Dua orang sahabat yang terbiasa bersama baru menyadari kalau mereka telah jatuh cinta pada sahabat sendiri setelah jarak memisahkan. Namun, terlambat kah untuk mengakui perasan ketika hubungan mereka sudah tak seperti dulu lagi? Menjauh tanpa penjelasan, salah paham yang berakibat fatal. Setelah sekian tahun akhirnya takdir mempertemukan mereka kembali. Akankah mereka bersama setelah semua salah paham berakhir?
Ikuti lika-liku perjalanan dua sahabat yang manis dalam menggapai cinta dan cita.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon EuRo40, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 33
Seminggu sudah berlalu, Ana tak pernah menjenguk Galang ke rumah sakit. Selain ia sedang banyak kegiatan di kampusnya, ia juga menemani Angga selama sisa waktu Angga di Indonesia.
Malam ini Angga mengajak makan malam di suatu tempat. Ia sendiri tak tahu di mana, Angga bilang kejutan. Ia sudah rapi memakai celana jeans dan kaos yang ditutupi sweater. Walau sederhana, tetapi percayalah ia memilih baju ini setelah setengah jam lebih membongkar lemari.
Akhirnya yang ditunggu-tunggu datang. Angga memakai celana jeans dan kemeja hitam. Ana terpesona melihat Angga. Begitu juga Angga yang langsung terpaku menatap Ana.
Ana menjadi salah tingkah, ia berdeham untuk menghilangkan rasa grogi. Angga menggaruk lehernya.
“Kita berangkat sekarang?” tanya Angga.
Ana mengangguk ia kemudian mengambil tas di atas sofa dan melangkah keluar. “Eh, Bunda sama Ayah mana? Gue mau izin dulu.”
“Alah, nggak usah izin. Gue udah bilang tadi. Selama perginya sama lo, aman. Mereka udah pada masuk kamar. Yuk, ah. Nanti keburu malam!” Ana keluar dari rumah diikuti oleh Angga.
Malam ini mereka menaiki mobil. Suasana hening di dalam mobil. Ana tak betah jika sepi begini. “Ga, kita mau ke mana, sih?” Untuk ke sekian kalinya Ana bertanya.
“Rahasia, kan kejutan.” Untuk ke sekian kali juga Angga menjawab seperti itu.
Bibir Ana mencebik. Ia memilih menyalakan musik dari pada mengobrol lagi dengan Angga. Lelaki itu hanya tersenyum melirik Ana.
Mobil berhenti karena lampu merah. “An, kalau nanti gue sering telepon lo, boleh?” tanya Ana.
“Boleh aja, asal nggak ganggu,” jawab Ana.
“Oh, asal nggak ganggu waktu kamu pacaran sama Galang, ya?” tanya Angga bermaksud bercanda.
Namun, Ana menanggapinya berbeda. Ia melotot tak suka. “Bukan aku, tapi ganggu kamu pacaran sama Anya!” ketusnya.
“Lho, kok, jadi bawa Anya?” protes Angga.
“Kamu juga bawa-bawa Galang!” Ana tak mau kalah.
“Ya, kamu ‘kan memang pacaran sama Galang, kalau aku sama Anya, kami nggak ada hubungan apa-apa.” Angga memberi penjelasan.
“Alah, ngakunya nggak ada hubungan, tapi deket banget. Dulu juga begitu sama ....” Ana terdiam. Ia sadar sudah terlalu banyak bicara.
“Sama siapa?” tanya Angga.
“Nggak lupain aja, terserah kamu mau telepon kapan aja. Asal jangan malam Minggu, soalnya itu waktu gue sama Galang.” Ana mengalihkan pembicaraan. Ia malu membahas masa lalu. Jangan sampai Angga tahu ia cemburu waktu itu.
“Oke,” sahut Angga. Ia mengganti gigi karena lampu sudah hijau.
“An, gue kaget lho, pas lihat pacar lo. Gue pikir lo pacaran sama Seno, eh kok beda.”
Ana mengerutkan keningnya.
“Pacaran sama Seno? Kenapa lo mikirnya begitu?” tanya Ana. Mata Ana menatap lurus pada Seno yang sedang menyetir.
“Hah, ya soalnya kalian kan dekat banget waktu akhir SMA. Bahkan sampai ....” Angga dia, ragu untuk mengatakannya.
“Sampai apa?” tanya Ana penasaran dan ia tidak akan berhenti sampai rasa penasarannya terjawab.
“Udah sampai ke tempat tujuan.” Angga belok menakutkan mobilnya di depan sebuah tempat makan.
Ana menatap sekitar. Ia lalu melirik Angga. “Kita belum selesai bicara, gue nggak mau terus penasaran seumur hidup sampai nggak bisa tidur!” ucap Ana tegas.
“Penasaran apa, sih? Itu cuma pikiran gue doang. Kalau kalian tidak pernah pacaran, ya udah. Berarti gue salah.” Angga bicara sambil melepaskan seatbelt-nya.
“Tapi gimana bisa lo pikir gue pacaran sama Seno? Sedangkan Elin suka sama Seno dan gue nggak gila harus pacaran sama orang yang sahabat gue suka. Walaupun akhirnya tetap aja Elin salah paham dan ngejauhin gue.” Ana semakin panas.
“Ya, karena kalian seperti orang yang sedang pacaran,” ucap Angga lagi seraya melepaskan seatbelt Ana.
“Apanya yang kayak orang pacaran, justru lo sama Gendis yang kayak orang pacaran. Lo bahkan tega ninggalin gue dan pergi keluar negeri tanpa pamit sepatah kata pun. Senang Lo pergi sama Gendis. Hubungan kita yang dari kecil nggak ada artinya buat lo!” Ana menjadi terpancing emosi dan ia mengeluarkan semua yang ia rasakan selama ini.
Angga menatap Ana lekat ia tepat di kedua mata gadis itu. Ana balas menatap Angga dengan napas terengah. “Gue nitip surat ke Elin buat lo, tiga hari sebelum gue berangkat.”
Ana mengerutkan keningnya, terkejut dan mencoba mengingat aja Elin pernah memberinya surat. Angga melanjutkan ucapannya, “Gue dekat sama dia karena mengurus segala sesuatu untuk kuliah di sana dan gue nggak pacaran sama Gendis. Dari dulu hingga sekarang.”
Angga menghela napas, “Gue justru kecewa karena lo nggak ada waktu gue pergi. Lo bahkan nggak mau nganter kepergian gue. Padahal gue sangat berharap orang yang paling berarti dalam hidup gue mendukung langkah gue untuk maju,” ucapnya sendu.
“Perasaan Elin nggak pernah kasih gue surat. Boro-boro kasih surat, setelah ujian Elin malah ngejauhin gue. Anti banget kayaknya ama gue. Lagian kenapa pakai surat segala, sih? Lo nggak tahu yang namanya ponsel?”
“Ya, gue nggak tahu masalah Elin. Waktu itu gue rasanya nggak sanggup kalau ngomong langsung sama lo, gue patah hati dan kecewa sama lo waktu itu, tapi gue masih berharap Lo peduli sama gue.”
“Hah, maksudnya?” tanya Ana.
“Kita turun dulu, kita makan sambil ngobrol.” Angga langsung keluar dari mobil. Ana masih saja berpikir tentang maksud perkataan Angga ia tak sadar Angga sudah membuka pintu untuk Ana.
“An, ayo turun,” ucap Angga lembut.
Ana menoleh pada Angga.
“Pokoknya malam ini kita harus selesaikan semua salah paham di masa lalu!” ucap Ana lalu ia keluar dari mobil.
...----------------...