Adinda Khairunnisa gadis cantik yang ceria, yang tinggal hanya berdua dengan sang ayah, saat melahirkan Adinda sang bunda pendarahan hebat, dan tidak mampu bertahan, dia kembali kepada sang khaliq, tanpa bisa melihat putri cantiknya.
Semenjak Bundanya tiada, Adinda di besarkan seorang diri oleh sang ayah, ayahnya tidak ingin lagi menikah, katanya hanya ingin berkumpul di alam sana bersama bundanya nanti.
Saat ulang tahun Adinda yang ke 17th dan bertepatan dengan kelulusan Adinda, ayahnya ikut menyusul sang bunda, membuat dunia Adinda hancur saat itu juga.
Yang makin membuat Adinda hancur, sahabat yang sangat dia sayangi dari kecil tega menikung Adinda dari belakang, dia berselingkuh dengan kekasih Adinda.
Sejak saat itu Adinda menjadi gadis yang pendiam dan tidak terlalu percaya sama orang.
Bagaimana kisahnya, yukkk.. baca kisah selanjutnya, jangan lupa kasih like komen dan vote ya, klau kasih bintang jangan satu dua ya, kasih bintang lima, biar ratingnya bagus😁🙏🙏🙏
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon devi oktavia_10, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 7
"Loh... Kok kita ke rumah sakit sih pak? emang siapa yang sakit" tanya Adinda tak mengerti, dia kan tadi lagi menunggu kedatangan ayahnya, dan sekarang malah di ajak ke rumah sakit, nanti klau ayahnya mencarinya gimana." pikir Dinda.
"Sabar ya Din, ada kami kok."ucap Bu Maya mengusap punggung murid pintar dan baik hatinya itu.
Dinda hanya diam, dan bingung, jujur hatinya mulai gelisah, apa lagi ayahnya juga belum menghubungi dirinya sama sekali.
"Maaf sus, mau tanya, para korban kecelakaan di jalan jambu tadi di bawa kemana ya sus?" tanya kepala sekolah saat bertemu dengan suster di pintu IGD.
"Sebagian masih di tangani di dalam, sebagian sudah masuk rawat inap, sebagian ada yang di kamar jenazah dan ada juga yang sudah pulang." jawab perawat tersebut.
Dag....
Jantung Adinda lansung berpacu tidak karuan, dia mulai cemas memikirkan sang ayah.
"Ya Allah. Ada apa ini." gumam Dinda mulai bergetar.
"Bapak mau nyari atas nama siapa?" tanya perawat.
"Atas nama tuan Antoni." ujar kepala sekolah.
Deg....
Makin menjadi sesak nafas Adinda saat nama sang ayah yang di sebut oleh kepala sekolah.
"Ngak, ngak mungkin." gumam Adinda mulai panik.
"Sebentar ya pak?" sahut suster sambil melihat daftar pasien.
"Maaf pak." ucap ucap Perawat dengan wajah sendunya.
"Iya, kenapa sus?" tanya Kepala yang juga ikutan gelisah.
"Tuan Antoni tidak bisa di selamatkan, sebelum sampai rumah sakit dia sudah menghembuskan nafas terakhir, karena benturan keras di kepala dan dada kena tusukan kaca pas mengenai jantungnya, dia kehilangan banyak darah, jadi dia tidak bisa bertahan." tutur suster dengan pandangan yang sulit di artikan.
"HUAA...... TIDAKKKK...... AYAHHHHH..... ITU BUKAN AYAHKAN, AYAH DINDA MASIH KERJA HUUU.... UUU.... AYAHHHH......" pecah sudah tangis Adinda mendengar ucapan suster tersebut.
Deg....
"Innalillahi wainnailaihi rojiun..." ucap kepala sekolah dan bu Maya. Mereka tidak menyangka Ayah Dinda tidak bisa di selamatkan.
"Sekarang Almarhum ada dimana sus?" tanya Kepala sekolah.
"Di kamar mayat pak." sahut suster.
"Baik terimakasih." ucap kepala sekolah.
Sementara Bu Maya sedang berusaha menangkan Adinda yang histeris, air matanya pun ikut luruh melihat Adinda yang mengangguk.
"Sabat nak, semua pasti akan berpulang, kita hanya menunggu waktu, Dinda ngak boleh kaya gini nak, kasihan ayahnya Dinda." ucap Bu Maya memeluk Adinda.
"Huuu.... uuuu.... uuu.... Ayah Dinda bu, ayah dinda udah ngak ada bu, kenapa ayah ninggalin Dinda sendirian di sini bu... Dinda ingin ikut ayah sama bunda bu, huuu.... uuuu..."
"Ya Allah nak, jangan ngomong kaya gitu, istiqfar sayang." Bu Maya makin mengeratkan pelukannya kepada Dinda.
"Din, ayo kita lihat Ayah ke sana." bujuk Kepala sekolah yang tidak tega melihat murid sekaligus anak dari teman baiknya itu, sungguh dia tidak tega melihat Adinda yang sangat kacau.
"Bapak, ayah pak, huuu... uuu... Ayah milih ikut bunda pak, Dinda di tinggalin sendiri di sini pak, Dinda takut pak huuu... uuu...." Adinda menatap pilu kepala sekolah.
"Sabar nak." merangkul Adinda, hanya kata kata itu yang keluar dari mulut kepala sekolah, dia juga meresa kehilangan teman baiknya, yang selalu membatu dia di saat masa masa sulit, pak anton pernah mendonorkan darahnya untuk putri kepala sekolah, saat itu sang anak kekurangan darah karena kecelakaan, dan sekarang di saat pak Anton mendapat musibah dia tidak bisa membantu apa apa, sesak sungguh sesak dada kelapa sekolah.
"Bapak.... Ayah pak.... huuu... uuu...." Adinda semakin menjadi meraung.
Mereka berjalan ke kamar mayat untuk memastikan bahwa itu benaran pak Anton yang mereka kenal atau bukan.
Adinda di papah oleh kepala sekolah dan bu Maya, karena gadis itu sudah tidak bertenaga lagi memikirkan sang ayah.
"Pak." panggil orang yang tadi menelpon pak kelapa sekolah.
"Kamu masih di sini." ujar kepala sekolah.
"Iya saya menunggu yang datang, dan mau menunggu arahan untuk membawa jenazah." ujar orang itu.
"Din, yang sabar ya nak, Om turut berduka." ucap Andi memeluk gadis malang itu.
"Om. Dinda mau lihat Ayah hiks." pinta Adinda.
"Ayo kita masuk." ajak Pak Andi merangkul tubuh ringkih gadis malang itu.
Kepala sekolah membuka kain yang menutupi seluruh tubuh jenazah pak Anton, hingga leher.
"Innalillahi wainnailahi rojiun." ucap mereka serempak, menatap wajah pucat pasi pak Anton.
"AYAHHHH..." pekik Adinda tidak terkendali.
Bruk.....
"Dinda...." kaget mereka, melihat Adinda yang sudah tergelerak di lantai.
Adinda jatuh pingsan saat melihat wajah sang ayah, dia begitu kaget dan tidak percaya, ayahnya yang tadi pagi masih sempat bercanda dan memeluknya penuh kasih sayang, mencium wajahnya bertubi tubi, kini sudah terbujur kaku di kamar mayat, hati anak mana yang tidak akan sakit melihat itu, apa lagi dia di tinggal bukan karena sakit, shok tentu saja Adinda di buat shok, tidak ada lagi tempat dia berpulang, tempat dia mengadu, tempat dia bermanja manja, kini Adinda yang malang di tinggal sebatang kara di dunia yang kejam ini.
Sementara di tempat lain, para siswa dan orang tua jadi sangat riuh, mendengar kabar berita, klau ayah Adinda telah berpulang, akibat tabrakan beruntun yang terjadi tadi pagi.
"Hiks.... Hiks.... Ini ngak benarkan, ini bohongkan, tadi pagi Om Anton masih bersama aku, masih sempat bercanda, kenapa sekarang dia pergi hiks... hiks..." Lusi menangis mendengar kabar itu, dia salah satu anak yang mendapat kasih sayang seorang ayah dari Anton, tentu dia ikut kehilangan.
"Huuu... Om orang baik, kenapa cepat sekali perginya, bagaimana dengan Adinda huuu.... uuu...." isak Rini.
"Ayo kita kerumah sakit, kita harus memberi kekuatan untuk Adinda hiks..." ujar Sita tersedu sedu.
"Ini kemana dua manusia si alan, kenapa ngak ada sih." ujar Lusi mencari keberadaan Dion dan Rizka.
"Sudah, jangan pikirin mereka dulu, kita harus ke rumah sakit dulu, kita harus temanin Adinda." ujar Rini.
Mereka lansung berangkat ke rumah sakit, namun Lusi tidak mau membawa mobilnya, dia lagi kacau, takut terjadi apa apa juga dengan mereka nantinya, jadi dia minta tolong sama teman sekolahnya, untuk mengantar ke rumah sakit.
"Pak. Adinda mana?" tanya Lusi saat mereka sudah sampai di rumah sakit, di sana ternyata sudah ramai para warga, dan teman kantor pak Anton.
"Dinda di UGD dari tadi sudah dua kali pingsan, kalian temani dia, nanti lansung bawa pulang klau sudah sadar, bapak akan membawa jenazah ke rumah duka, kalian menyusul nanti ya, di UGD ada bu Maya juga." sahut Kepala sekolah.
"Tapi kami mau lihat jenazah dulu, untuk yang terakhir kalinya." isak Lusi.
"Baiklah, kalian masuk lah ke dalam, sebentar lagi mau di mandikan." ucap kepala sekolah.
"Om hiks.... hiks.... Kenapa om cepat banget perginya, katanya om akan nemanin Adinda, tapi om bohong, apa om udah ngak sabar ya ketemu tante, makanya ninggalin Adinda sendirian, apa ini arti ucapan om tadi pagi ya, om tenang di sana ya, aku janji akan selalu menjaga Adinda dengan baik, Adinda juga saudaraku om, om pergilah dengan tenang, titip salam untuk tante Jelita, bilang sama dia, gadis cantiknya akan aku jaga dengan baik hiks..." Lusi menatap sendu wajah laki laki yang dia anggap sebagai pengganti ayahnya itu, gadis cantik itu juga tidak lupa membaca yasin sebelum menemui sahabatnya.
Ke tiga gadis cantik itu tak bisa menahan isak tangisnya, mereka juga merasakan kehilangan pak Anton, mereka ke hilangan sosok ayah yang baik, walaupun mereka bukan anak kandung dari Anton, tapi mereka tidak pernah di beda bedakan oleh Anton dengan Adinda.
Bersambung.....
Haiiii.... Jangan lupa like komen vote ya....😍😍😍