukankah aku sudah memberikan uang?" tanya Virgo. Dia sibuk mencari celah untuk memarahi Lusi. Tipe-tipe pria NPD, merasa sempurna, yang lain selalu salah.
Lusi dimarahi, tapi tetap diam saja.
"Jangan seperti orang miskin! Bukankah sudah aku berikan uang sebelumnya? Apa tidak cukup untuk membeli sesuatu yang layak?"
Lusi mendongak, kok rasanya kesal sekali pada pria tersebut.
"Ambil saja kalau begitu ... berikan dia pakaian yang layak, tempat tinggal yang bagus, jangan biarkan dia hidup miskin seperti saya!" gumam Lusi sambil menatap mata pria itu lekat-lekat. Mungkin kesal, sejak hasil tes DNA keluar, Virgo malah menyakiti mental Lusi dengan kata-kata yang tidak enak didengar.
"Isshh!" Virgo mendesis kesal. Ia juga membuang muka.
Suasana hening sesaat.
"Kau mau dia hidup layak bukan? Sekarang, tinggalkan rumah ini. Kamu dan anak ini ... Ikut denganku!"
Lusi tahu kalau pak Virgo sudah punya istri, dia pun menolak. Dia cuma ingin Tirta dapat hidup layak bersama ayah biologisnya, tidak lebih.
"Bagiamana dengan istri Bapak?"
"Itu urusanku! Urusanmu hanya denganku!"
Bu Hadi menguping, dia gelisah mendengarkan keduanya. Sampai akhirnya, beliau menelpon sang suami.
Lusi juga belum mau diajak Virgo pergi, karena belum ijin pak Hadi. Bagaimanapun juga, keluarga itu yang sudah berjasa menolong Lusi.
Satu jam Virgo menunggu, akhirnya pak Hadi datang. Turun dari motor, beliau langsung masuk ke dalam.
Sekarang, semuanya duduk satu meja. Pak Hadi beserta istri, Lusi dan Virgo, Tirta sudah di taruh ayunan, karena mereka berempat sedang membahas hal penting.
"Saya mau membawa Lusi beserta anaknya," kata Virgo.
Pak Hadi menatap Lusi, kemudian memandang istinya yang kelihatan berat hati. Sudah terlanjur sayang pada Tirta.
"Baiknya Lusi saja, kalau dia mau ... itu keputusan dia sepenuhnya."
Pak Hadi malah membela Virgo, padahal sang istri kelihatan berat melepaskan Lusi dan anaknya. Mungkin karena pak Hadi merasa hidup Lusi dah anaknya akan terjamin setelah ikut dengan laki-laki tersebut.
"Lusi akan mau, jika kalian tak keberatan," kata Virgo.
"Tapi ... Maaf sebelumnya. Hubungan kalian ini sebenarnya apa? Kalau boleh Bapak tahu," tanya Pak Hadi untuk memastikan.
Virgo seketika tak bisa menjawab.
"Kalau hanya dibawa begitu saja, jangan ... Meskipun bukan anak kandung saya, kami sudah menganggap Lusi anak sendiri."
Virgo mulai memikirkan ucapan pria tua di depannya itu.
"Kami tidak punya hubungan khusus."
"Loh? Kalau begitu jangan bawa mereka!" sela pak Hadi.
Virgo mendesis dalam hati, karena merasa dipersulit.
"Tapi saya ayah anak ini," kata Virgo dengan tegas.
"Tapi kalian tidak punya hubungan, kasian Lusi ... Apa kata orang tentangnya nanti?" Pak Hadi sebenarnya memacari kejelasan untuk Lusi. Agar kedepannya Lusi tak dirugikan. Melahirkan sendiri, terlantar di terminal, rasanya itu sudah berat. Kasian kalau dibawa tanpa status. Nanti ditelantarkan lagi. Bagaimana nasib anaknya juga? Pak Hadi sampai berpikir jauh seperti itu.
"Jadi mau Bapak apa?" tantang Virgo.
"Jelaskan dulu hubungan kalian."
Virgo menatap Lusi, pria itu kemudian berbisik pada Lusi. Seketika Lusi menjauhkan wajahnya. Kaget dengan bisikan Virgo.
"Tapi, Pak ..." ucap Lusi.
"Aku tidak suka dipersulit. Katakan ya, semuanya akan segera diatur."
Lusi melihat ke belakang, ke ayunan Tirta. Melihat itu, seperti tersugesti dengan bisikan Virgo, sampai akhirnya kepalanya mengangguk pelan.
....
Malam harinya, masih di kediaman pak Hadi. Ada Roy yang ikut hadir dan duduk di ruang tamu tersebut, dua orang lainnya, laki-laki memakai penutup kepala warna putih. Sebuah pernikahan siri telah digelar di kediaman pak Hadi secara tertutup dan bersambung.
terimakasih juga kak sept 😇