Ketika Regita pindah ke rumah baru, ia tak pernah menyangka akan tertarik pada Aksa, kakak tirinya yang penuh pesona dan memikat dalam caranya sendiri. Namun, Aksa tak hanya sekadar sosok pelindung—dia punya niat tersembunyi yang membuat Regita bertanya-tanya. Di tengah permainan rasa dan batas yang kian kabur, hadir Kevien, teman sekelas yang lembut dan perhatian, menawarkan pelarian dari gejolak hatinya.
Dengan godaan yang tak bisa dihindari dan perasaan yang tak terduga, Regita terjebak dalam pilihan sulit. Ikuti kisah penuh ketegangan ini—saat batas-batas dilewati dan hati dipertaruhkan, mana yang akan ia pilih?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kikan Selviani Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
MASA LALU AKSA
Di ranjang empuknya, Regita berbaring sambil memandang langit-langit kamar, mencoba memejamkan mata, tapi yang ada, pikirannya justru semakin melayang. Wajah Aksa yang hanya berjarak beberapa senti darinya tadi terus terbayang, begitu jelas seolah masih berada di depan matanya. Matanya, senyumnya, dan cara bicaranya yang lembut namun penuh arti, semua terulang seperti film yang terus diputar.
Regita berusaha memutar tubuhnya ke sisi lain, berharap bayangan itu hilang. Tapi semakin ia berusaha menghindar, semakin jelas peristiwa sore tadi muncul di kepalanya. Ia juga tak bisa melupakan ketika melihat Aksa di sekolah tadi, mengenakan kaus yang menampilkan perut berototnya dengan begitu sempurna. Ia tak pernah menyadari bahwa ia begitu tertarik pada detail-detail seperti itu, tapi kali ini—perasaannya tak bisa diabaikan.
"Aduh, kenapa gue malah mikirin kayak gini sih," gumamnya, merasa kepalanya pusing dengan pikirannya sendiri. Ia berusaha menepis godaan untuk membayangkan lebih jauh, namun dorongan itu justru semakin kuat. Ada rasa penasaran yang begitu besar, dorongan yang begitu kuat, dan—ia sadar, perasaan yang semakin dalam.
Regita menarik selimut hingga menutupi wajahnya, berusaha menyembunyikan perasaan aneh yang terus menghantui. "Gimana bisa gue jadi begini? Apa benar gue... gue tertarik sama dia?" bisiknya lirih, suaranya tenggelam dalam malam yang sepi.
Jantungnya terus berdetak cepat, tubuhnya terasa hangat. Ia hanya bisa menghela napas panjang, menatap gelapnya kamar, berharap perasaan ini bisa reda. Regita memandang langit-langit kamar sambil menghela napas, merasa bimbang dengan apa yang ia rasakan.
“Dia memang tampan…,” gumamnya pelan. “Tapi masa gue suka sama kakak tiri gue sendiri?”
Ia mencoba meyakinkan dirinya bahwa ini hanya perasaan sesaat, tapi bayangan Aksa tak kunjung hilang. Tatapan hangat dan senyuman pria itu terus menghantuinya, membuat hatinya berdebar tak karuan.
"Harusnya gue bantuin Amelia, bukan malah begini…” katanya, frustasi. Meski ia mencoba menyangkal, jauh di dalam hatinya, Regita tahu perasaan itu nyata dan semakin sulit diabaikan.
Merasa pikirannya tak kunjung tenang, Regita akhirnya bangun dari ranjang. Ia merasa mungkin segelas air bisa membantu menenangkan hatinya yang berdebar. Dengan langkah pelan, ia turun menuju dapur, berharap bisa mengalihkan pikirannya dari bayangan Aksa.
Namun, begitu tiba di ruang tengah, ia justru tersentak. Di sana, di depan kulkas, berdiri Aksa yang ternyata baru saja mengambil air. Tubuhnya tanpa atasan, memamerkan perut berotot yang membuat Regita refleks memalingkan wajah, namun tak bisa sepenuhnya menghindari pandangan ke arahnya.
Aksa menoleh dan tersenyum tipis ketika melihat Regita. “Belum tidur?” tanyanya dengan suara rendah, terdengar sedikit serak di tengah malam yang sunyi.
Regita berusaha terlihat tenang, meski jelas-jelas gugup. “Iya… susah tidur aja,” jawabnya pelan sambil menatap ke lantai, menghindari kontak mata. Tapi matanya, entah kenapa, sesekali tetap melirik ke arah Aksa.
Aksa tertawa kecil, suara tawanya terdengar begitu dekat. "Aku juga, makanya turun sebentar buat minum." Ia mengangkat gelasnya sambil tersenyum, lalu menawarinya. "Mau air juga? Biar aku ambilin."
Regita mengangguk kikuk, berusaha meredakan debaran di dadanya. Aksa membuka kulkas lagi, mengisi gelas untuk Regita dan menyerahkannya padanya, jari-jarinya sempat bersentuhan dengannya. Regita bisa merasakan suhu tubuhnya naik seketika, jantungnya berdebar semakin keras.
Aksa menatapnya sejenak, memperhatikan wajah Regita yang tampak tegang. "Kamu kayaknya nggak enak badan, atau… ada yang lagi dipikirin, Git?" tanyanya lembut, suaranya penuh perhatian.
Regita terdiam, berusaha menyembunyikan wajah yang mulai memerah. "Enggak… cuma nggak bisa tidur aja,” jawabnya singkat, sambil meneguk air di gelasnya untuk menyembunyikan kegugupannya.
Aksa tersenyum tipis dan mendekat sedikit, membuat jarak mereka semakin sempit. "Kalau ada yang dipikirkan, nggak ada salahnya cerita. Kadang lebih lega kalau dibagi, kan?"
Regita hanya bisa menatapnya dengan bingung, tak tahu harus menjawab apa. Kehangatan Aksa dan perhatian yang ia tunjukkan membuatnya sulit berpikir jernih. "Aku... aku beneran cuma nggak bisa tidur aja, Kak," ucapnya dengan suara pelan.
Aksa menatapnya dalam-dalam, seolah mencari jawaban yang lebih dari sekadar kata-kata. Setelah beberapa saat yang terasa begitu lama, ia menghela napas dan berkata, "Kalau begitu, semoga bisa tidur lebih nyenyak, ya."
Regita mengangguk pelan, lalu menunduk, merasa wajahnya semakin panas. Tanpa banyak kata, ia akhirnya berbalik menuju kamarnya. Namun, sebelum benar-benar pergi, ia mendengar Aksa berkata dengan suara lembut, "Selamat malam, Git."
"Selamat malam, Kak," balasnya, meski dalam hati, ia tahu perasaan itu takkan hilang begitu saja.
•••
Setelah menutup pintu kamar, Aksa berjalan ke jendela dan memandang keluar, pikiran dan perasaannya campur aduk. Malam ini adalah langkah kecil menuju rencana besar yang sudah lama ia susun. Di wajahnya muncul senyum sinis, mengingat bagaimana Regita tadi begitu gugup hanya karena kehadirannya. Setiap kali melihat gadis itu salah tingkah di depannya, ia merasa satu langkah lebih dekat untuk membalas sakit hatinya—rasa sakit yang diwariskan oleh ibunya sendiri.
Aksa terdiam sejenak, pikirannya melayang ke masa lalu, ke ingatan yang menyakitkan tentang ibu yang seharusnya melindungi dan merawatnya. Namun, wanita itu memilih untuk pergi, meninggalkannya dengan ayahnya demi mengejar pria lain, ayah Regita. Cinta buta ibunya pada pria itu mengalahkan kasih sayangnya pada Aksa, dan sejak saat itu, hidupnya berubah. Ia tumbuh besar dengan kebencian, menyaksikan ibunya lebih memilih orang lain daripada dirinya sendiri.
Sebelum ibunya membawa Regita ke rumah mereka, Aksa sudah lebih dulu mencari tahu tentang Regita.
"Menyakitkan, bukan, Git? Kamu nggak tahu apa-apa soal ini," gumamnya pelan. Baginya, Regita adalah perpanjangan dari masa lalunya—anak dari pria yang menghancurkan keluarganya. Ayah Regita tak hanya merebut cinta ibunya, tapi juga mengorbankan masa kecil Aksa.
Aksa menghela napas panjang, mengenang tahun-tahun ketika ia hidup dalam bayang-bayang penelantaran ibunya. Ia melihat sendiri bagaimana ibunya mengabaikannya, memberikan seluruh perhatiannya pada pria yang hanya peduli pada dirinya sendiri. Aksa dibesarkan tanpa kasih sayang yang seharusnya ia dapatkan, dan kini, ia bertekad membalaskan semuanya. Tidak ada yang tahu, tidak ada yang mengerti perasaannya selama ini, kecuali dirinya sendiri.
Ia tersenyum tipis, lalu duduk di tepi ranjang sambil mengusap wajahnya. "Regita, kamu nggak tahu apa-apa tentang apa yang ayah kamu lakukan pada hidupku. Tapi kamu akan merasakan sedikit dari apa yang aku rasakan," bisiknya dengan suara rendah.
Aksa menatap langit-langit kamar, membayangkan langkah-langkah ke depan. Ia sudah mulai mendekati Regita, membuatnya percaya, membuatnya tergantung. Gadis itu pasti akan semakin terikat padanya, tanpa tahu niat asli di balik semua perhatian dan senyuman yang ia tunjukkan. Ia tidak peduli pada rasa bersalah atau perasaan lain yang mungkin timbul. Yang ada hanyalah keinginan untuk membuat Regita merasakan sakit, pengkhianatan, dan kekecewaan yang mendalam—persis seperti yang ia alami bertahun-tahun lamanya.
Malam itu, Aksa tidur dengan perasaan puas, seolah-olah bayangan masa lalu yang menghantuinya semakin memudar. Meski demikian, ia tahu bahwa luka yang sebenarnya belum terobati. Baru setelah Regita merasakan seluruh penderitaan yang ia rencanakan, Aksa akan merasa benar-benar terbebas dari masa lalu yang selama ini membelenggunya.