Aku menyukaimu! Tapi, Aku tahu Aku tak cukup pantas untukmu!
Cinta satu malam yang terjadi antara dia dan sahabatnya, membawanya pada kisah cinta yang rumit. Khanza harus mengubur perasaannya dalam-dalam karena Nicholas sudah memiliki seseorang dalam hatinya, dia memilih membantu Nicholas mendapatkan cinta sang gadis pujaannya.
Mampukah Khanza merelakan Nicholas bersama gadis yang di cintai nya? Atau dia akan berjuang demi hatinya sendiri?
Ayo ikuti kisah romansa mereka di sini! Di Oh My Savior
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Whidie Arista, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 24: Rencana diam-diam
Satu hal yang sulit di kendalikan! Yaitu, perasaan.
~*~
Nic keluar di ikuti Khanza di belakangnya selepas rapat selesai. Mereka memutuskan untuk sejenak melepas penat sembari makan siang di sebuah cafe terdekat.
Nic mengernyit menatap makanan yang Khanza pesan, "kamu hanya makan buah Za?" tanya Nic heran.
"Hem, aku sedang diet." Jawab Khanza sembari menyantap salad buah yang di pesannya.
Nic menilik postur tubuh Khanza yang memang sedikit berisi, namun sama sekali tidak gendut pikirnya, "jangan terlalu memaksakan diri, tidak masalah gendut yang penting kau sehat." Khanza hanya mengangguk sebagai jawaban.
Dering ponsel mengalihkan atensi Khanza, dia mengambil lantas menempelkan benda pipih tersebut ke telinganya.
[Halo Khanza, kau sedang bersama Nic?] tanya sang penelpon.
"Iya." Jawab Khanza pelan. Nic nampak menilik penasaran.
[Kau sudah bilang padanya, soal keputusanmu?] tanyanya lagi.
"Masih belum." Jawab Khanza masih dengan suara rendah.
[Coba kau pikirkan lagi Khanza, keputusanmu akan sangat mempengaruhi dia, mengingat kau adalah orang terdekatnya setelah kami.]
"Nanti kita bicara lagi." Ujar Khanza dia masih belum siap untuk mengatakannya, dia harus menyusun kata yang tepat agar Nic memahami keputusan yang Ia ambil.
[Oke] sambungan telpon pun terputus.
"Siapa yang menelpon?" tanya Nic nampak penasaran.
"Bukan siapa-siapa," Khanza enggan menjawab.
Nic pun harus mengubur rasa ingin tahunya, karena Khanza enggan menjawab.
"Nic, apa kau bahagia dengan Nona Cherry?" tanya Khanza dengan pandangan serius.
"Emh, ya lumayan." Jawab Nic asal.
"Syukurlah, aku bisa tenang." Nic melempar pandang penuh tanya.
"Tidak papa." Khanza menggeleng sambil tersenyum pelan.
Selepas makan siang, mereka kembali melanjutkan aktifitasnya, menggeluti pekerjaan yang amat banyak.
Malamnya mereka pulang bersama, Khanza sengaja singgah dulu di kediaman Nic tanpa sepengetahuannya, saat ini dia tengah berada di ruangan kerja Richard, yang di temani pula oleh Shelia.
"Khanza kau yakin akan keputusanmu untuk pindah ke luar negri? Disini pun posisimu tidak lebih rendah dari di sana, bahkan lebih tinggi." Ujar Richard sembari memandang selembar kertas di genggamannya.
"Aku sudah yakin Tuan, sekarang Nic sudah dewasa dia sudah mampu membuat keputusan yang bijak dan benar. Nic akan menikah, aku takut istrinya akan cemburu melihat aku selalu menguntitnya kemana pun dia pergi," Khanza terkekeh pelan.
"Baiklah, jika keputusanmu sudah bulat. Aku hanya dapat menyetujuinya saja, tapi sebelum kami mendapatkan asisten baru untuk Nic, kau tidak boleh pergi dulu." Ucap Richard.
"Baiklah tidak masalah, lagi pula aku akan pergi setelah Nic bertunangan." Jawab Khanza di matanya nampak berat, tapi dia tetap harus mengambil keputusan tersebut, mengingat perutnya semakin membesar seiring berkembangnya janin di dalam rahimnya.
Richard telah meninggalkan ruangan tersebut, kini tersisa Khanza dan juga Shelia. Shelia yang sedari tadi hanya diam, kini menatap Khanza seolah dia tahu isi hati wanita itu. Seolah dia tengah menerawang dan menjelajah isi hati Khanza.
"Pergilah, jika itu membuat perasaanmu jadi baik-baik saja. Tapi perlu aku katakan lagi, jujurlah padanya, untuk apa kau berkorban? Khanza kau juga putriku, aku tak ingin memihak siapa pun dalam hal ini, jika kau ingin aku mengatakan--," Khanza memotong ucapan Shelia dengan menggelengkan kepalanya.
"Tidak Mami, aku akan menjadi orang yang egois jika Mami melanjutkan kata-kata Mami. Biarkan aku tetap menjadi anak keduamu, jika aku mengatakan apa yang aku rasakan untuk Nic, akan jadi apa hubunganku dengannya nanti, biarkan aku tetap menjadi adik dan juga sahabat untuknya." Khanza menitikkan air mata, Shelia mendekat dan membawa Khanza dalam dekapannya.
"Mengapa kau membungkam mulutku begini Nak?" Shelia ikut terisak, membuat Khanza tak kuasa menahan tangisnya pula, mereka menangis dalam tempo waktu cukup lama.
"Sudah cukup jangan menangis lagi, kau pasti laparkan?" Shelia melepas dekapannya dan mengusap sisa air mata di pipinya dan di pipi Khanza pula. Khanza mengangguk seraya mengembangkan senyum di wajahnya.
Shelia menggandeng lengan Khanza menuntunnya ke meja makan, disana sudah ada Nic dan juga Richard.
"Khanza, aku pikir kamu sudah pulang?" Nic nampak terkejut melihat kedatangan Khanza bersama Ibunya.
"Memangnya kenapa ini rumahnya juga, dia boleh datang dan pergi semaunya. Makan yang banyak sayang." Shelia mengisi piring Khanza dengan semua hidangan yang tersaji.
"Mami pilih kasih," gerutu Nic, sembari memasang tampang kesal.
"Biarin kamu kan udah punya Cherry, sana manja-manjaan sama dia." Balas Shelia enggan memedulikannya. Walau Nic bilang begitu, namun sebetulnya dia hanya bergurau saja, dalam lubuk hatinya dia sangatlah senang melihat kedekatan Khanza dan juga Mamahnya.
"Tapi Cherry gak secantik Mami. Aku pengen manjanya sama Mami." Perkataan Nic sontak membuat semua orang terkejut dan menoleh ke arahnya secara bersamaan.
"Astaga belajar darimana dia kata-kata begitu?" Shelia menumpu dagu dengan telapak tangannya sembari menatap Nic dengan pandangan heran bercampur nyeleneh.
"Sepertinya gunung es kita mulai mencair Mami." Tambah Khanza membuat tawa semua orang seketika menggema di ruangan itu, kecuali Nic.
"Wah Nic, sepertinya pengaruh wanita mulai bekerja padamu, Nak. Dulu saja pada Daddy kau selalu bersikap dingin, tapi lihat dalam sekejap kau bisa berubah, hanya karena seroang wanita," Richard menghela napas ringan sembari menggeleng pelan, "tapi ingat Mami mu itu milik Daddy!" perkataan Richard membuat Nic mendengus, sedang Khanza dan Shelia hanya cekikikan menanggapinya.
"Sejak kapan aku berubah? Aku rasa aku masih sama seperti dulu, benarkan Za? Lagi pula aku orangnya biasa-biasa saja, mana ada kaya es batu." Keluh Nic tak terima dikatai dingin oleh orang-orang terdekatnya, padahal bagi dirinya itu masih terbilang wajar. Dia hanya tak bisa mengungkapkan segalanya dalam sebuah kata. Dan lagi Nic tak pandai bergaul dengan orang baru, berbeda dengan Khanza yang menurutnya mudah kenal dengan orang lain.
"Entahlah, mungkin yang di katakan Tuan Richard benar. Dulu ketika aku pertama kali bertemu denganmu wajahmu seperti ini." Khanza menirukan ekspresi Nic dulu.
"Apa?! Aku tidak begitu!" Sanggah Nic tak terima, membuat gelak tawa kembali pecah di antara mereka.
"Iya begitu ko, kamu aja yang gak nyadar!" Khanza bersikukuh. Gagal sudah Nic merekrut Khanza untuk berpihak padanya, posisinya semakin tersudut dan akhirnya dia terdiam dengan muka masam.
Nic akhirnya menjadi bahan olok-olokan Khanza dan Shelia, namun tentu saja Richard pun tak mau melewatkan kesempatan langka mengerjai putranya itu.
"Setelah kau menikah, entah mungkin atau tidak kita bisa bercanda seperti ini lagi Nic." Ucapan Richard membuat Khanza dan Shelia menghentikan tawanya, sedang Shelia memasang wajah datar terkesan sedih.
"Mami." Khanza mengusap pundak Shelia sembari tersenyum berharap apa yang Ia lakukan mampu sedikit menghiburnya.
"Mami, aku masih belum akan menikah, itu masih jauh. Lagi pula, jujur saja aku juga belum ingin bertunangan." Nic mengalihkan pandangan ke arah lain.
"Tidak Nic, beritanya terlanjur menyebar pertunangan ini tetap harus di langsungkan."