Janetta, gadis empat puluh tahun, berkarier sebagai auditor di lembaga pemerintahan. Bertahan tetap single hingga usia empat puluh karena ditinggalkan kekasihnya yang ditentang oleh orang tua Janetta. Pekerjaan yang membawanya mengelilingi Indonesia, sehingga tanpa diduga bertemu kembali dengan mantah kekasihnya yang sudah duda dua kali dan memiliki anak. Pertemuan yang kemudian berlanjut menghadirkan banyak peristiwa tidak menyenangkan bagi Janetta. Mungkinkah cintanya akan bersemi kembali atau rekan kerja yang telah lama menginginkan Janetta yang menjadi pemilik hati Janetta?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Arneetha.Rya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Episode 18
Antonio tertawa melihatku.
Sehabis makan, Antonio bergerak cepat membereskan semua bungkusan dan memasukkan makanan yang belum kami sentuh ke lemari es yang ada di kamarku. Dia lalu duduk di kursi dan memandangku dengan tatapan yang membuatku berdesir. Hmm, ingin sekali aku segera mengusirnya dari kamar ini.
“Bagaimana perasaanmu ? Sudah enakan ?”tanyanya.
“Lumayan,”jawabku dengan tersenyum.
“Ya sudah, kamu istirahat ya. Kalau ada yang kamu perlu, hubungi saja aku.”kata Antonio sembari beranjak keluar dari kamar.
“Oke, selamat malam,”jawabku ikut beranjak mengantarnya keluar dari kamar.
“Selamat tidur ya, semoga tidurmu nyenyak,”tiba-tiba saja dia mencium keningku.
Aku terkejut dan sedikit mendorong tubuhnya. Antonio tidak kaget dan segera keluar dari kamar dengan senyuman. Segera kukunci pintu kamarku dan berbaring di tempat tidur. Aku kesal pada diriku sendiri mengapa membiarkan itu terjadi.
Tidurku nyenyak dan aku bangun dengan bugar. Aku selesai berbenah dan hendak berangkat ke kantor dengan waktu yang masih sangat pagi bagiku. Aku keluar kamar dan turun ke lantai bawah.
Di pantry bawah ada Antonio dengan kaus oblong ketat dan celana pendek serta tubuh berkeringat, yang tentu saja membuat duda beranak satu itu kelihatan seksi, sedang duduk di kursi sembari menuang air minum ke gelas.
"Pagi Neta, sudah rapi pagi ini. Ada meeting?”tanyanya dengan senyum.
Duh, tolong dong jantungku jangan berdebar seperti sedang jatuh cinta. Ingat Janetta, dia itu mantanmu, dan dia duda dengan anak satu. Jerit otakku kepada hatiku yang tidak berkompromi.
“Bukan meeting, tapi ada persiapan yang harus aku lakukan untuk briefing timku pagi ini. Aku duluan ya,”jawabku buru-buru ingin segera menghindar.
“Nggak sarapan dulu ?”tanya Antonio lagi membuat langkahku terhenti sejenak.
“Nggak deh, nanti aja. Bye,”jawabku sembari melambaikan tangan dan bergegas menuju parkiran mobil.
Kukemudikan mobil menuju kantor dengan hati yang runyam dan merutuki diri sendiri. Aku semakin tidak bisa mengendalikan perasaanku kepadanya. Ya, aku masih mencintainya dan sangat mencintainya. Namun otakku tidak setuju karena dia sudah jadi mantan, dia sudah menikah dua kali, dia juga sudah punya anak. Dia bukan Antonio yang dulu menjadi kekasihku. Tuhan, tolong aku memblokir perasaan ini.
Lampu merah di jalan membuat sesuatu terlintas di pikiranku. Aku harus meluangkan waktu untuk bersama Reyvan. Mungkin dengan menghabiskan waktu bersama Reyvan, perasaanku bisa netral kembali dan hasrat menggebu dalam dadaku dapat kuhentikan. Setidaknya Reyvan bisa menjadi penawar untuk meredam gejolak asmara yang keluar dari persembunyiannya di dasar hatiku yang terdalam.
Aku selesai briefing dengan anggota timku tepat pukul dua belas siang. Aku keluar dari ruangan menuju kantin kantor dan sudah janji dengan Reyvan untuk makan siang bersama. Sudah ada Reyvan di kantin dan aku pun duduk di hadapannya.
Reyvan sudah memesankan makanan pilihanku dan tak lama makanan kami pun datang. Kami makan dengan khusyuk karena sudah lapar dan sehabis istirahat siang ini, masing-masing kami sudah ada jadwal konseling dengan klien.
Sebelum balik ke ruangan, aku mengajak Reyvan untuk makan malam di mall terdekat, dengan alasan ingin mentraktirnya karena sudah membuat Reyvan khawatir di akhir pekan kemarin dengan mematikan ponselku. Reyvan tertawa bersemangat dan langsung menyetujui ajakanku dengan syarat dia yang memilih tempat makannya. Aku mengiyakan dan kami berjanji langsung bertemu di lokasi karena masing-masing kami bawa kendaraan.
Aku keluar kantor pukul tujuh malam. Sekilas kulihat ponselku, ada pesan dari Antonio, namun kuabaikan. Kuhubungi Reyvan, dan ternyata dia sudah tiba di restoran tempat kami janji bertemu. Aku segera meluncur dan ketika aku tiba, makanan sudah tersedia di meja.
Kami menikmati makanan dengan santai dan berbincang ringan sembari menertawakan hal-hal konyol. Bersama Reyvan aku tidak memikirkan Antonio, dan itu melegakan bagiku. Sepertinya perasaanku hanya sesaat saja. Mudah-mudahan begitu.
Aku sampai di kost pukul sepuluh malam dengan harapan Antonio sudah beristirahat di kamarnya. Telepon dan pesannya sengaja kuabaikan. Yah, walaupun dia hanya menanyakan keadaanku dalam pesannya. Pantry lantai satu sepi, aku menaiki tangga dengan langkah diatur agar sepatuku tidak menimbulkan suara.
Namun apa daya, di ruang santai lantai dua yang harus kulewati menuju kamarku, kulihat sosok yang ingin kuhindari sedang membaca buku dengan sebuah bir kaleng di hadapannya. Sial..
“Malam, An”sapaku sok ramah.
“Baru pulang, Neta? Lembur?”tanyanya seolah dia adalah ayahku yang sedang menunggu anak gadisnya.
“Hehe, iya, tadi makan malam dulu sama teman,”jawabku.
“Aku masuk dulu ya, An”kataku berusaha menghindari Antonio.
“Neta, aku tunggu di kamarku ya, ada yang aku ingin obrolin sama kamu,”katanya sembari berdiri dari duduknya.
“Apa tidak bisa lain hari aja, aku sedikit lelah, An,”tolakku.
“Kamu tidak sedang menghindari aku ‘kan ?”tanyanya dengan tatapan mata yang membuat jantungku berdebar kencang.
“Mengapa aku harus menghindarimu ? Nggak koq, aku cuma pengen istirahat.”ucapku berusaha bersikap biasanya, namun hatiku menjerit mendengar penolakanku.
“Oke, baiklah. Kamu istirahat ya, tapi besok bisa ya kita ngobrol sebentar,”ucap Antonio dan mendekat padaku.
Aku mengangguk dan melihatnya mendekatiku, spontan membuatku berbalik menuju arah kamarku. Sayangnya spontanitas membuat kakiku bergerak tidak sinkron, akibatnya aku nyaris terjatuh dan yah persendian kakiku keseleo akibat sepatu high heels yang kupakai.
Kalau saja Antonio tidak bergerak sigap menopang tubuhku, aku sudah jatuh terjerembab di lantai. Aku menjerit dan melingkarkan tanganku ke leher Antonio yang padat. Kedua tangan Antonio melingkar di tubuhku untuk menopangku agar tidak terjatuh. Layaknya scene di sinetron, kami saling bertatapan dengan wajah yang sangat berdekatan. Aku tergagap dan berusaha berdiri, namun sayangnya kaki kananku yang keseleo terasa sangat sakit. Aku meringis dan akhirnya tetap bertopang pada tubuh Antonio.
“Hati-hati, Neta. Biar kuantarkan ke kamar,”