Kumpulan Cerita Pendek Kalo Kalian Suka Sama Cerpen/Short Silahkan di Baca.
kumpulan cerita pendek yang menggambarkan berbagai aspek kehidupan manusia dari momen-momen kecil yang menyentuh hingga peristiwa besar yang mengguncang jiwa. Setiap cerita mengajak pembaca menyelami perasaan tokoh-tokohnya, mulai dari kebahagiaan yang sederhana, dilema moral, hingga pencarian makna dalam kesendirian. Dengan latar yang beragam, dari desa yang tenang hingga hiruk-pikuk kota besar, kumpulan ini menawarkan refleksi mendalam tentang cinta, kehilangan, harapan, dan kebebasan. Melalui narasi yang indah dan menyentuh, pembaca diajak untuk menemukan sisi-sisi baru dari kehidupan yang mungkin selama ini terlewatkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Elfwondz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Di Balik Meja CEO.
Ruangan itu sunyi, hanya denting jam dinding dan bunyi ketukan sepatu beradu dengan lantai marmer yang menggema. Di balik meja CEO yang megah, duduk seorang pria berusia empat puluhan dengan tatapan kosong menatap jendela besar yang menghadap ke kota. Budi Santoso, CEO perusahaan teknologi terbesar di Asia Tenggara, duduk di kursinya yang terbuat dari kulit hitam. Wajahnya pucat, tangan kirinya menggenggam pena dengan keras, sementara di depannya, laporan keuangan terbaru berserakan.
Namun bukan angka-angka dalam laporan itu yang membuatnya tegang. Sesuatu yang lebih dalam menghantui pikirannya.
Tiba-tiba pintu ruangan terbuka. Bayu, tangan kanan sekaligus kepala keamanan perusahaan, masuk dengan langkah tergesa-gesa. Ia mengunci pintu di belakangnya, menyisakan sedikit desis yang mengingatkan Budi pada malam-malam panjang tanpa tidur.
"Pak Budi," kata Bayu dengan nada rendah. "Saya sudah periksa seluruh gedung. Tidak ada yang mencurigakan."
Budi mendesah, meletakkan penanya, dan menatap Bayu. "Kamu yakin?"
Bayu mengangguk. "Kami sudah melakukan penyelidikan internal seperti yang Bapak minta. Hasilnya nihil. Tapi, kita tetap harus berhati-hati."
Budi bangkit dari kursinya, beranjak ke jendela besar. Dari sana, ia bisa melihat hiruk-pikuk kota Jakarta yang tak pernah tidur. Namun, di balik pemandangan itu, ada sesuatu yang mengganggu. Sesuatu yang hanya dia ketahui. “Saya rasa kita sudah terlambat,” gumamnya, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Bayu.
Bayu mengerutkan kening. "Terlambat? Maksud Bapak?"
"Selama ini saya merasa ada yang tidak beres di sini," Budi berbalik, menatap Bayu dengan sorot mata yang penuh tekanan. "Seseorang mengawasi setiap langkah kita, setiap keputusan yang kita buat. Aku tidak tahu siapa, tapi dia sudah terlalu dekat."
"Ini soal pesan-pesan anonim itu?" Bayu bertanya hati-hati. "Atau soal kebocoran data kemarin?"
Budi menggeleng. "Ini lebih dari sekadar kebocoran data. Ada sesuatu yang lebih besar dari itu, Bayu. Dan aku tidak yakin siapa yang bisa dipercaya."
Bayu menatap lurus ke arah Budi, seolah mencoba meresapi situasi ini. Sebagai kepala keamanan, ia sudah terbiasa menghadapi berbagai ancaman, baik dari luar maupun dalam. Namun, kali ini ancaman yang mereka hadapi terasa jauh lebih samar, seperti bayangan yang mengintai dari sudut mata.
"Jadi, apa langkah kita selanjutnya, Pak?" tanya Bayu.
Budi tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia kembali duduk di kursinya, membuka salah satu laci meja, dan mengeluarkan sebuah amplop cokelat yang terlihat lusuh. Dengan tangan gemetar, ia menyerahkan amplop itu kepada Bayu.
"Buka ini," kata Budi.
Bayu membuka amplop itu perlahan, mendapati beberapa lembar foto di dalamnya. Wajahnya segera berubah ketika melihat isi foto-foto tersebut. Foto-foto Budi sedang berada di lokasi-lokasi tertentu—restoran, rumah pribadi, bahkan kantornya sendiri—diambil dari sudut-sudut yang tampaknya tersembunyi.
"Ini...," Bayu terdiam sejenak. "Ini pengintaian."
Budi mengangguk. "Sudah berbulan-bulan. Mungkin lebih lama lagi. Aku tidak tahu seberapa jauh mereka bisa masuk ke dalam kehidupan pribadiku."
Bayu menggelengkan kepala, lalu membalikkan beberapa foto lainnya. Salah satu foto yang menarik perhatiannya adalah gambar Budi bersama seorang wanita muda yang tidak ia kenali. Ia segera menatap Budi dengan pertanyaan di matanya.
"Itu... Diana," Budi berkata pelan, suaranya bergetar. "Asisten pribadiku yang baru."
Bayu mengernyit. "Anda pikir dia terlibat?"
Budi terdiam, namun sorot matanya menjawab pertanyaan itu. "Aku tidak tahu, Bayu. Tapi sejak dia masuk ke perusahaan, banyak hal aneh mulai terjadi. Kebocoran data, dokumen yang hilang, dan... pesan-pesan anonim itu mulai berdatangan."
Bayu menatap tajam foto Diana. Wanita muda dengan rambut hitam panjang, senyum manis yang terlihat polos, namun di balik itu, Bayu bisa merasakan ada sesuatu yang tersembunyi. Instingnya sebagai kepala keamanan mengatakan ada sesuatu yang salah.
"Besok pagi, bawa dia ke sini," perintah Budi. "Aku ingin tahu apa yang dia sembunyikan."
Bayu mengangguk tanpa berkata apa-apa, lalu meninggalkan ruangan dengan pikiran yang dipenuhi tanda tanya. Apakah Diana benar-benar terlibat dalam konspirasi ini? Atau ada pihak lain yang beroperasi di balik layar?
Keesokan harinya, Bayu kembali dengan Diana. Wanita itu tampak tenang, bahkan tersenyum saat memasuki ruangan Budi. Namun, ada sesuatu di balik senyumnya yang membuat suasana semakin tegang.
"Pak Budi, Anda ingin bertemu saya?" tanyanya dengan suara lembut.
Budi menatapnya dari balik meja. "Duduklah, Diana."
Diana duduk di kursi di hadapan Budi, sementara Bayu berdiri di dekat pintu, matanya tak lepas dari gerak-gerik wanita itu.
"Kamu tahu kenapa aku memanggilmu ke sini?" tanya Budi.
Diana menggeleng, matanya tampak jujur. "Saya tidak tahu, Pak."
Budi membuka amplop cokelat yang semalam ia tunjukkan pada Bayu, lalu meletakkan beberapa foto di meja. Diana melihat foto-foto itu sejenak, wajahnya tetap tenang, meski ada sedikit kilatan kebingungan di matanya.
"Kamu tahu apa ini?" tanya Budi.
Diana mengamati foto-foto itu lebih lama, lalu menggeleng pelan. "Tidak, Pak. Saya tidak tahu apa-apa tentang ini."
"Kamu yakin?" Budi menyipitkan matanya, mencoba menangkap kebohongan di balik ekspresi Diana. "Karena sejak kamu masuk ke perusahaan ini, banyak hal aneh terjadi. Data hilang, kebocoran informasi, dan sekarang pengintaian ini."
Diana terdiam sejenak, menundukkan kepala sebelum akhirnya menatap langsung ke arah Budi. "Pak Budi, saya tidak tahu apa yang sedang terjadi. Saya hanya melakukan pekerjaan saya sesuai instruksi."
Budi menghela napas berat. "Kamu tahu, Diana, aku ingin percaya padamu. Tapi semua ini terlalu kebetulan."
Namun sebelum Budi bisa melanjutkan ucapannya, tiba-tiba ruangan terasa bergetar. Suara ledakan terdengar dari lantai bawah, dan alaram gedung mulai meraung. Bayu segera meraih ponsel dan berkomunikasi dengan tim keamanan, wajahnya berubah tegang.
"Bapak, kita harus keluar dari sini sekarang," seru Bayu.
Namun sebelum mereka bisa bergerak, pintu ruangan terbuka dengan keras, dan beberapa pria bersenjata masuk, mengenakan masker hitam.
"Jangan bergerak!" salah satu dari mereka berteriak, menodongkan senjatanya ke arah Budi.
Suasana berubah kacau. Diana terlihat shock, tubuhnya gemetar. Bayu segera berdiri di depan Budi, melindunginya.
"Siapa kalian?" Bayu berteriak, meski ia tahu jawaban itu mungkin tak akan datang.
Salah satu pria bersenjata melangkah maju, menodongkan pistol ke kepala Budi. "Kami di sini untuk menyelesaikan pekerjaan. Sudah waktunya Bapak CEO ini membayar."
Budi menatap lurus ke arah pria itu, wajahnya pucat, namun matanya penuh keberanian. "Siapa yang mengirim kalian?"
Pria itu tertawa pendek. "Anda akan tahu segera."
Dalam sekejap, Diana berdiri dari tempat duduknya dan bergerak ke arah Budi, namun bukan untuk menyerang atau melawan, melainkan untuk melindungi. Wanita muda itu berdiri di antara Budi dan pria bersenjata, membuat semua orang terkejut.
"Jangan lakukan ini!" teriak Diana. "Ini bukan cara yang benar!"
Para pria bersenjata tampak kebingungan. Salah satu dari mereka memberi isyarat untuk menurunkan senjata mereka, namun yang lain tetap waspada.
"Ada yang tidak beres," bisik Bayu pada Budi.
Tiba-tiba, Diana mengeluarkan sebuah alat kecil dari sakunya, menekannya, dan seketika lampu di ruangan itu padam. Asap putih tebal menyebar, membutakan pandangan semua orang.
"Kita harus pergi sekarang!" Diana berteriak sambil menarik tangan Budi.
Bayu, meski terkejut, segera bereaksi. Mereka bertiga berlari ke pintu darurat di sisi ruangan, meninggalkan para pria bersenjata yang kini terperangkap dalam kekacauan.
Di balik layar, permainan berbahaya sedang dimainkan. Siapa Diana sebenarnya? Dan siapa yang berusaha menjatuhkan Budi dari posisinya? Terlalu banyak pertanyaan yang belum terjawab, namun satu hal