cerita sampingan "Beginning and End", cerita dimulai dengan Kei dan Reina, pasangan berusia 19 tahun, yang menghabiskan waktu bersama di taman Grenery. Taman ini dipenuhi dengan pepohonan hijau dan bunga-bunga berwarna cerah, menciptakan suasana yang tenang namun penuh harapan. Momen ini sangat berarti bagi Kei, karena Reina baru saja menerima kabar bahwa dia akan pindah ke Osaka, jauh dari tempat mereka tinggal.
Saat mereka duduk di bangku taman, menikmati keindahan alam dan mengingat kenangan-kenangan indah yang telah mereka bagi, suasana tiba-tiba berubah. Pandangan mereka menjadi gelap, dan mereka dikelilingi oleh cahaya misterius berwarna ungu dan emas. Cahaya ini tampak hidup dan berbicara, membawa pesan yang tidak hanya akan mengubah hidup Kei dan Reina, tetapi juga menguji ikatan persahabatan mereka.
Pesan dari cahaya tersebut mungkin berkisar pada tema perubahan, perpisahan, dan harapan...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon raffa zahran dio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 23 : Kejadian terulang kembali.
Angin berdesir kencang menerpa daun-daun kering di Taman Grenerry, menciptakan alunan musik yang sayup-sayup namun menusuk. Bau tanah kering yang menyengat memenuhi hidung Hanna dan Kenzi saat mereka tiba di gerbang taman yang sunyi senyap, tak seorang pun terlihat di sana. Mereka melangkah masuk, bayangan masa lalu membayangi langkah kaki mereka.
"Aku merindukan mereka berdua di sini," bisik Hanna, suaranya bergetar menahan haru. Matanya berkaca-kaca, mengingat momen Kei menyatakan cinta pada Reina di taman ini. Kenangan itu terasa begitu nyata, begitu menyayat.
"Ya," sahut Kenzi, suaranya berat, diiringi helaan napas panjang. Ia menatap sekeliling, mata tajamnya menyapu setiap sudut taman yang terasa begitu sunyi dan hampa. Mereka berjalan menuju tempat Kei dan Reina pertama kali jadian, langkah kaki mereka seolah menari di atas kenangan.
"Kamu masih ingat, kita bersembunyi di belakang patung—" Hanna memulai, senyum tipis mengembang di bibirnya, namun senyum itu memudar secepat kilat. Ia terkesiap, matanya melebar tak percaya. Patung monumen yang dulu berdiri megah di tempat itu telah hilang, digantikan oleh sebuah pondok kayu kecil yang tampak usang dan terbengkalai. Wajah Hanna langsung pucat pasi.
Kenzi memperhatikan Hanna dengan cemas. "Ada apa, Hanna?" tanyanya, suaranya dipenuhi kekhawatiran.
"Sayang... lihat," Hanna menunjuk ke arah pondok kayu itu, suaranya gemetar. Kenzi mengikuti arah pandangannya, dan ekspresi wajahnya langsung berubah. Wajahnya menegang, keringat dingin mulai membasahi dahinya.
"Apa... perasaan ku, dulu kita di belakang patung monumen... tapi kenapa...?" Kenzi memegang kepalanya, mencoba mengingat-ingat. Pikirannya berputar-putar, mencari jawaban atas misteri yang tiba-tiba muncul di hadapannya.
"Apa mungkin... Kei dan Reina menghilang karena ini...?" gumam Hanna, matanya terpaku pada pondok kayu itu. Ia ingin segera mendekatinya, namun Kenzi menahan tangannya.
"Jangan ke sana," pinta Kenzi, suaranya tegas namun dipenuhi kekhawatiran. "Lebih baik kita telepon polisi. Kita tidak boleh bertindak gegabah." Kenzi menggenggam tangan Hanna erat-erat, takut akan terjadi sesuatu yang buruk.
Hanna menatap Kenzi, matanya berkaca-kaca. "Aku tidak mau kehilangan kesempatan ini," katanya, suaranya bergetar. Dengan tenaga penuh, ia melepaskan genggaman tangan Kenzi dan berlari menuju pondok kayu itu.
"Hanna!!" teriak Kenzi, ia berlari mengejar Hanna. Namun Hanna sudah sampai di pondok itu. Kenzi menyusulnya, napasnya tersengal-sengal.
"Kenzi... lihat ini," Hanna menunjuk ke lantai pondok. Ia mengangkat sebuah anting kecil yang berkilauan redup. "Ini... ini anting Reina..." Tiba-tiba, Hanna merasakan sakit kepala yang luar biasa. Dunia berputar, penglihatannya kabur.
Kenzi menangkap Hanna yang hampir terjatuh. "Ada... apa ini... Hanna, kau bisa mendengar ku?" Kenzi panik melihat Hanna pingsan di pelukannya. Namun, ia pun merasakan sakit kepala yang sama hebatnya. "Kepalaku... sa...kit..." Mereka berdua jatuh pingsan di dalam pondok kayu itu.
Hanna terbangun dengan kepala yang masih berdenyut hebat. Ia mendongak, matanya membulat tak percaya. Ia berada di sebuah ruangan kastil yang megah, dipenuhi perabotan antik dan ukiran-ukiran rumit. Kenzi masih tertidur di sampingnya. Ia mencoba berdiri, namun tubuhnya terasa lemah, ia pun merangkak mendekati Kenzi.
"Kenzi... bangun... ayo bangun..." bisik Hanna, suaranya lemah. Kenzi terbangun, memegangi keningnya.
"Kepalaku masih sakit..." Kenzi melihat sekeliling, wajahnya dipenuhi keterkejutan.
"Tempat apa ini? Di mana kita sekarang?" tanya Kenzi, suaranya berat.
"Aku juga tidak tahu, sayang," jawab Hanna, kebingungan. Tiba-tiba, suara samar terdengar, bergema di ruangan kastil itu.
"Selamat datang di Kastil Tuan Ashura dan Dewi Ashinamaru..."
"Siapa itu?!" seru Kenzi, wajahnya serius.
Cahaya merah dan biru muda turun dari langit-langit kastil, membuat Hanna dan Kenzi tersentak ketakutan.
"Siapa kalian?! Di mana Kei dan Reina?!" bentak Hanna, emosinya memuncak.
"Oh, jadi kalian teman Tuan Hikari Kei dan Hasane Reina. Kami beruntung bisa membawa kalian ke sini," kata cahaya biru muda, suaranya lembut seperti suara seorang gadis.
Kenzi tercengang. "Di mana teman-temanku sekarang? Hei, kau cahaya merah, di mana mereka?!" Kenzi menunjuk ke arah cahaya merah, amarahnya meledak.
"Mereka baik-baik saja, di dunia tahun 192 sebelum Masehi..." jawab cahaya merah, suaranya berat seperti suara seorang pria.
Hanna terperanjat, amarah membuncah dalam dadanya. "Apa maksud kalian?! Kalian pikir kami akan percaya dengan omong kosong itu?!" Suaranya menggema, penuh ancaman. Ia menatap tajam kedua entitas cahaya itu, rasa tidak percaya dan kemarahan bercampur aduk dalam dirinya.
Cahaya biru muda menampilkan sebuah pemandangan: Kei dan Reina dalam sebuah rumah kayu sederhana, bersama Lu Bu, Lu Lingqi, Zhang Liao, dan Chen Gong. Wajah Kei dan Reina terlihat sangat tertekan, menambah bara kemarahan Hanna. "Mengapa wajah mereka begitu tertekan?! Dan siapa mereka yang bersama Kei dan Reina?!" Suaranya meninggi, emosi tak terbendung.
"Mereka adalah sekutu perang Kei dan Reina," jawab cahaya merah, suaranya berat dan dalam. "Kei dan Reina adalah pemimpin strategi Pertempuran Hulao Gate. Wajah mereka cemas karena mereka tahu kalian akan segera datang."
Hanna tercengang. Kei dan Reina mengenakan pakaian perang Tiongkok! Kenzi, yang juga mengenali tokoh-tokoh yang ada di dalam pemandangan itu, bergumam, "Mereka... mereka adalah tokoh-tokoh petarung di masa Dinasti Han... di Tiongkok..." Ia menatap cahaya merah, mencoba mencerna informasi yang mengejutkan ini.
"Kau benar," sahut cahaya merah. "Kei dan Reina dicuri untuk mengubah sejarah peperangan Tiongkok di masa Dinasti Han."
"Tapi... mereka tidak bisa bertarung!" seru Hanna, khawatir. "Reina saja takut melihat darah!" Matanya masih tertuju pada gambar Kei dan Reina, kerinduan yang mendalam menusuk hatinya.
"Mereka diberi kekuatan," jelas cahaya biru muda, suaranya lembut. "Dewa Perang Ashura bersemayam dalam tubuh Hikari Kei, Dewi Perang Ashinamaru dalam tubuh Reina. Mereka diberi kekuatan dan perlengkapan perang sesuai dengan kekuatan para dewa."
Hanna dan Kenzi terdiam, kebingungan dan keterkejutan masih menyelimuti mereka.
Cahaya biru muda kembali bersuara, memecah keheningan. "Tujuan kami menculik kalian berdua atas perintah Dewa Ashura dan Ashinamaru. Untuk menemani dan membantu Kei dan Reina dalam pertempuran besar yang akan datang."
"Tapi... bagaimana dengan dunia asli kami?" tanya Kenzi, suaranya menahan amarah.
"Tenang," jawab cahaya merah. "Setelah kalian berempat menciptakan Dinasti God, kalian akan dikembalikan ke dunia kalian pada saat Kei dan Reina menghilang."
"Berarti... saat kami kembali, dunia akan berputar kembali ke saat Kei dan Reina menghilang?" tanya Hanna, masih bingung.
"Benar," jawab cahaya biru muda. "Kalian diberi kesempatan untuk mengubah takdir tiga tahun lalu." Kenzi dan Hanna merasa lega. "Hanna... izinkan aku memberimu kekuatan... dan berikan aku nama sesuai keinginanmu..." Cahaya biru muda mendekat ke arah Hanna.
"Baiklah," Hanna menerima tawaran itu. Cahaya biru muda masuk ke dalam tubuhnya.
Seketika, pakaian Hanna berubah menjadi pakaian perang Tiongkok berwarna kuning cerah, dihiasi ukiran burung Phoenix biru. Rambutnya yang pendek berwarna ungu dihiasi permata biru. Dua cakram emas tajam berujung biru muda muncul dari langit-langit, Hanna memegangnya. Cahaya biru muda mengelilingi Hanna, air muncul di lantai.
Sebuah cermin raksasa muncul, menunjukkan transformasi Hanna.
"Astaga... penampilan ku... menakjubkan! Tapi... aku tidak bisa menggunakan senjata ini..." Hanna kagum, melihat cakram emas di tangannya.
"Tenang, Hanna," suara lembut Rasyi (nama yang diberikan Hanna pada cahaya biru muda) terdengar. "Selama aku di dalam tubuhmu, keahlianmu akan meningkat drastis. Cobalah."
Hanna bersiap, SWISH! SWISH! Ia mengayunkan cakramnya dengan terampil, WHOOSH! Cakram itu melesat, kembali ke tangannya seperti yoyo. WHIR! Cakram itu berputar, memancarkan kekuatan air. SPLASH! Ombak kecil terbentuk, membasahi sebagian kastil.
"Wah... aku bisa menggunakannya!" Hanna girang. "Aku akan menjagamu, Reina!"
Kenzi, yang juga telah bertransformasi dengan baju perang merah tua berukiran api, memegang dua tombak. FWOOOSH! FWOOOSH! Ayunan tombaknya memunculkan api. CRACKLE! CRACKLE! Api mengelilinginya.
"Hahahaha! Aku akan membunuh siapa pun yang berani melawan teman-temanku!" Kenzi tertawa puas. "Aku akan memanggilmu Dewa Kimura!"
Beberapa menit kemudian, Hanna dan Kenzi berdiri, bertransformasi sempurna. Hanna dengan sayap Phoenix biru-kuning, mata biru muda, dan kekuatan air. Kenzi dengan sayap elang merah gelap, mata merah menyala, dan kekuatan api. Mereka kontras, namun sama-sama kuat.
"Kenzi... aku tidak sabar bertemu Reina dan Kei..." Hanna melihat pintu kastil yang terbuka, memancarkan cahaya emas.
"Aku juga... Aku tidak sabar menceramahi mereka berdua..." Kenzi berkata pelan, namun suaranya penuh tekad. Mereka melangkah keluar, pintu kastil tertutup di belakang mereka.