Genap 31 tahun usianya, Rafardhan Faaz Imtiyaz belum kembali memiliki keinginan untuk menikah. Kegagalan beberapa tahun lalu membuat Faaz trauma untuk menjalin kedekatan apalagi sampai mengkhitbah seorang wanita.
Hingga, di suatu malam semesta mempertemukannya dengan Ganeeta, gadis pembuat onar yang membuat Faaz terperangkap dalam masalah besar.
Niat hati hanya sekadar mengantar gadis itu kepada orang tuanya dalam keadaan mabuk berat dan pengaruh obat-obatan terlarang, Faaz justru diminta untuk menikahi Ganeeta dengan harapan bisa mendidiknya.
Faaz yang tahu seberapa nakal dan brutal gadis itu sontak menolak lantaran tidak ingin sakit kepala. Namun, penolakan Faaz dibalas ancaman dari Cakra hingga mau tidak mau pria itu patuh demi menyelamatkan pondok pesantren yang didirikan abinya.
.
.
"Astaghfirullah, apa tidak ada cara lain untuk mendidik gadis itu selain menikahinya?" Rafardhan Faaz Imtiyaz
Follow Ig : desh_puspita
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Desy Puspita, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 08 - Tanggung Jawab Suamimu
"Ah cantiknya!!" ucap Ganeeta memuji dirinya sendiri.
Dia menyukai penampilannya hari ini, tidak sia-sia bangun pagi walau harus merasakan tragedi yang membuatnya mempermalukan diri sendiri.
Selesai dengan make-up dan menatap rambut, Ganeeta beralih memilih pakaian yang telah dia persiapkan sebelumnya.
Seperti biasa, jika hendak ke kampus pakaian Ganeeta sangat amat normal dan tak ubahnya seperti anak lain. Celana panjang berwarna hitam dipadukan dengan kemeja biru muda dan flat shoes favoritnya.
Tak munafik, Faaz yang menyaksikannya juga sempat terpesona. Dengan penampilan seperti itu, status Ganeeta sebagai mahasiswi kedokteran tidak perlu diragukan.
Hanya saja memang belum menggunakan hijab, dan Faaz tidak pernah terbesit keinginan untuk memaksa Ganeeta harus menutup auratnya dengan sempurna.
Biar itu urusan nanti, Faaz berusaha memahami dan saat ini dia ingin Ganeeta nyaman dulu dan tidak merasa terbebani dengan pernikahan mereka.
"Sudah siap?" tanya Faaz seraya mengulas senyum teduh khasnya.
"Sudah," jawab Ganeeta sembari mengangguk pelan.
Dia tidak balik bertanya kenapa Faaz kepo dan ikut keluar, jika ditanya alasannya tentu saja karena Ganeeta tahu bahwa mulai hari ini Faaz yang akan mengantar dan juga menjemputnya.
Sebelum pergi dia menyempatkan untuk sarapan lebih dulu. Mengingat masih ada waktu dan mertuanya juga masih berada di sana.
Atas perintah maminya, mau tidak mau Ganeeta harus menjaga sikap meski sebenarnya tidak begitu menikmati sarapan lantaran khawatir terlambat sewaktu tiba di kampus.
Usai sarapan, Ganeeta menghampiri maminya dan menengadahkan karena uang jajannya benar-benar sudah terkikis habis.
"Kenapa masih minta ke mami?"
"Terus aku harus minta sama siapa lagi kalau bukan Mami? Pak Rudi?" Ganeeta balik bertanya dengan bibir cemberut dan bisa dikuncir seperti biasa.
Sontak Mami Ameera tertawa kecil seraya menggeleng pelan. Matanya menatap Faaz yang berdiri dengan begitu sabar di halaman depan.
"Kok ketawa? Buruan dong, Mi, udah telat ini."
"Anet ...." Suara maminya memelan, pertanda bahwa pembicaraan serius akan dimulai.
"Iya, Mi?" sahutnya masih begitu manis karena belum terbaca kemana arah pembicaraan sang mami.
"Gini, sekarang Anet kan sudah menikah."
"Ehm, lalu?"
"Mulai sekarang, uang jajanmu adalah tanggung jawab Faaz, bukan Mami dan Papi lagi, Sayang," tutur Mami Ameera seketika membuat wajah Ganeeta mendadak masam lantaran tak terima.
"Loh kok jadi begitu?" Ganeeta mengerutkan dahi.
"Karena tidak begini."
"Ck Mami serius!! Jangan bercanda deh," kesal Ganeeta tak lupa menghentakkan kaki sebagai bentuk protesnya.
"Siapa yang bercanda? Memang benar begitu, tanya sama Papi kalau tidak percaya."
"Ah Mami ayolah, jangan membuat kehidupanku semakin sulit, berikan saja uang jajanku tanpa perlu kasih tahu Papi seperti sebelumnya," rengek Ganeeta tak segan-segan berjongkok dan memeluk kaki maminya.
Berharap dengan cara itu maminya akan luluh dan berubah pikiran. Sayangnya, mau Ganeeta berlutut dan berguling sekalipun keputusan tersebut sudah final.
"No!! Keputusan ini bersifat mutlak dan tidak dapat diganggu gugat!! Sana cepat pergi ... suamimu sudah menunggu," ucap Mami Ameera kemudian berlalu meninggalkan Ganeeta yang kini tertunduk lesu.
Perdebatan itu membuat lututnya terasa lemas. Ingin Ganeeta mengurungkan niat untuk pergi, tapi hendak bagaimana lagi? Mustahil hanya karena uang jajan dia absen hari ini.
Merasa tak punya pilihan, Ganeeta berjalan perlahan demi menghampiri sang suami. Wajahnya yang tadi berseri seketika berubah mendung karena di dalam dompetnya tidak mempunyai uang sama sekali.
Hal itu terjadi lagi-lagi karena kebodohannya sendiri. Uang saku yang diberikan untuk satu bulan dari Cakra tidaklah sedikit, sangat banyak.
Akan tetapi di minggu kedua mulai kembang kempis dan memasuki Minggu ketiga berakhir terkikis habis. Bagaimana tidak habis? Setiap datang ke tongkrongan dia akan selalu menjadi penanggung jawab konsumsi hanya demi dianggap ada dan diutamakan di sana.
Terlahir sebagai anak konglomerat membuat Ganeeta gampang sekali untuk mendapat teman banyak, cukup dengan mengucurkan dana saja. Hal konyol yang Ganeeta lakukan hingga kartu miliknya sempat diblokir sang papa.
Akan tetapi, Ganeeta punya 1001 cara yang membuat papinya menyerah. Hanya saja, akhir-akhir ini jatah jajan Ganeeta dibatasi setiap bulannya.
Dibatasi katanya, tapi masih masuk kategori besar karena nominalnya tetap dua digit meski tidak bisa berfoya-foya seperti awal dia jadian bersama Zion, kekasihnya.
Dan, sekarang keadaan kembali berubah hingga membuat Ganeeta terus diam sepanjang perjalanan ke kampusnya.
Tiba di depan gerbang kampus, Faaz berhenti dan merogoh dompetnya. Sesuai dengan perintah sang mertua, Faaz tidak memberikan uang jajan melebihi batas yang sudah ditentukan.
"Nih, jangan jajan sembarangan," ucap Faaz sembari memberikan selembar uang pecahan lima puluh ribu yang semakin membuat Ganeeta ingin menangis.
"Serius segitu?" Sembari menatap sendu uang tersebut, Ganeeta bertanya dengan suara bergetarnya.
"Hem, cukup, 'kan?"
"Mas gila ya?" tanya Ganeeta lagi, seperti biasa suara melas dan panggilan Mas dia gunakan sebagai senjata untuk meluluhkan orang-orang terdekatnya.
"Kok gila? 50.000 sudah cukup mengenyangkan, Net."
"Iya, tapi ...."
"Ya sudah, Mas tambahin," ucap Faaz mengalah hingga menciptakan senyum tipis di wajah Ganeeta.
Memang itu yang dia mau, ditambah. Betapa bahagianya dia tatkala Faaz mengerti tanpa perlu diminta.
Sayang, harapan Ganeeta terlampau tinggi hingga dia kembali patah tatkala menyaksikan tambahannya. Sejak SMA, Ganeeta tidak lagi pernah menerima uang recehan untuk jajan.
Tak ayal, tangannya seketika dingin begitu menerima uang senilai 12.000 rupiah sebagai tambahan dari Faaz.
"Kirain banyak, tahunya segini," gerutu Ganeeta amat pelan, tapi masih bisa Faaz dengar dan hanya dia tanggapi dengan senyum tipis yang nyaris tak terlihat di wajahnya.
.
.
"Nanti pulangnya jam berapa?" Tak peduli dengan wajah cemberut Ganeeta usai mendapatkan uang jajan di hari pertama darinya, Faaz tetap bertanya sebagai bentuk perhatian.
"Jam dua," jawab Ganeeta sekenanya, tampak tak begitu ikhlas tatkala menjawab pertanyaan sang suami.
"Turunlah, nanti Mas jemput ya," ucap Faaz mempersilakan sang istri turun dengan kata-kata yang baik tentu saja.
"Hem," sahut Ganeeta sebelum kemudian keluar dari mobil.
Sama sekali tidak ada ceria-cerianya, sekalipun Faaz sudah membukakan pintu dan memperlakukannya seperti putri raja.
Bahkan, pria itu juga ikut turun untuk mengantarnya. Ganeeta yang tak ingin kualat dan mengingat nasihat maminya mau tidak mau harus mencium tangan Faaz sebelum benar-benar berlalu.
Tak selesai di sana, hingga Ganeeta sudah memasuki pintu gerbang Faaz masih terus mengawasinya.
"Dia ngapain sih masih di situ, langsung pergi saja apa susahnya?" gerutu Ganeeta mempercepat langkah lantaran khawatir akan semakin banyak yang menaruh curiga dan mengetahui pernikahannya.
Baru juga hendak berlari, seseorang menepuk pundaknya hingga memaksa Ganeeta untuk berhenti seketika.
.
.
- To Be Continued -