Naina dijual ibu tirinya untuk menikah dengan pria yang tersohor karena kekayaan dan buruk rupanya, juga menjadi pemegang rekor tertinggi karena setiap tahunnya selalu menikahi ratusan wanita. Selain itu, Minos dikenal sebagai psikopat kejam.
Setiap wanita yang dinikahi, kurang dari 24 jam dikabarkan mati tanpa memiliki penyebab kematian yang jelas. Konon katanya para wanita yang dinikahi sengaja dijadikan tumbal, sebab digadang-gadang Minos bersekutu dengan Iblis untuk mendapatkan kehidupan yang abadi.
“Jangan bunuh aku, Tuan. Aku rela melakukan apa saja agar kau mengizinkanku untuk tetap tinggal di sini.”
“Kalau begitu lepas semua pakaianmu di sini. Di depanku!”
“Maaf, Tuan?”
“Kenapa? Bukankah kita ini suami istri?”
Bercinta dengan pria bertubuh monster mengerikan? Ugh, itu hal tergila yang tak pernah dibayangkan oleh Naina.
“... Karena baik hati, aku beri kau pilihan lain. Berlari dari kastil ini tanpa kaki atau kau akhiri sendiri nyawamu dengan tangan di pedangku?”
***
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Piscisirius, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16 - Di luar Dugaan
Tuan Minos sudah berulang kali berjalan mondar-mandir di tempat. Wajahnya dipenuhi raut kebingungan. Sesekali juga ia mengecek bola sihirnya, jantungnya semakin berpacu kencang tatkala melihat Naina sudah bangun dari tidurnya.
Tapi sedetik kemudian ia menepis semua pikiran yang hinggap dalam benaknya. Berusaha bersikap masa bodo, toh sejak awal memang ini sudah menjadi keputusan atas rencana yang sudah dipilih.
Melihat Naina yang merenung dengan tatapan kosong, satu dua bulir air mata mulai menghiasi pipi gadis itu. Tuan Minos semakin yakin perubahan akan terlihat setelah ini, Naina pasti akan bersikap berbeda dan bisa saja melakukan pemberontakan.
“Hei, Tora.” Tuan Minos menoleh ke samping. Menatap gagak dengan wajah mengantuk, menemplok pada sofa lusuh.
“Mau bertaruh?” Tiba-tiba saja Tuan Minos melontarkan pertanyaan tersebut, tentunya hal itu membuat Tora mengerjap-ngerjap. Kantuk yang melanda mendadak sirna.
“Bertaruh untuk apa, Tuan?” Tora memiringkan kepalanya, menggambarkan mimik penuh tanda tanya.
Tuan Minos berkacak pinggang setelah menyugar rambutnya, membuat tudung kepalanya merosot ke belakang. “Tentu saja untuk gadis itu. Menurutmu setelah aku menggempurnya semalaman, bagaimana reaksinya? Aku yakin dia mengingat semua sentuhan itu. Pastinya banyak pertanyaan mengundang rasa benci yang sedang menggerogoti isi kepalanya.”
Tora diam sebentar untuk berpikir. Tapi ia tidak punya dugaan apapun untuk menebak akan seperti apa reaksi Naina setelah melewati malam panjang bersama Tuan Minos.
“Melihat reaksinya yang begitu, aku merasa sepanjang hari dan seterusnya dia akan memasang wajah datar atau mungkin enggan keluar dari kamar. Dia akan terus menangis, menolak bicara denganku. Jikapun aku memaksa, bisa saja dia lebih baik mati daripada hidup bersama monster mengerikan sepertiku,” papar Tuan Minos penuh keyakinan, merasa terkaannya tidak akan meleset.
Di balik dugaannya barusan, tetap saja intonasi bicaranya terdengar menyelipkan sebuah perasaan cemas dan sedih. Entah karena apa yang sudah diperbuat, atau mungkin karena menyadari kondisinya yang membuatnya sulit untuk percaya diri.
Kepala Tora angguk-angguk, tapi ia merasa tidak setuju dengan pernyataan tersebut. “Mungkin bisa saja begitu, Tuan. Tapi melihat Naina yang begitu gigih selama ini, aku yakin dia pasti bisa beradaptasi dengan semua perasaan itu. Dia gadis yang tangguh, sudah kubilang kehidupan sebelumnya dia juga diterpa badai. Tapi dia berhasil melewatinya dengan baik. Dan sekarang kita lihat, kali ini, sejauh mana dia akan bertahan.”
“Tapi aku tidak yakin jika dia akan bertahan.” Tuan Minos membuang muka ke samping, masih belum percaya jika ada perempuan yang mau membersamai dalam kondisi seperti ini.
Tora geleng-geleng kepala sembari mengeluarkan hembusan napas berat. Tidak mengerti apa sebenarnya isi pikiran Tuannya itu.
“Lalu, sebenarnya apa yang diinginkan, Tuan? Apakah dengan Naina marah dan memberontak lantas memilih untuk mati menjadi tolak ukur kepuasanmu, Tuan?”
Mendengar pertanyaan itu, Tuan Minos menggeleng dengan cepat. “Bukan. Bukan itu maksudku ... Tapi, ah, sudahlah.” Tubuhnya berbalik, meninggalkan ruangan dengan Tora yang masih bergeming di tempat.
Tora menggedik bahu, kemudian bergumam tanpa suara, “Sulit dimengerti. Padahal ketimbang membuat neraka bagi gadis itu, kenapa tidak memperlakukannya dengan baik agar semuanya cepat segera bisa terjawab?”
***
Di suatu malam gulita sebab sang rembulan malu-malu untuk unjuk diri, bersembunyi dibalik awan kelabu. Keheningan menyergap beriringan dengan angin dingin yang berhembus.
Suasana dingin dalam keheningan tetap membuat api berwarna biru di tengah-tengah ruangan yang dibiarkan menyala bergemerutuk, percikan-percikannya mengudara. Mengisi kesunyian.
Seorang gadis berwajah lugu disuruh mengelilingi api unggun sebanyak 20 kali. Beberapa orang berdiri melingkar, tubuh mereka terhubung melalui selendang yang mengikat, tangan mereka pun bergandengan.
Dengan mata yang terpejam, mulut mereka berkomat-kamit merapalkan sebuah mantra. Bisik-bisiknya membuat gadis yang masih setia berjalan mengelilingi api unggun hanya bisa membisu dengan tatapan kebingungan.
“Apa yang sedang dilakukan mereka? Kenapa aku harus ikut dalam ritual aneh seperti ini?” batinnya terus bertanya-tanya, tapi satu jawaban pun tak didapatkan.
Hingga tiba di putaran terakhir, bisikan mantra aneh mereka mulai melemah dan perlahan berhenti mengoceh, detik itu juga api unggun di tengah-tengah mereka mendadak lenyap tanpa sebab. Menyisakan asap yang menyebar ke seluruh ruangan, menggumpal di langit-langit ruangan.
Beberapa orang dari mereka terbatuk, termasuk Naina sendiri. Dan Naina kembali fokus sesaat setelah mendengar derap langkah seseorang yang mendekat padanya dari arah belakang.
Seorang wanita tua dengan rambut setengah beruban yang dicepol perlahan mendatanginya. Kepalanya mencondong, kemudian berbicara seraya memandangi lamat-lamat, “Selamat, Naina. Mulai malam ini kau sudah resmi menjadi seorang istri.”
Mendengar kalimat tersebut, Naina tentunya bingung setengah mati. Sebelumnya Helena, ibu tiri Naina, tidak berkata akan melakukan hal seperti itu. Hanya sebatas meminta untuk ikut serta dalam ritual tanpa pernah berkata akan mengadakan hal semacam ini.
Sambil mengarahkan telunjuknya pada dadanya sendiri, mulut Naina megap-megap berusaha bertanya, “A-aku? Menjadi seorang istri?”
Helaan napas tertahan di kerongkongan, dadanya berdentum sesak. Bola mata Naina bergulir gelisah, tapi ibu tirinya masih belum memberi penjelasan.
“Bagaimana mungkin, Bu?” Tangannya memegangi ujung baju wanita tua tersebut, mendesaknya untuk menjelaskan lebih detail. “Aku menjadi istri dari siapa? Kenapa ini begitu tiba-tiba?”
Tangan Naina semakin mencengkram kuat ujung baju ibu tirinya, membuat wanita itu merasa risih lalu dengan kasar menepisnya. Tak nyaman disodori banyak pertanyaan, terasa panas di kuping.
“Ah, sudahlah! Kenapa kau bawel sekali?!” Helena berkacak pinggang, kedua alisnya bertaut. Mengerung.
“Besok kau akan pergi ke rumah suamimu. Dan ritual barusan adalah pernikahan jarak jauh sesuai permintaan dari Tuan Minos, pria yang menjadi suamimu,” tambahnya, sukses membuat Naina membulatkan matanya karena terkejut.
“Tu-tuan Minos?” Naina tidak berkedip, pandangannya berganti dengan gambaran dalam isi pikirannya sendiri mengenai pria tersebut.
Semua orang di desa maupun di luar desa pasti tahu siapa Tuan Minos. Rekam jejaknya yang mengerikan, dibumbui oleh rumor-rumor yang tersebar hingga ke beberapa penjuru. Mengingat hal tersebut, Naina merinding sebadan-badan.
Salah seorang gadis yang sejak tadi diam, mendadak maju sejajar dengan sang ibu. Alin— saudara tiri Naina. Dari raut wajahnya seperti ada yang ingin disampaikannya.
“Kenapa? Kau mau menolak? Surat undangan datang ke rumah ini. Pria psikopat yang sudah menjadi suamimu itu meminta perempuan lajang untuk dijadikan istri. Apa pilihan kami untuk menjadikanmu sebagai istrinya adalah sebuah kesalahan?” cerocos Alin dalam satu tarikan napas, cara bicaranya persis seperti ibunya.
Satu gadis lagi ikut menimbrung, bergabung dengan ibu dan saudara kembarnya. Elin namanya, gadis berambut panjang lurus identik dengan tahi lalat di bawah mata sebelah kiri. Itu yang membedakan dirinya dengan Alin.
“Ini sudah saatnya kau angkat kaki dari rumah ini. Meskipun memang kau selalu melakukan pekerjaan dengan baik, tapi kau tidak bisa selamanya tinggal di sini. Sudah cukup kami menampung kau selama ini. Jadi pergi dan tinggal-lah bersama suamimu itu!” Elin menambahi, membuat suasana semakin memanas.
Naina menunduk dalam-dalam, kedua tangannya bertaut gelisah. “Tapi... Bagaimana...”
“Tidak ada tapi-tapi!” serobot Helena, enggan mendengar penolakan. “Percuma kau mau protes bagaimanapun, kau sudah menjadi istri dari Tuan Minos. Berkemaslah! Besok pagi aku yang akan mengantarmu ke sana.”
Semuanya berawal dari sana. Naina tidak pernah memiliki kesempatan untuk memilih sebuah keputusan. Tidak pernah juga diberi hak untuk melakukan suatu hal atas kemauan sendiri.
Selama ini Naina terkurung, terkekang dalam lingkaran nestapa yang ia pikir tidak akan pernah memiliki ujung. Dan Naina juga sempat mengira bahwa kehidupan setelah menikah akan lebih buruk, hanya ada penderitaan yang dibalut tangisan.
Naina tidak akan menyangkal dugaan itu sepenuhnya. Setidaknya hidup berdampingan dengan Tuan Minos dirinya masih diberi harapan, sekalipun jika itu hanya sebuah harapan semu. Setidaknya masih ada sebuah misteri yang mungkin saja menjadi pembuka gerbang kebahagiaan.
Ya, setidaknya itu yang dipahami Naina dari penjelasan Tora sebelumnya.
“Kenapa aku harus menangis atas rasa sakit yang sudah menjadi makananku sehari-hari?” Naina menyusut air mata yang masih berjatuhan di pipi. “Aku hanya belum terbiasa. Anggap saja aku sedang mengabdikan diriku padanya sepenuhnya. Masih diizinkan bernapas sampai detik ini saja seharusnya aku bersyukur,” tambahnya masih dalam gumaman.
Beranjak dari kasur dengan hati-hati dan meringis pelan, Naina bersiap untuk melakukan rutinitas hariannya. Pergi ke dapur untuk membuat sarapan dan kembali berkutat dengan pekerjaan rumah lainnya. Masih banyak ruangan yang perlu dibersihkan.
“Aku tidak tahu kalau rasanya akan sesakit ini.” Naina memejamkan mata, menggigit bibir sambil meringis, merasakan nyeri di area selangkangan. Membuatnya sulit untuk berjalan normal.
Kendati begitu, Naina tetap ingin berkeliaran di luar kamar. Sebelum menuruni tangga dan menuju dapur, Naina berpikir untuk menemui Tuan Minos terlebih dahulu.
Naina berniat bertanya perihal menu sarapan pagi ini. Karena ia tidak tahu dan bingung harus memasak apa. Jika memasak dengan menu yang sama seperti sebelumnya, bisa saja pria itu protes nantinya.
“Tuan? Boleh aku masuk?” Naina bertanya setelah mengetuk pintu, telinganya nyaris bersentuhan dengan pintu agar bisa mendengar suara pria itu di dalam sana.
Selang beberapa detik kemudian, Naina langsung mengerutkan kening ketika mendengar suara aneh dari balik pintu. Seperti suara barang yang berjatuhan atau mungkin pria itu yang terjatuh? Naina tidak tahu, tapi rasa cemas menyelimutinya.
“Apa Tuan baik-baik saja?”
Sementara Naina masih sibuk menerka ada apa di dalam sana, Tuan Minos sedang berusaha berlaga untuk tidak menunjukkan rasa terkejutnya. Ia tidak tahu kalau gadis itu tiba-tiba datang dan mengetuk pintu. Karena terakhir kali melihat di bola sihir, Naina sedang meringkuk sambil sesegukan.
Tuan Minos melirik pada Tora, gagak itu menggedikkan bahu. Tidak punya jawaban atau terkaan mengenai alasan kedatangan gadis tersebut.
Tapi Tuan Minos sudah kalap duluan. Seperti seorang buronan yang akhirnya tertangkap basah oleh polisi di tempat persembunyiannya. Pikirannya sudah melambung ke mana-mana. Dan dugaan sebelumnya nampaknya mulai mendominasi pikirannya kembali.
“Tuan? Apa kau bisa mendengarku?” Naina bertanya sembari mengetuk pintu, berharap mendapat sahutan.
Mengembuskan napas panjang, Tuan Minos pun akhirnya membuka pintu sambil memasang ekspresi andalannya. Datar tanpa ekspresi. Pandangannya langsung mendarat pada gadis berwajah pucat dihadapannya.
“Ah, Tuan.” Naina tersenyum kikuk. Mendadak merasakan debaran dalam dada, kalut berhadapan dengan sosok menjulang tinggi. “Sebelumnya aku minta maaf karena aku terlambat bangun. Tapi aku berusaha untuk mempersiapkan sarapan pagi ini lebih cepat. Jadi, untuk sarapan pagi ini, Tuan mau dibuatkan apa?”
Di luar ekspektasi, Tuan Minos berpikir gadis itu akan melontarkan segudang pertanyaan dan pastinya menuntut penjelasan. Tapi ternyata Naina sama sekali tidak membahas kejadian malam tadi. Gadis itu berlaga seolah tidak terjadi apa-apa, padahal dalam kamar dia menangis bersedu sedan.
“Tuan?” Naina sedikit memiringkan kepala sambil membentang senyum, tubuhnya agak Mencondong. Bingung kenapa Tuan Minos hanya diam dengan tatapan kosong.
Mengedipkan mata berulang kali, Tuan Minos langsung membuang muka. “Buatkan apa saja! Asalkan ada ikan di meja makan.”
Tanpa menunggu jawaban dari Naina, Tuan Minos lantas menutup pintu. Kemudian menyandarkan punggungnya, kini dirinya yang dirundung banyak pertanyaan.
“Kenapa dia menutupi semuanya dengan senyuman bodoh macam itu?” gumam Tuan Minos seraya mengusap wajah rusaknya, lalu mengeluarkan napas berat.
Tora memicingkan mata, kemudian bicara, “Dia sedang membiasakan diri dengan keadaan, Tuan. Aku yakin dia gadis yang penurut dia menaati seluruh larangan dan perintah yang ada. Entah merasa terpaksa atau bukan dia masih mau berada di sini, setidaknya yang dilakukannya sampai detik ini sedikitnya bisa mematahkan dugaanmu, 'kan, Tuan?”
Lagi, Tuan Minos kehilangan percaya atas ekspektasi yang dibuatnya sendiri. Prediksi Naina dalam bayangannya selalu meleset.
***