Apa pun itu, perihal patah hati selalu menjadi bagian kehidupan yang paling rumit untuk diselesaikan.
Tentang kehilangan yang sulit menemukan pengganti, tentang perasaan yang masih tertinggal pada tubuh seseorang yang sudah lama beranjak, tentang berusaha mengumpulkan rasa percaya yang sudah hancur berkeping-keping, tentang bertahan dari rindu-rindu yang menyerang setiap malam, serta tentang berjuang menemukan keikhlasan yang paling dalam.
Kamu akan tetap kebasahan bila kamu tak menghindar dari derasnya hujan dan mencari tempat berteduh. Kamu akan tetap kedinginan bila kamu tak berpindah dari bawah langit malam dan menghangatkan diri di dekat perapian. Demikian pun luka, kamu akan tetap merasa kesakitan bila kamu tak pernah meneteskan obat dan membalutnya perlahan.
Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu penawar, tapi raciklah penawarmu sendiri, Jangan menunggu orang lain datang membawakanmu kebahagiaan, tapi jemputlah kebahagiaanmu sendiri.
Kamu tak boleh terpuruk selamanya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hawa zaza, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 9
Malam merangkak sunyi, suara hembusan angin yang tertiup lirih menambah suasana terasa sepi. Sudah pukul satu dini hari, tapi mata Laras masih belum juga mampu terpejam. Pikirannya melayang, hatinya kian sesak. Bahkan air mata tak berhenti berjatuhan. Tak ada yang tau bagaimana seorang Laras menjalani waktunya, perempuan manis dan nampak selalu ceria itu terlalu pintar menyembunyikan dukanya. Laras hanya diam diam menumpahkan rasanya dalam kesunyian dan keheningan di dalam kamarnya saja. Baginya, tak perlu mengumbar duka jika hanya akan menambah luka. Karena tak setiap orang akan mampu memahami kondisi dan masalahnya. Yang ada, justru gunjingan dan penilaian yang jauh dari kata benar.
Suara detak jam dinding begitu nyaring terdengar di telinga Laras. Namun telinganya samar samar menangkap suara benda jatuh dan menggelinding di atas rumahnya. Seperti kerikil yang sengaja di lempar ke atas genteng rumahnya. Laras kembali menajamkan pendengarannya dan tak lama ada suara seperti pasir yang jatuh dari atap tepat di depan kamarnya. Namun faktanya tak ada sebutir pasir yang jatuh di lantainya.
"Sepertinya, wanita itu kembali mengirimnya lagi." Gumam Laras yang memejamkan mata dan menarik nafas dalam-dalam. Laras sudah berdiri di depan pintu kamarnya, jantungnya kembali berdetak cepat, lantunan istighfar terus dia lontarkan. Laras sudah paham dengan apa yang terjadi, karena kejadian itu sudah berulang kali menimpanya. Munaroh, perempuan yang sudah menjadi duri dalam rumah tangganya kembali beraksi dengan dukun nya.
Dengan langkah pasti, Laras menuju kamar mandi untuk berwudhu. Malam ini dia memilih untuk tidak tidur lagi. Setelah selesai berwudhu, Laras mengambil mukenanya, menggelar sajadah dan akan memohon perlindungan pada Tuhannya.
"Aku harus memberitahu bang Robert, karena aku tidak akan mungkin sanggup melawan sendirian. Ilmuku belum seberapa, semoga semua baik baik saja. Aku masih ingin sehat dan hidup untuk mendampingi Luna." Bisik Laras pada dirinya sendiri, sebelum melakukan ibadah malamnya, Laras mengambil ponselnya dan mengirim pesan singkat pada sahabatnya yang seorang kiyai muda di salah satu pesantren di Minang. Meskipun mereka tidak pernah saling bertemu muka, namun hubungan persahabatan antara Laras dan Robert sudah begitu akrab. Bagi Laras, Robert bukan hanya sekedar sahabat, Robert adalah gurunya dalam belajar agama dan ilmu kehidupan. Setelah mengirim pesan, Laras memulai untuk fokus dalam ibadahnya.
Berjam jam, Laras larut dalam doa doanya. Memohon ampun dan meminta perlindungan dari sang pencipta. Hingga suara adzan terdengar nyaring menyambut pagi dalam embun kesejukan.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂
"Bu, nanti Luna pulang jam sepuluh. Kata Bu Dewi ada rapat, jadi pulang pagi." Luna sudah cantik dengan seragam putih merahnya.
"Iya, nanti ibu jemput jam sepuluh. Luna sarapan dulu dan minum susunya, habis itu ibu antar ke sekolah." Sahut Laras lembut, menyembunyikan dukanya dan tetap bersikap tenang dengan senyuman di depan putrinya.
"Luna makan roti saja ya, Bu? Nanti kan pulang pagi, baru Luna makan nasi pas pulang dari sekolah." Sambung Luna dengan penuh harap, Luna memang sulit makan, dan itulah yang membuat Laras kadang pusing dengan kebiasaan sang anak, apalagi Luna sering sakit sakitan.
"Yasudah ibu buatkan rotinya dulu, mau langsung atau di bakar?" Balas Laras yang berusaha tetap bersabar dan memahami keinginan sang anak.
"Langsung saja, selainya yang banyak sama di kasih susu coklat." Sahut Luna semangat dengan senyum merekah.
"Harus di habiskan dan juga susunya. Luna harus nurut biar tetap sehat." Balas Laras yang lagi lagi mengingatkan anak perempuannya itu, Luna nampak mengangguk dan langsung memakan roti yang sudah di buat ibunya.
"Bu, kata pak Adam uang lesnya suruh nitipin ke Bu Nisa." Kembali Luna bersuara dengar mulut masih mengunyah roti tawar yang di kasih selai kacang dan susu coklat cair.
"Iya, biar ibu siapkan uangnya. Nanti langsung Luna kasih ke Bu Nisa ya kalau sampai di sekolah, takutnya uangnya hilang lagi." Balas Laras yang tersenyum dan langsung masuk ke dalam kamarnya mengambil uang sebesar dua ratus dua puluh ribu untuk bayar les. Laras menghirup udara sebanyak mungkin untuk menenangkan pikiran dan hatinya yang sesak.
"Insyaallah, semoga akan ada rejeki setelah ini. Anakku lahir istimewa insyaallah akan Allah beri rejeki yang istimewa juga, bismillah." Gumam Laras yang menyemangati diri sendiri agar hatinya tetap baik baik saja dengan keadaan yang serba kekurangan.
"Sudah habis rotinya?" Laras menatap Luna yang sudah berdiri di depan kamarnya dan mengajak untuk segera berangkat ke sekolah.
"Sudah Bu, susunya juga sudah Luna habisin." Sahut Luna ceria dengan senyum mengembang sempurna.
"Yasudah, ini tasnya. Uangnya sudah ibu taruh di dalam tas ya, ibu masukin amplop. Dan ini sangu buat Luna, gak boleh beli jajan sembarangan." Laras mengulurkan uang pecahan lima ribu pada Luna yang langsung sumringah menerima uang sakunya.
"Siap, Bu. Yuk berangkat." Sambung Luna dengan semangat, dan Laras tersenyum manis melihat keceriaan putrinya, hatinya seolah selalu merasa hangat dan damai kala bisa memenuhi tanggung jawabnya sebagai orang tua yang seharusnya juga di pikul oleh Bimo sebagai suaminya.
🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂🍂
"Badanku rasanya lemes banget dan kepala ku kenapa harus sesakit ini, ya Robby." Racau Laras yang bersandar di sofa dengan memegang kepalanya yang terasa berat dan kayak mau pecah. Pandangannya berkunang-kunang dan dengan dada berdebar dan terasa panas. Kembali Laras merasakan sakit yang luar biasa di dalam tubuhnya dengan tiba-tiba.
Namun, karena sudah sering mengalami hal tersebut, Laras tak begitu khawatir. Keyakinannya pada kekuatan doa dan kebesaran Tuhan semakin kuat. Laras terus beristighfar dan membaca doa doa rukiyah mandiri yang sudah diajarkan oleh Robert dengan khusyuk. Bahkan Laras sudah sangat yakin jika sahabatnya itu juga sudah membantunya dari jauh.
diihh .. khayalan nya terlalu tinggi pake segala ingin ibu nya tinggal disitu .. hadeuuhh .. dasar ga tau malu .. semoga aja Laras bisa melindungi diri nya dan Luna ..