Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Jatuh sakit
Sementara itu, di rumah Nisa, suasana menjadi tegang. Nisa terbaring lemah di tempat tidurnya, wajahnya pucat dan matanya kosong. Sudah beberapa hari dia jatuh sakit, dan kondisinya semakin memburuk. Pikirannya terus-menerus terfokus pada Tama, cinta yang tak kunjung mendapat balasan. Kesedihan yang begitu mendalam membuat Nisa kehilangan selera makan, dan kini kesehatannya mulai terancam.
Kedua orang tuanya, yang melihat keadaan Nisa semakin memburuk, mulai panik. Mereka mencoba berbagai cara untuk membujuknya makan, tapi Nisa menolak.
"Nisa, kamu harus makan, Nak. Kamu akan semakin sakit kalau begini," kata ibunya dengan suara penuh kekhawatiran.
Namun, Nisa hanya menggeleng lemah, air mata mengalir di pipinya. "Aku tidak mau, Bu. Aku sudah tidak punya alasan untuk bertahan …," gumamnya, suaranya nyaris tak terdengar.
Ayahnya yang selama ini tegar, kini hanya bisa duduk di sudut ruangan, merasa tak berdaya melihat putrinya menderita. Mereka tahu Nisa mencintai Tama, tapi tidak tahu bagaimana mengatasi kesedihan yang begitu besar ini. Ketakutan akan kesehatan Nisa semakin menghantui mereka, namun tak ada yang tahu cara membuat Nisa kembali kuat.
Melihat kondisi Nisa yang semakin memburuk, ibunya tak bisa lagi menahan rasa putus asanya. Dengan suara bergetar, dia berkata kepada suaminya. "Kita tidak bisa biarkan Nisa terus seperti ini. Kamu harus melakukan sesuatu. Tolong, temui Arman dan minta dia berbicara dengan Tama. Hanya Tama yang mungkin bisa menyelamatkan Nisa sekarang."
Ayah Nisa, yang sudah terlihat sangat cemas, awalnya ragu. Namun, setelah melihat penderitaan putrinya, dia akhirnya mengangguk. "Baik, aku akan mencoba bicara dengan Arman. Semoga dia mau membantu," jawabnya dengan berat hati.
***
Arman baru saja menutup teleponnya ketika Rini, yang memperhatikan suaminya dari tadi, mendekat dan bertanya dengan nada khawatir. "Apa yang terjadi, Mas? Siapa yang baru saja menelepon?"
Arman menghela napas panjang, wajahnya terlihat tegang. "Itu ayahnya Nisa," jawabnya pelan. "Nisa jatuh sakit ... karena Tama."
Rini terdiam sejenak, menyadari keseriusan situasinya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Mas?"
Arman menunduk, rasa bersalah mulai merayap di hatinya. "Aku yang salah ... Aku pernah memberi harapan kepada Nisa dan keluarganya, tanpa memastikan apakah Tama benar-benar punya perasaan yang sama. Aku terlalu memaksakan kehendak. Sekarang Nisa yang harus menanggung akibatnya."
Rini meletakkan tangannya di lengan Arman, mencoba menenangkannya. "Mas, kita tidak tahu ini akan terjadi. Kamu hanya ingin yang terbaik untuk Tama."
"Tapi aku tidak berpikir sampai sejauh ini," kata Arman dengan suara rendah. "Sekarang, Nisa menolak makan dan kesehatannya memburuk. Aku yang menempatkan dia dalam situasi ini. Rahmat meminta aku bicara dengan Tama."
Rini terdiam sejenak, lalu berkata dengan lembut, "Mas, mungkin sekarang saatnya kita benar-benar mendengarkan apa yang Tama inginkan. Kita tidak bisa terus memaksakan pilihan kita. Biarkan Tama yang membuat keputusannya sendiri."
Sore itu, Arman dan Rini memutuskan untuk menemui putra sulung mereka. Mereka menuju apartemen Tama dengan perasaan campur aduk, berharap bisa membicarakan masalah Nisa dan mencari jalan keluar. Namun, saat mereka tiba dan mengetuk pintu, sesuatu yang tak terduga terjadi, Freya yang membuka pintu.
Arman dan Rini saling bertatapan, jelas terkejut. Mereka tidak menyangka akan bertemu Freya di apartemen Tama. Rini mencoba menjaga wajahnya tetap tenang, sementara Arman menahan ekspresi kekecewaan yang mulai terlihat di wajahnya.
Freya, yang juga terkejut melihat Arman dan Rini di depannya, mencoba tersenyum meskipun tahu betapa tegang situasi ini. "Pak, Bu ...," sapanya pelan, tidak tahu harus mengatakan apa.
Rini memaksakan senyumnya, tetapi Arman hanya menatap Freya dengan dingin. "Freya ... Apa kamu tinggal di sini dengan Tama?" tanyanya dengan nada rendah, namun penuh makna.
Freya menggeleng cepat. "Tidak, Pak. Saya hanya berkunjung. Tama akan pulang sebentar lagi," jawabnya dengan nada sopan, meskipun ia bisa merasakan ketegangan yang menggantung di udara.
Rini berusaha mencairkan suasana dengan lembut. "Kami datang untuk bicara dengan Tama, ada hal penting yang harus dibicarakan. Boleh kami masuk?"
Freya mengangguk dengan cepat. "Tentu saja, silakan masuk."
Tak lama setelah Freya mempersilakan Arman dan Rini masuk, pintu apartemen kembali terbuka, dan Tama masuk dengan ekspresi terkejut. Dia tidak menyangka akan menemukan kedua orang tuanya di sana, duduk di ruang tamunya. Wajahnya sedikit tegang, tapi dia mencoba menjaga ketenangannya.
"Tama," sapa Rini lembut, mencoba tersenyum meski suasana terasa berat.
"Tumben Ayah dan Ibu datang ke sini," jawab Tama pelan, jelas merasa ada sesuatu yang serius terjadi.
Freya, yang merasa suasana semakin tegang, memutuskan untuk segera permisi. "Tama, mungkin aku sebaiknya pulang dulu. Aku rasa kalian perlu bicara ..."
Namun, sebelum Freya bisa beranjak, Tama dengan cepat menahannya. "Freya, tunggu. Kamu tidak perlu pergi," kata Tama tegas, sambil menatapnya penuh keyakinan. "Duduklah di sini. Ini juga ada hubungannya denganmu."
Freya menatap Tama, bingung sekaligus ragu, tapi akhirnya menurut. Dia duduk kembali di samping Tama, sementara Arman dan Rini saling bertatapan. Keputusan Tama untuk melibatkan Freya dalam percakapan ini jelas menunjukkan seberapa penting Freya baginya, sesuatu yang membuat Arman semakin tidak nyaman.
Arman menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya berbicara. "Tama, ada hal penting yang harus kita bicarakan tentang Nisa. Dia jatuh sakit ... karena kamu," ujarnya dengan nada yang penuh tekanan.
Tama tampak terpukul mendengar kabar itu, dan Freya, yang mendengar nama Nisa, menatap Tama dengan cemas. Pertemuan yang dimulai dengan ketegangan kini berubah menjadi pembicaraan serius yang bisa mengubah banyak hal.
"Sakit? Apa maksud Ayah?" tanya Tama, berusaha tetap tenang meskipun ia tahu ini berkaitan dengan hubungannya dengan Nisa.
Arman menatap putranya dengan tajam. "Nisa menolak makan dan jatuh sakit karena memikirkanmu, Tama. Dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa kamu lebih memilih Freya." Arman berhenti sejenak, lalu melanjutkan, "Orang tuanya memohon agar kamu berbicara dengannya, mungkin itu bisa membantu memulihkan kondisinya."
Freya, yang duduk di samping Tama, merasa hatinya diremas. Rasa bersalah mulai menyelimuti dirinya. Dia tidak pernah berniat menyakiti siapa pun, apalagi Nisa, yang kini terpuruk karena perasaannya pada Tama. Freya menunduk, merasa berat untuk menatap Arman dan Rini.
"Ini salahku ...," pikir Freya dalam hati. "Kalau saja aku tidak ada dalam hidup Tama, mungkin Nisa tidak akan menderita seperti ini."
Tama menggenggam tangan Freya, seolah memberi isyarat bahwa dia tahu apa yang Freya rasakan. Dia menatap ayah dan ibunya dengan tegas, meskipun di dalam dirinya perasaan bersalah juga mulai muncul. "Aku tidak ingin Nisa menderita ... tapi Ayah harus mengerti, perasaanku sudah jelas. Aku mencintai Freya," kata Tama dengan suara rendah namun tegas.
Rini, yang sejak tadi diam, akhirnya angkat bicara. "Tama, kami hanya ingin yang terbaik untukmu. Tapi mungkin berbicara dengan Nisa bisa memberikan penjelasan yang dia butuhkan, agar dia bisa melanjutkan hidupnya."
To be continued.