Siapa sangka, cinta yang dulu hangat kini berubah menjadi api dendam yang membara. Delapan tahun lalu, Alya memutuskan Randy, meninggalkan luka mendalam di hati lelaki itu. Sejak saat itu, Randy hidup hanya untuk satu tujuan : membalas sakit hatinya.
Hidup Alya pun tak lagi indah. Nasib membawanya menjadi asisten rumah tangga, hingga takdir kejam mempertemukannya kembali dengan Randy—yang kini telah beristri. Alya bekerja di rumah sang mantan kekasih.
Di balik tembok rumah itu, dendam Randy menemukan panggungnya. Ia menghancurkan harga diri Alya, hingga membuatnya mengandung tanpa tanggung jawab.
“Andai kamu tahu alasanku memutuskanmu dulu,” bisik Alya dengan air mata. “Kamu akan menyesal telah menghinakanku seperti ini.”
Apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu? Mampukah cinta mengalahkan dendam, atau justru rahasia kelam yang akan mengubah segalanya?
Kisah ini tentang luka, cinta, dan penebusan yang mengguncang hati.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Byiaaps, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 15
“Betul, Tuan. Yang pernah saya katakan, salah satu yang meninggal dari 5 nama Antonio itu adalah Antonio Supardja,” ujar Geni ketika Randy kembali mengajaknya diskusi.
Banyak pertanyaan dalam benak Randy, salah satunya adalah alasan Om Tama yang tiba-tiba menceritakan itu semua, padahal ia tak menanyakannya.
“Kenapa juga Bu Yusi pernah mengatakan tentang hak. Hak apa? Apa yang Om Tama katakan itu jujur?” Randy masih tak paham.
Geni juga merasa ada yang janggal saat Pak Wahyu mengatakan para seniornya tampak bungkam akan identitas perusahaan yang lama.
“Tapi, jika melihat dari surat wasiat yang Pak Tama tunjukkan dengan kesesuaian nama Pak Antonio yang disebutkan Bu Yusi, cerita beliau hampir bisa dipastikan kebenarannya,” pikir Geni.
“Datangi rumah mendiang Pak Antonio Subardja dan tanyakan pada keluarganya, apa benar semasa hidupnya, beliau pernah mendapat klien bernama Luki Atmaja. Siapa tahu almarhum masih menyimpan datanya yang bisa diakses oleh pihak keluarga," perintah Randy.
Geni pun sontak berdiri dan bersiap segera melaksanakan perintah tuannya, meski ia tahu pencariannya ini bisa saja tak memberikan jawaban apa pun.
Sementara Randy akan kembali mendatangi Bu Yusi. Ia ingin tahu ada apa sebenarnya. Mengapa semua terkesan seperti teka-teki yang harus ia pecahkan sekarang.
Hingga setibanya ia di rumah ibu angkatnya itu, Randy langsung menanyakan mengapa Bu Yusi baru mengatakannya sekarang, juga meminta penjelasan tentang semua ini.
Tampak seperti seseorang yang sedang terburu-buru dan seolah tak nyaman dengan kehadiran Randy, Bu Yusi tak mempersilakan anak angkatnya itu masuk dan mereka hanya bicara sebentar di depan rumah.
“Nak, Ibu hanya tahu itu. Tanyakan semuanya pada Pak Antonio, dia lebih tahu semuanya. Kamu harus cari dia. Maafkan Ibu baru mengatakannya sekarang, karena Ibu pikir kamu sudah seharusnya tahu semuanya. Satu pesan Ibu, jaga dirimu baik-baik ya, Nak. Bapak dan Ibu sangat menyayangimu,” ujarnya lirih lalu mencium pipi Randy penuh kasih sayang.
Bu Yusi lalu meminta Randy pulang begitu saja.
“Bu, tapi, bu.” Randy mengetuk pintu yang sudah Bu Yusi tutup paksa.
Seketika ia pun dibuat heran dan bingung, karena ibu angkatnya itu tak seperti biasanya.
***
Setelah sempat mendatangi rumah Pak Antonio Subardja, Geni tak mendapatkan sesuatu yang menyenangkan. Istri almarhum mengatakan bahwa dulu suaminya memang banyak menangani persoalan warisan para pengusaha maupun pejabat. Terdengar baik memang, tapi hal itu berarti usaha mereka untuk mendapat keterangan dari Pak Antonio tak bisa dilakukan. Kemungkinan besar memang betul ayah Randy adalah klien Pak Antonio Subardja yang telah meninggal.
“Begitu, Tuan, yang istrinya ceritakan,” ungkap Geni ketika ia menemui Randy untuk melaporkan hasil penyelidikannya.
Tampak terdiam, keduanya pun seakan putus asa untuk memenuhi perintah Bu Yusi. Meskipun, jika tidak berhasil pun juga tak apa-apa. Hanya saja, Randy sudah sangat ingin tahu dengan semua ini yang baru ia rasakan keanehannya.
“Kalau begitu, kita fokus dulu pada Alya dan Gio,” ujar Randy.
Mengangguk, Geni siap menemani tuannya itu untuk kembali bertemu mereka. “Tapi, Tuan, kita harus izin dulu sekalipun kita hanya ingin melihat Gio di sekolahnya.”
Mereka pun bergegas menuju sekolah Gio, dengan membawa beberapa box pizza yang akan mereka bagikan pada Gio dan teman-temannya.
“Ayo, Geni, nanti mereka sudah pulang duluan,” pinta Randy setelah Geni memarkir mobil di sekolah.
Hingga saat mereka berada di depan gerbang sekolah, terlihat Nana sudah ada di sana, seperti sengaja agar kejadian waktu itu tak terulang kembali.
“Mau apa? Mau culik Gio lagi?" Nana seakan bersiap melawan kedua lelaki itu.
Memintanya tenang, Geni meminta izin untuk menjelaskan sedikit tujuan kedatangan mereka.
“Tuan saya hanya ingin menemui Gio sebentar saja, kami janji tidak akan membawa Gio pergi lagi tanpa izin. Sekaligus, dia ingin membagikan pizza ini pada Gio dan teman-temannya,” jelas Geni.
Membujuk agar diizinkan bertemu Gio, Geni mengutarakan bahwa Gio mirip sekali dengan anak tuannya yang hilang. “Dia hanya ingin melepas rindu, itu saja.”
Geni juga menekankan, mereka tak akan berani macam-macam karena di sekolah banyak orang. Nana bahkan juga bisa mendampingi Gio saat tuannya itu bertemu Gio. Ia terus meyakinkan Nana bahwa mereka tak ada niat buruk pada Gio maupun anak-anak panti lainnya.
Tak lama, anak-anak berhamburan keluar kelas, tak terkecuali Gio.
“Om,” panggil Gio ketika melihat Randy.
Menghampirinya bak anak yang sedang berlari ke arah ayahnya, Gio tampak senang bisa kembali bertemu dengan Randy.
“Hai, apa kabar? Om ke sini mau minta maaf. Tolong sampaikan maaf Om pada mama Gio ya, karena waktu itu Om ajak Gio beli es krim tanpa izin. Ini, Om bawakan pizza untuk Gio bagikan ke teman-teman,” ungkap Randy yang berlutut agar sejajar dengan tinggi Gio.
“Terima kasih, Om,” ujar Gio hangat.
Mengangguk haru, Randy semakin bangga pada sikap anaknya itu.
Nana yang melihatnya pun hanya terdiam mematung, seolah terhipnotis dengan keromantisan antara Gio dan lelaki itu. Apalagi saat melihat tatapan mata keduanya saat beradu pandang. Bekerja di panti asuhan membuatnya memiliki perasaan yang lebih sensitif terhadap hal-hal seperti ini. Ia dengan jelas melihat betapa Gio sangat ingin memiliki sosok ayah.
Tak hanya Gio, beberapa teman-teman pantinya pun tampak gembira saat melihat box pizza itu.
“Wah, itu seperti yang di iklan tv ya, emmm pasti enak,” cetus salah seorang teman Gio.
Tak ingin terlambat pulang, Nana lalu mengucapkan terima kasihnya pada dua lelaki di hadapannya itu, kemudian berpamitan pulang.
“Sampai ketemu lagi ya, anak pintar,” ucap Randy mengusap kepala Gio penuh sayang.
Gio yang masih mematung, seolah menikmati belaian sosok ayah yang tak pernah ia dapatkan.
Hingga Nana pun menarik tangan Gio untuk segera pulang. Lagi-lagi, Gio sampai memutar kepalanya melihat ke belakang, agar tetap bisa melihat Randy. Seolah ia masih belum ingin berpisah. Begitu pun dengan Randy yang tak henti melambaikan tangannya pada Gio.
***
Sampai panti, Nana menceritakan kejadian di sekolah pada Alya dan Bu Puri, karena mereka berdua bertanya-tanya dari mana anak-anak bisa membawa banyak kotak pizza.
Tapi, Nana hanya menceritakan perihal yang membuatnya terenyuh tadi pada Bu Puri seorang. “Apa yang laki-laki tadi katakan kalau Gio mirip anaknya yang hilang, jangan-jangan memang benar Gio anaknya? Nana lihat mereka begitu mirip dan cocok sekali jika dia jadi ayah Gio. Dia sampai nekat datang lagi hanya untuk bertemu Gio. Tapi kalau memang benar begitu, Mbak Alya ‘kan dulu tidak pernah menikah dengan siapa pun. Itu artinya, Gio tidak bisa dikatakan anaknya yang hilang. Tapi, rasanya juga tidak mungkin sampai sejauh itu. Entah, Nana jadi sedih saja melihatnya. Yang satu merindukan anaknya yang hilang, yang satunya lagi merindukan seorang ayah. Sama seperti Nana yang juga mendambakan memiliki seorang ayah.”
Sementara para anak panti sedang asyik menikmati pizza, Bu Puri lalu mengajak Alya bicara berdua.
“Betul kamu tidak mengenal lelaki itu, Al?” tanyanya sekali lagi.
Menggeleng, Alya mengatakan bahwa ia tak mengenal orang itu. “Nana tadi bilang ‘kan, Bu, kalau orang itu hanya rindu pada anaknya yang mirip Gio.”
Merasa Alya sedang menyembunyikan sesuatu, Bu Puri hafal betul dengan sikap Alya.
“Al, ini ibumu. Ibu sudah menganggapmu seperti anak Ibu sendiri. Apa kamu ada hati berbohong pada Ibu?” Bu Puri menatap Alya begitu lekat penuh makna.
Menundukkan kepalanya, Alya hanya bisa menangis.
...****************...
alurnya teratur baca jdi rileks banyak novel yang lain tulisan nya di ulang ulang terlalu banyak kosakata aku senang cerita kamu terus deh berkarya walaupun belum juara
Semangat kutunggu Karya selanjutnya Thoor, semoga sehat selalu