"Pokoknya aku mau Mama kembali!"
"Mau dibawa kemana anakku?!"
"Karena kau sudah membohongi puteriku, maka kau harus menjadi Mamanya!"
Tiba-tiba menjadi mama dari seorang gadis kecil yang lucu.
"Tapi, mengapa aku merasa begitu dekat dengan anak ini ya?"
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon linieva, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
21. Salah Pegang
Dua hari satu malam, Alisha meninggalkan rumahnya. Di hari kedua, siang hari, Alisha baru memasuki gerbang rumah yang tinggi setelah membayar ongkos taksinya.
“Mama!” Anisha berteriak memanggil Alisha yang baru terlihat, ketika dia ingin berlari, Dewi menangkap tangannya sehingga anak gadis kecil itu tidak bisa menghampiri Alisha.
“Mama! Mama! Aku mau peluk Mama!” rengek Anisha merentangkan kedua tangannya.
Alisha semakin menambah kecepatan kakinya, padahal jaraknya masih lumayan jauh agar sampai.
Heeuupp!
“Mama! Mama! Anisha kangen Mama.” Anisha memeluk Alisha.
“Mama juga kangen sama Anisha kok.” Dia berdiri dan menggendong Anisha, “Wi, tolong bawa ini ke dalam ya.” dia memberikan kotak yang dibungkus kertas kado pada Dewi, karena dia tidak bisa menggendong Anisha hanya dengan satu tangan saja.
‘Sialan! Kenapa dia harus nyuruh aku bawa ini sih? Kan bisa dikasih pada pembantu yang lain.’ Tapi Dewi tetap menerimanya dan menggerutu di dalam hati.
“Mama, itu apa?” tanya Anisha menunjuk pada kotak yang dipegang Dewi.
“Oh, itu adalah hadiah untuk puteriku yang tercantik.”
“Mama beli itu untuk Anisha ya?”
“Iya dong. Tapi Mama gak tahu, apa kamu menyukainya atau tidak.”
“Anisha suka kok.”
“Wah… padahal belum lihat loh.” Alisha duduk dan memangku Anisha.
“Apapun yang Mama belikan untuk Nisha, Anisha pasti suka. Mama, tuyunkan aku, aku mau lihat hadiahnya.”
Nisha gak sabaran ya. pelan-pelan membukanya biar tangan kamu gak terluka.” Alisha bisa bernapas lega karena akhirnya sang anak tidak merengek menangis padanya.
Ddrtddd…. Drtd…
Baru juga menyandarkan bahunya di sofa, ponselnya berdering, “Hallo?”
“Kau di mana? Apa kau sudah pulang?” terdengar suara yang Alisha kenal.
“Iya Bos, saya sudah di rumah sekarang menjaga puteri anda.” Ucapnya sarkas.
“Apa kau membawa hadiah yang aku suruh? Karena kau, aku berbohong pada puteriku.”
“Yes Bos! Aku membawanya. Dan kata Anisha, dia menyukai hadiah yang aku bawa.”
“Apa yang kau bawa? Kau tidak membawa barang-barang yang tidak berguna dan membahayakan anakku kan?”
“Memangnya anda pikir saya gila bawa barang bahaya? Tentu saja tidak! Aku hanya membawakannya mainan yang bisa melukis dan menulis, jangan khawatir.”
“Oke, aku percaya padamu.”
Klik!
Rasanya Alisha ingin melempar ponselnya karena bapak dari anak itu seenaknya menutup teleponnya tanpa mengatakan apapun padanya. Bukan berarti dia ingin berlama-lama mengobrol padanya, hanya saja rasanya dia seperti tidak dihargai.
Namun, rasa marahnya menghilang ketika Anisha begitu menyukai mainan yang dia beli dan buku-buku gambar yang bisa diwarnai.
‘Darimana sih orang itu, kok bisa dia mendapatkan puteri cantik lemah lembut seperti Anisha? Berbeda dengan sifatnya yang pemarah itu.’
“Mama, Mama, Nisha mau gambayl ini.” Anisha datang padanya untuk menunjukan buku gambar tanpa warna.
“Boleh Sayang. Mama juga sudah bawa pensil warnanya, mau mewarnai sekarang?”
“Ng! mau Ma!”
*
Ceklek!
“Mama… Mama…”
“Hm? Anisha?” Alisha mendengar suara Anisha yang datang masuk ke kamarnya. Anisha berjalan mencari Alisha dalam ruangan yang setengah gelap. Dia berjalan, sambil meraba-raba sekitarnya, “Mama, Mama di mana? Kenapa di sini gelap?”
“Kamu disitu saja dulu, biar Mama yang kesana.” Alisha melangkahkan kaki menemui Anisha, dan menggendongnya, “Anisha, kenapa kamu ada di sini? Bukankah kamu tadi sudah tidur?”
Tangan Anisha merangkul dileher Alisha, “Aku takut tiduyl sendiyian. Gluduknya besayl sekali.” Adunya.
“Gitu ya. Mungkin karena hujan. Kamu mau tidur sama Mama lagi?”
Kepala Anisa yang dipendam dalam dadanya, terasa dianggukan.
Tadinya, Alisha sedang membaca buku dengan menggunakan lampu yang penerangannya tidak terlalu terang. Tapi, karena Anisha datang, Alisha tidak bisa melanjutkan membacanya.
Mereka berdua pun berbaring bersama didala selimut. Hanya dalam sekejab, mungkin karena elusan lembut dikepala Anisha, anak itu jadi tertidur sambil memegang tangan Alisha.
‘Dia sangat menyukaiku. Apa aku bisa meninggalkannya nanti kalau kontrak perjanjian selesai?’
Duar!
Suara petir menyambar ditengah hujan yang deras. Anisha tidak takut lagi tapi badannya bergerak karena dia terkejut. Selama tangan mereka saling berpegangan, Anisha tidak menangis ketakutan.
“Sssh.. sshh.. jangan takut Sayang, Mama di sini.”
Tengah malam hujan masih turun. Seseorang masuk ke dalam kamar Alisha. Langkah demi langkah, yang sangat pelan, memasuki kamar lebih dalam hingga orang itu sudah berdiri dipinggir ranjang, dan menatap kearah mereka. Kamar tetap gelap.
Tap!
Telapak tangan Sadewa mendarat dengan lembut diujung kepala orang yang ingin dia temui. Jari-jarinya bisa merasakan betapa lembutnya rambut yang dia sentuh.
‘Tapi aneh, kenapa aku merasakan kalau kepala yang aku sentuh ini, besar?’ Sadewa tidak bisa melihat dengan jelas, apakah yang dia sentuh itu adalah kepala puterinya atau tidak.
Tangan itu malah semakin meluas jangkauannya. Bukan hanya kepala, tapi wajah pun ikut disentuh.
“Apa yang anda lakukan?”
“Hm??” seketika itu Sadewa menarik tangannya ketika mendengar suara itu, suara yang dia kenal, dan pastinya bukan suara puterinya.
Klik!
Alisha menyalakan lampu kecil diatas nakas, disamping tempat tidurnya. Terkejut pun Alisha, masih lebih terkejut lagi Sadewa, sampai dia berteriak ketika melihat wajah siapa yang dia lihat,”Akhh….!”
“Ssshhtt!” Alisha bangun dan langsung menutup mulut Sadewa dengan paksa, “Apa anda gila? Kalau anda berteriak, anda bisa membangunkan puteri anda!” ucapnya berbisik.
“Mmm…..hnmm…”
“Anda bicara apa?”
“Mmm! Mmm!” tangan Sadewa menunjuk pada mulutnya yang masih ditutup.
“Oh… maafkan aku.” Setelah tahu, Alisha menarik tangannya.
“Lagipula, apa yang anda lakukan disini? Tengah malam begini?” Alisha mengubah posisinya, dia duduk bersandar.
“Aku ingin melihat puteriku.”
“Tapi kenapa anda malah menyentuh wajahku? Jangan bilang anda…”
“Singkirkan pikiran-pikiran nakalmu!”
“Siapa yang berpikir nakal sih? Padahal kan anda sendiri.”
“Pokoknya, aku datang kesini bukan untuk mengganggumu.” Sadewa berpindah tempat kearah Anisha, ‘Ternyata anakku tidur di sebelah sini. Aku jadi salah menyentuh orang.’
“Darimana anda tahu kalau Anisha ada di sini?”
“Aku tidak melihatnya di kamarnya, jadi aku pikir dia datang ke kamarmu. Dan, kamarmu juga tidak di kunci, makanya aku bisa masuk.”
“Oohh, begitu. Tapi, anda malah menyentuh wajahku. Aku sempat pikir, kalau anda menyukaiku.”
“Omong kosong.”
“Anda mau membawanya ke kamarnya?”
“Iya.”
“Bagaimana kalau dia bangun? Aku tidak mau, ketika dia bangun, anda membangunkan saya untuk menenangkannya loh. Biarkan saja dia tidur di sini.”
“Hmmph.. ya sudah. Lain kali, jangan biasakan lampu kamarmu mati seperti tadi.”
“Aku tidak bisa tidur kalau lampunya menyala, rasanya silau di mata.”
“Selama anakku tidur denganmu, nyalakan saja lampunya.”
“Memangnya, kalau Anisha tidur di sini, anda akan datang lagi ke kamar-ku?”
“Kamarmu? Sejak kapan ini menjadi kamarmu?”
‘Dasar orang ini. Tidak pernah mau mengalah.’
“Sudahlah. Males bertengkar dengan anda.” Alisha bersiap untuk tidur lagi.
“Siapa yang mau bertengkar-
“Kalau tidak ada urusan anda lagi, keluar dari kamar ANDA, atau anda mau tidur di sini? Aku mengantuk dan masih ingin tidur.”