Aldo, seorang mahasiswa pendiam yang sedang berjuang menyelesaikan skripsinya, tiba-tiba terjebak dalam taruhan gila bersama teman-temannya: dalam waktu sebulan, ia harus berhasil mendekati Alia, gadis paling populer di kampus.
Namun, segalanya berubah ketika Alia tanpa sengaja mendengar tentang taruhan itu. Merasa tertantang, Alia mendekati Aldo dan menawarkan kesempatan untuk membuktikan keseriusannya. Melalui proyek sosial kampus yang mereka kerjakan bersama, hubungan mereka perlahan tumbuh, meski ada tekanan dari skripsi yang semakin mendekati tenggat waktu.
Ketika hubungan mereka mulai mendalam, rahasia tentang taruhan terbongkar, membuat Alia merasa dikhianati. Hati Aldo hancur, dan di tengah kesibukan skripsi, ia harus berjuang keras untuk mendapatkan kembali kepercayaan Alia. Dengan perjuangan, permintaan maaf, dan tindakan besar di hari presentasi skripsi Alia, Aldo berusaha membuktikan bahwa perasaannya jauh lebih besar daripada sekadar taruhan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon orionesia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Rencana Rio yang Licik
Malam itu, Rio duduk di kamarnya dengan perasaan campur aduk. Frustrasi, amarah, dan ego yang terluka menguasai pikirannya. Selama ini, dia selalu mendapatkan apa yang dia mau, termasuk perempuan. Namun, Alia berbeda. Gadis itu tak goyah sedikit pun meskipun Rio sudah mengerahkan semua pesonanya. Alih-alih tertarik, Alia malah semakin dekat dengan Aldo, pria yang Rio anggap tidak sepadan dengannya.
“Kenapa bisa gini?” Rio menggumam pada dirinya sendiri sambil melihat ke cermin di depannya. Di kampus, dia dikenal sebagai sosok yang populer—tampan, pintar, dan pandai bergaul. Tapi kenapa Alia tak terpikat sedikit pun?
Ia menatap bayangan dirinya di cermin. "Ini belum selesai," ucapnya lirih tapi tegas. Rio menolak untuk menyerah. Dia bertekad, bagaimanapun caranya, dia akan membuat Alia berpaling dari Aldo dan melihatnya sebagai pilihan yang lebih baik.
Keesokan harinya, Rio menghubungi beberapa temannya yang juga tidak terlalu menyukai Aldo. Mereka adalah orang-orang yang cemburu atau sekadar ingin bersenang-senang dengan menyaksikan drama di antara mereka. Dalam percakapan yang dilakukan di sebuah kafe di dekat kampus, Rio mengemukakan rencananya.
"Gue punya ide buat bikin Aldo keliatan buruk di mata Alia," kata Rio dengan suara rendah namun penuh tekad. "Kalau gue bisa membuat dia keliatan seperti pengecut atau nggak setia, Alia pasti akan mulai meragukannya."
Salah satu temannya, Faris, yang dikenal sebagai pemuda dengan pemikiran taktis, menyahut, “Gimana caranya, Rio? Aldo bukan tipe orang yang gampang terpancing emosi. Kalau kita langsung serang dia, dia bakal tetep tenang, dan itu nggak bakal efektif.”
Rio tersenyum licik, seolah sudah memikirkan segala sesuatunya. "Gue nggak perlu ngehadapin Aldo langsung. Kita main belakang aja. Bikin seolah-olah Aldo yang bikin kesalahan. Nanti, biar Alia yang menyimpulkan sendiri."
Mata temannya yang lain, Dika, berkilat tanda tertarik. “Maksud lo?”
Rio mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan beberapa foto Alia dan Aldo yang diambil secara sembunyi-sembunyi. “Gue udah ngumpulin beberapa foto mereka, tapi gue butuh lebih. Gue pengen kita foto Aldo lagi, kali ini di tempat dan situasi yang bikin dia kelihatan kayak lagi selingkuh.”
Semua yang ada di meja mendengarkan dengan penuh perhatian. "Lo serius?" tanya Faris lagi.
Rio mengangguk tegas. "Gue udah tau tempatnya. Di kafe tempat Alia suka nongkrong, ada cewek yang juga kerja paruh waktu di situ. Gue bakal bikin dia keliatan dekat sama Aldo. Lo bayangin, kalau Alia ngeliat Aldo ngobrol akrab sama cewek lain, pasti dia bakal ragu."
Faris tertawa pelan. "Rencana lo licik, tapi gue suka."
Rio memulai rencananya dengan cermat. Dia mengamati jadwal Aldo, mencari tahu kapan dan di mana Aldo sering menghabiskan waktu. Suatu sore, dia melihat Aldo duduk sendirian di kafe favorit Alia. Rio memutuskan ini adalah saat yang tepat untuk memulai fase pertama dari rencananya.
Dia menghubungi seorang teman perempuannya, Nisa, yang bekerja sebagai barista di kafe tersebut. Nisa adalah gadis yang menawan, dan Rio tahu bahwa jika ada yang bisa membuat Aldo terlihat mencurigakan, itu adalah Nisa. Rio mendekati Nisa dengan tawaran yang sulit untuk ditolak.
"Nis, gue butuh bantuan lo," kata Rio sambil duduk di meja depan bar tempat Nisa bekerja.
Nisa memandang Rio dengan mata curiga. "Bantuan apa? Jangan bikin gue masuk masalah."
Rio tersenyum menenangkan. "Gue cuma mau lo ngobrol sama Aldo. Bikin suasana seolah-olah kalian dekat, seakan lo tertarik sama dia. Gue butuh foto kalian berdua, itu aja."
Nisa mengerutkan dahi, tampak ragu. "Ngapain lo ngelakuin ini? Apa untungnya buat gue?"
Rio menghela napas, lalu merogoh sakunya dan mengeluarkan sejumlah uang. "Ini buat lo. Lo cuma perlu ngobrol sebentar, bikin dia keliatan nyaman di foto. Gue janji nggak ada yang bakal curiga sama lo."
Nisa menatap uang di tangan Rio dan akhirnya mengangguk setuju. "Oke, gue akan coba."
Sore itu, Nisa mulai menjalankan perannya. Dia mendekati Aldo dengan senyuman manis sambil membawa pesanan minuman Aldo.
“Hey, Aldo, lo sering ke sini ya? Gue selalu liat lo, tapi baru kali ini kita ngobrol,” kata Nisa dengan suara lembut.
Aldo tersenyum ramah. "Iya, gue sering nongkrong di sini kalau lagi ngerjain tugas. Tempatnya nyaman."
Nisa melanjutkan pembicaraan dengan santai, membuat obrolan itu terasa alami. Rio, yang duduk di meja lain dan bersembunyi di balik menu, secara diam-diam memotret mereka dari kejauhan. Dari sudut pandang tertentu, interaksi itu bisa terlihat cukup intim. Nisa tampak tertawa kecil, dan Aldo pun tersenyum, membuat momen itu semakin terlihat seolah mereka sedang bersenang-senang.
Setelah merasa mendapatkan cukup bukti, Rio segera pergi dari kafe, puas dengan hasilnya. Rencana berikutnya adalah menunjukkan foto-foto itu pada Alia, tapi tidak langsung. Dia ingin membuat seolah-olah Alia yang menemukannya secara tidak sengaja.
Dua hari kemudian, Rio mendekati Alia di kampus. Dia tampak lebih ramah dari biasanya, berusaha bersikap seolah dia sudah menerima kenyataan bahwa Alia tidak tertarik padanya. Mereka berbincang ringan tentang tugas-tugas kuliah hingga akhirnya Rio mulai mengarahkan percakapan ke topik yang dia inginkan.
"Lo dan Aldo kelihatan cocok banget, Al," kata Rio dengan senyum tipis. "Tapi, gue cuma pengen ngasih tau satu hal. Gue nggak mau lo sakit hati, makanya gue pikir lo perlu tau ini."
Alia mengerutkan kening, bingung dengan perubahan nada bicara Rio. "Maksud lo apa?"
Rio menghela napas panjang, berpura-pura ragu sebelum akhirnya mengeluarkan ponselnya. "Gue nggak tau ini benar atau nggak, tapi gue liat Aldo ngobrol sama cewek lain di kafe waktu itu. Mereka kelihatan dekat banget."
Rio menunjukkan foto-foto yang dia ambil kepada Alia. Dalam gambar itu, Aldo terlihat tertawa bersama Nisa, dan dalam satu momen, Nisa tampak menyentuh lengan Aldo dengan akrab.
Alia terdiam, memandangi foto-foto itu dengan tatapan sulit diartikan. Rio memperhatikan reaksi Alia dengan saksama, berharap bisa melihat sedikit keraguan muncul di mata gadis itu.
"Lo harus hati-hati, Al," lanjut Rio dengan nada prihatin. "Gue nggak mau lo terluka. Gue cuma pengen lo tau apa yang mungkin terjadi."
Alia menatap Rio dengan dingin. "Makasih udah ngasih tau, Rio. Tapi gue tau Aldo nggak kayak gitu."
Meskipun ucapan Alia terdengar tegas, ada sedikit keraguan yang muncul di dalam hatinya. Foto-foto itu terlihat nyata, dan meskipun dia tahu Aldo bukan tipe orang yang suka bermain-main dengan perasaan, dia tak bisa sepenuhnya mengabaikan apa yang baru saja dia lihat.
Malam itu, Alia tidak bisa tidur dengan tenang. Gambar-gambar yang Rio tunjukkan terus bermain di pikirannya. Dia berusaha meyakinkan dirinya bahwa Aldo adalah pria yang jujur dan setia, tapi benih keraguan sudah mulai tumbuh.
Aldo, yang tidak tahu apa-apa, mengirim pesan seperti biasa, menanyakan kabar Alia dan bertanya apakah mereka bisa bertemu keesokan harinya. Alia membalas dengan singkat, sesuatu yang tak biasa dalam percakapan mereka. Aldo merasakan ada sesuatu yang aneh, tapi dia tidak langsung menanyakannya.
Keesokan harinya, ketika mereka bertemu di kampus, Aldo langsung merasakan ada jarak di antara mereka. Alia tampak lebih dingin dari biasanya, meski dia berusaha menyembunyikannya. Aldo tidak tahan lagi dan akhirnya memutuskan untuk menanyakan hal itu.
“Al, ada yang salah? Lo kayaknya beda hari ini.”
Alia menghela napas, berusaha memilih kata-kata yang tepat. "Aldo, gue pengen lo jujur sama gue. Ada sesuatu yang mau gue tanyain."
Aldo mengerutkan kening. "Apa, Al? Lo tau gue nggak bakal bohong sama lo."
Alia menatap Aldo dengan tatapan serius. Alia terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah dia benar-benar harus mengutarakan apa yang ada di pikirannya. Bagaimanapun, perasaan cemburu dan ragu yang mulai tumbuh dalam dirinya tidak bisa dia abaikan begitu saja. Dia mengingat jelas foto-foto yang diperlihatkan Rio, dan meskipun dia percaya pada Aldo, tetap saja ada sedikit keraguan yang muncul.
“Aldo,” Alia mulai, suaranya terdengar tenang tapi tegas. “Gue cuma mau tau, lo pernah ketemu sama cewek di kafe favorit kita? Mungkin lo ngobrol akrab sama dia?”
Aldo tertegun. "Cewek? Di kafe?" Dia tampak benar-benar kebingungan, mencoba mengingat pertemuannya dengan siapa saja di kafe itu. “Oh, lo maksud Nisa, barista di sana? Iya, gue pernah ngobrol sama dia. Tapi cuma sebentar kok, Al. Dia cuma nanyain soal tugas gue, dan kita ngobrol biasa aja.”
Mendengar penjelasan itu, Alia masih belum sepenuhnya puas. “Gue liat foto lo sama dia. Kalian kelihatan dekat banget. Lo bisa jelasin itu?”
Aldo semakin bingung. “Foto? Siapa yang ngambil foto gue? Al, gue nggak ngerti. Kita cuma ngobrol doang, nggak ada yang aneh. Kalau lo liat foto, itu mungkin diambil pas kita lagi ketawa, tapi itu beneran nggak ada apa-apa. Gue nggak mungkin selingkuh dari lo.”
Kata-kata Aldo terdengar tulus, tapi keraguan masih ada di hati Alia. Dia merasa tidak adil untuk langsung menuduh, tapi di sisi lain, apa yang dia lihat seolah membenarkan ketakutannya.
"Gue percaya sama lo, Aldo," kata Alia akhirnya, meski nadanya terdengar ragu. "Tapi foto-foto itu bikin gue mikir dua kali. Gue cuma pengen lo tau, gue nggak mau disakitin."
Aldo meraih tangan Alia, menatapnya dengan mata penuh kejujuran. “Al, gue nggak akan pernah nyakitin lo. Kalau ada yang salah, kita selesaikan ini bareng-bareng, oke? Gue nggak tau siapa yang kasih lo foto itu, tapi gue bisa jamin nggak ada apa-apa antara gue dan Nisa.”
Alia menarik napas panjang, merasakan kehangatan di tangan Aldo. “Oke,” jawabnya pelan. “Gue percaya sama lo, tapi gue harap lo jujur kalau ada apa-apa.”
Mereka saling menatap sejenak, dan dalam diam itu, meskipun masih ada keraguan di hati Alia, dia memutuskan untuk memberikan Aldo kesempatan. Aldo, di sisi lain, merasa ada sesuatu yang lebih besar di balik kejadian ini, namun dia tidak bisa menebak apa itu.
Sementara itu, Rio merasa sangat puas dengan hasil rencananya. Meskipun Alia tidak langsung menjauhi Aldo, dia tahu bahwa benih keraguan sudah mulai tumbuh. Rio yakin, seiring berjalannya waktu, hubungan mereka akan mulai retak. Dia hanya perlu menunggu dan memanfaatkan setiap celah yang muncul.
Tapi Rio juga sadar bahwa ini baru permulaan. Dia butuh langkah yang lebih besar, sesuatu yang lebih dramatis untuk benar-benar memisahkan Aldo dan Alia. Rencananya belum selesai, dan dia tidak akan berhenti sampai dia berhasil mendapatkan apa yang dia inginkan.
Hari-hari berikutnya terasa canggung bagi Alia dan Aldo. Meski mereka mencoba bersikap normal, bayang-bayang kecurigaan itu selalu ada di antara mereka. Setiap kali Aldo menerima pesan atau telepon, Alia tak bisa menahan diri untuk tidak berpikir, apakah dia sedang berhubungan dengan orang lain? Dan setiap kali Aldo melihat Alia tampak cemas atau ragu, hatinya sakit, merasa dia tidak dipercaya sepenuhnya.
Di tengah ketidaknyamanan itu, Rio terus bergerak di belakang layar, mencari momen yang tepat untuk melancarkan serangan berikutnya. Ia mulai menyebarkan rumor halus di sekitar kampus tentang Aldo dan Nisa, memastikan bahwa kabar itu sampai ke telinga Alia. Seiring berjalannya waktu, rumor itu tumbuh menjadi gosip besar, dan semakin sulit bagi Alia untuk mengabaikannya.
Pada akhirnya, pertanyaan besar mulai muncul dalam benak Alia: Apakah dia benar-benar bisa mempercayai Aldo? Atau apakah pria itu, seperti yang dibilang Rio, menyembunyikan sesuatu?
Alia tahu, cepat atau lambat, dia harus membuat keputusan—apakah tetap bertahan dan percaya pada Aldo, atau membiarkan keraguan menghancurkan hubungan mereka. Tapi satu hal yang pasti: apapun yang terjadi, hidup mereka takkan pernah sama lagi.