Aku tidak tahu bahwa cinta adalah sebuah kepalsuan semata. Kupikir kebebasan adalah kesenangan yang abadi. Faktanya, aku justru terjebak di sebuah lobang gelap gulita tanpa arah yang disebut cinta.
Aku gadis belia yang berusia 17 tahun dan harus menikah dengan orang dewasa berusia 23 tahun beralasan cinta. Cita-cita itu kukubur dalam-dalam hanya demi sebuah kehidupan fiksi yang kuimpikan namun tidak pernah terwujud.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ela W., isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bagian 11
Aku masih tertegun menghadap jendela. Dari dalam kamar terlihat beberapa orang lewat di depan rumah mewah yang kutinggali. Di sebuah perumahan elit kami berdiam dengan damai sebelum kebodohanku memporak porandakan ketenangan ini. Seperti mimpi, tidak menunggu lama, akulah si pemeran utama yang datang sebagai penghancur sebuah ketenangan.
Cklekk
Suara pintu dibuka membuatku menoleh refleks.
"Bu," sapaku pelan.
"De, kamu kenapa?" tanya ibu.
"Hemh, Bu. Maafin aku, seandainya waktu itu aku gak egois."
"Sudah lah nak. Kamu memang masih terlalu kecil untuk memahaminya."
"Gimana dengan ayah?"
"Hari ini, kabar kurang baik sedang menimpa ayah."
"Lagi?" aku mengernyitkan dahi. Ibu mengangguk lemas.
"Sekarang data penting ayah hilang begitu saja. Entah ada yang membobol atau ada penghianat di kantor. Masih teka-teki."
"Sudah cek cctv?"
"Bersih, De. Tidak ada yang mencurigakan. Tapi bukankan mereka ahli dalam pembobolan dan editing. Mungkin tidak kalau fungsi cctv mereka bajak juga?'
"Pernah nonton film luar negri. Pembobolan fungsi cctv itu ada, Bu." ibu menarik napas panjang setelah mendengar perkataanku.
"Maaf ya, Bu." tanpa sengaja aku memasang wajah melas. Aku kasihan sekali pada ibu dan ayah. Mereka harus bekerja keras untuk bertahan karena kesalahanku.
Ayah marah besar saat sampai di rumah. Wajahnya memerah, sorot matanya begitu tajam membuatku tidak berani bersuara. Ibu juga memilih diam karena takut salah bicara. Beberapa kali ayah menelpon seseorang untuk menanyakan pencarian atau membuka lowongan kerja bagi orang yang jago di bidang IT untuk menguasai segala bentuk internet termasuk pembobolan data pribadi. Ayah tidak tenang, sesekali memukul meja hingga berbunyi.
"Gubrakk".
Malam ini aku benar-benar hampir tidak bisa memejamkan mata. Aku merasa tidak nyaman dengan situasi saat ini, benarkah semua bisa membaik, apakah aku bisa ikut andil dalam menjalankan misi agar kantor ayah tidak lagi diteror habis-habisan. Mungkinkah aku harus mendatangi Trio dan meminta agar ia bicara pada keluarganya untuk berhenti mengusik kehidupanku. Ia mungkin bisa dirayu dan diajak bekerja sama, aku percaya di sisi hatinya masih ada kebaikan dan rasa iba. Meski kemungkinannya sangat kecil, aku harus tetap mencoba.
Esok harinya aku berangkat sekolah, kali ini aku memohon pada pak Syarif untuk mengantar ke tahanan di mana Trio dikurung. Meski awalnya pak Syarif tidak setuju karena takut disalahkan ibu atau ayah. Namun aku berjanji untuk tidak membocorkan kejadian hari ini. Aku berkata urusanku sekarang sangat penting, aku harus bicara dengan Trio. Hanya itu, satu-satunya cara yang bisa kulakukan untuk sedikit membantu.
"De, kamu di sini?" Trio kaget saat menemuiku di ruang tunggu bagi pembesuk tanpa sepengetahuan keluarga yang lain.
"Kak, kamu baik?" tanyaku basa-basi.
"Ya, seperti yang kamu lihat. Ada apa?"
"Kak, pihak keluargamu sudah meneror ayah. Kemarin m-banking ayah diretas dan sebagian uang dicuri, hari ini data pribadi kantor ayah juga dibobol. Telpon tersembunyi sering menghubungi ayah untuk ancaman berikutnya." aku langsung membicarakan inti, aku tidak suka basa-basi lagi. Aku mungkin tidak punya banyak waktu untuk berbincang dengan Trio, itu sebabnya aku tidak menggunakan intro dalam pembicaraan.
"Dari mana kamu tau kalau itu pihak keluargaku?"
"Pernah ada telepon mengaku keluargamu, katanya ayah harus membayar apa yang sudah dilakukan pada keluarganya, keluarga Trio mereka bilang."
"Mungkin kah?" .
"Kak, bisakah kamu membantuku. Tolonglah, ini bukan hanya soal keluargaku, tapi semua karyawan yang menggantungkan hidupnya ke perusahaan ayah. Itu bukan hanya perusahaan ayah, tapi mereka tim."
"Aku mengerti. Nanti kalau om-ku ke sini. Aku akan minta agar dia menghentikan semuanya."
"Jika tidak mau?"
"Aku tidak bisa membantu banyak, De. Maaf."
"Hemh," semangatku langsung menciut, harapannya sangat kecil untuk meminta bantuan Trio. Akhirnya aku keluar dari hunian Trio dengan sedikit kecewa. Biar begitu, di setiap perjalanan menuju sekolah, doa yang kupanjat idak putus, mungkin ada sedikit keajaiban yang membuat Trio memiliki kekuatan dalam permintaannya terhadap anggota keluarga yang berbuat zalim pada kami.
Di sekolah, semangatku sangat tipis. Aku melamun, seperti kehilangan cara dan mulai putus asa. Aku tidak bisa melakukan apa pun lagi kecuali berharap pada kuasa Tuhan, mungkin memang hanya ayah yang harus berjuang, karena aku hanyalah bocah kecil yang menambah beban keluarga, aku lebih baik diam dari pada harus memperkeruh suasana. Aku takut nanti justru membuat semua keadaan semakin runyam. Aku tidak boleh gegabah.
Waktu istirahat kuhabiskan waktu untuk duduk sendirian di kantin, memesan seporsi siomay dua telur dan sisanya dipenuhi kol, biasanya melihat makanan kesukaan, aku sangat antusias, tapi kali ini berbeda, nafsu makankku terganggu, aku takut ayah tidak berhasil mencari orang untuk membantu mengembalikan uang dan asetnya, aku khawatir jatuh miskin, aku tidak mau hidup seperti saat di rumah Trio, bagaimana jika aku hidup sengsara nantinya. Mana mungkin aku bisa menjalani kehidupan yang tidak pernah kujalani sebelumnya. Tidak terasa, air mataku jatuh, bukan hanya itu, rasanya aku ingin teriak karena sudah tidak kuat dengan drama yang menimpa. Benar kata ayah, keluarga siapan itu sangat menjijikkan.
"Hei," Lia tiba-tiba datang tanpa diundang, membuyarkan lamunan.
"Hai, Li." aku meraih siomay yang mulai dingin, kedatangannya menyadarkan bahwa aku belum menyentuh satu telur pun untuk mengisi perut, tadi pagi saat sarapan aku hanya mengambil satu.lembar roti tawar tanpa selai dan juga buah alpukat yang disiapkan ibu.
"Aku perhatiin kamu dari tadi ngelamun, ada apa?" Lia menyodorkan jus alpukat yang sengaja dibeli untukku.
"Sepertinya lagi tidak enak badan." sahutku berbohong. Belum saatnya aku cerita.
"I know, makan siomaynya dan minum jus ini, untuk menambah kekuatan dan menutrisi tubuhmu agar tidak lemas. kasian aku liatnya dari tadi." Aku menarik napas panjang, menggaruk kepala yang tidak gatal, lantas meraih satu buah telur yang kupotong dua lalu dilahap dan dikunyah halus di dalam mulut, tersendat karena memang aku sedang tidak enak pikiran, Beruntung jus alpukat sudah tersedia sehingga aku langsung menyeruput dari sedotan. Lia melihat gelagatku yang terlihat panik dan tidak tenang. Aku hanya tersenyum membalas keraguan Lia padaku yang berkata baik-baik saja. Lia semakin cermat menatap membaca masalah yang kualami namun sayang, ia bukanlah peramal yang dengan mudah bisa menembus isi pikiranku dan mengetahui semua hal yang menjadi persoalanku sekarang.
"Kenapa sih?" timpalku tidak nyaman, Lia terlalu berlebihan memperhatikan. Dia tertawa renyah melihat aku salah y ngalah oleh matanya yang tajam memperhatikan tingkahku.
"Biasa aja," katanya di sela tawa.
"Kamu tuh, yang gak biasa."