Valerie terpaksa menikah dengan Davin karena permintaan terakhir papanya sebelum meninggal. Awalnya, Valerie tidak tahu-menahu tentang rencana pernikahan tersebut. Namun, ia akhirnya menerima perjodohan itu setelah mengetahui bahwa laki laki yang akan dijodohkan dengannya adalah kakak dari Jean, pria yang diam-diam ia kagumi sejak SMA dulu, meskipun Jean pernah menolaknya
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon xxkntng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22. Party kantor
"Mau itu, Bi," Valerie menunjuk makanan yang ada di atas meja makan sana.
"Ini, Non."
"Pedes gak itu?" Davin menatap istrinya.
"Siapa yang nyuruh masak makanan itu, Bi?"
"Gue, kenapa?" Belum sempat Bi Oda menjawab, Valerie lebih dulu menjawab pertanyaan yang dilontarkan laki-laki itu.
"Enak kok."
"Cobain deh."
"Wonton."
"Cowok kayak lo pasti gak pernah kan makan makanan kayak gini," Valerie hendak menyuapkan makanan itu.
"Cobain dulu, mau ya? Mau kan? Katanya lo mau ngikutin setiap kemauan gue."
"Ini beneran enak, sekali seumur hidup lo harus cobain makanan gak sehat kayak gini."
"Jangan kaku deh hidup lo."
"Cobain gak!!" Valerie menatap suaminya sinis.
"Lo beneran gak mau?"
"Beneran gak akan mati kalau makan ini, Davin."
"Percaya deh sama gue."
Davin membuka mulutnya, Valerie yang melihat hal itu seketika senyum senang. "Kalau lo keracunan gara-gara makanan rekomendasi dari gue, lo boleh deh usir gue dari rumah ini."
"Ayo, buruan makan," ucap Valerie sekali lagi.
Davin membuka mulutnya dan segera melahap makanan dari garpu yang dipegang istrinya.
"Gimana?"
"Enak kan?"
"Makannya, lo tuh..."
"Biasain deh di rumah ini ada makanan kayak gini, jangan cuma makanan sehat aja, gue bosen," Valerie berdecak sebal.
"Saya harus berangkat sekarang. Kamu jangan nakal di rumah," ucap Davin.
"Makan cemilan itu jangan banyak-banyak," Davin mengingatkan.
"Nurut sama Bibi ya, jangan nakal," ucap Davin sembari mengusap anak rambut Valerie dan segera pergi keluar.
******
Meeting Room
Setelah meeting selesai, ruangan mulai kosong. Satu per satu peserta rapat beranjak pergi, hanya menyisakan tiga orang di sana, Regan, Dilan, dan Davin.
Regan duduk santai sambil bersandar di kursi, sesekali mengetuk meja dengan ujung jarinya, seakan menunggu sesuatu. Di sisi lain, Dilan menyilangkan tangan di dada, pandangannya tertuju pada Davin yang masih diam tanpa ekspresi, fokus pada catatan di depannya.
"Nanti malam anak-anak ngadain acara party kecil-kecilan," Ucap Dilan membuka obrolan di antara mereka bertiga.
"Mau ikut atau gak?" sambung Regan cepat, seakan memberi penekanan pada tawaran itu.
"Anniv kantor. Yakali bos gak mau ikut," sahut Dilan lagi, suaranya sedikit meledek.
"Setahun sekali. Yakin gak ikut?" tambahnya, kali ini lebih serius.
Regan melirik Davin yang masih diam. "Istri lo tumben gak masuk. Kenapa dia?" tanyanya penasaran.
"Sakit," jawab Davin singkat dan datar, tanpa mengangkat wajahnya dari catatan di meja.
Mendengar itu, Regan dan Dilan spontan saling pandang. Senyum menggoda mulai muncul di wajah Dilan. "Jangan-jangan penyebab dia sakit itu lo," godanya sambil tertawa kecil.
"Ngomong apa sih lo," celetuk Davin, suaranya terdengar malas. Regan dan Dilan memilih untuk menahan diri; keduanya tahu hari ini Davin tampaknya masih dipusingkan oleh urusan pekerjaan.
Suasana sempat hening sejenak sebelum Dilan kembali bersuara, kali ini nada bicaranya lebih ringan. "Kalau Valerie tahu kantor ngadain acara party, mungkin dia bakal jadi orang pertama yang seneng banget sama acara ini."
Davin mendongak sebentar dan menatap mereka tajam. "Jangan sampai Agata tau," ucapnya
"Intinya, lo mau ikut gak?!!" tanyanya lagi, mencoba meyakinkan temannya.
"Urusan gue masih banyak," jawabnya .
"Cuma party biasa. Jangan kaku gitu deh hidup lo," celetuknya dengan nada santai.
"Sekali-kali ikut ngerayain anniv kantor," tambah Dilan sambil bersandar di kursinya.
"Sekali-kali party kek," ucapnya lebih kesal ketika Davin masih tak memberi respons yang memuaskan.
"Jam 10 gue cabut."
"Deal ya, lo ikut" ucap regan cepat, menyudahi perdebatan kecil mereka.
-
"Pak Davin ganteng banget malam ini," gumam Arina pelan dengan nada kesal. Tatapannya tertuju pada sosok laki-laki di ujung ruangan. Lengan kemeja Davin yang digulung hingga sebatas siku membuat penampilannya semakin menarik, dan bagi Arina, itu hampir seperti godaan tak tertahankan.
"Kalau gue tau pak Davin bakal ikut party kantor kayak gini, dari semalam gue udah siapin pakaian paling seksi gue," celetuk Arina sambil melipat tangannya di dada.
"Tumben banget pak Davin ikut acara party kantor," lanjutnya lagi dengan nada penasaran.
"Pasti dibujuk sama Dilan," sahut Cezza sambil terkekeh kecil. Ia menyambar dua gelas alkohol dari meja bar, senyumnya penuh makna.
"Rugi, cowok seganteng itu gak digodain," tambahnya sambil melirik ke arah Davin.
"Mau kemana lo?" tanya Arina curiga menatap gerak-gerik temannya itu.
"Godain pak Davin," jawab Cezza, lalu beranjak menghampiri laki-laki itu dengan langkah penuh percaya diri.
Sampai di hadapan Davin, Cezza menyodorkan segelas alkohol sambil tersenyum manis. "Saya ambilin minum buat bapak."
Davin melirik gelas itu sekilas. "Saya gak nyuruh kamu," ucapnya singkat.
"Saya inisiatif, pak. Ini party, bapak yakin gak mau minum?" balas Cezza dengan nada menggoda.
Regan yang kebetulan berdiri tak jauh dari situ ikut menyahut, suaranya penuh semangat. "Ngerayain enam tahun hari jadi kantor, lo harus minum, Vin!"
Cezza menimpali lagi dengan antusias. "Saya gak pernah lihat bapak minum alkohol sebelumnya. Ini juga pertama kalinya saya lihat bapak ikut acara party kantor," ujarnya sambil menatap Davin penasaran.
Dilan ikut bergabung, menyenggol lengan Davin pelan. "Lo takut? Minum aja," ucapnya setengah bercanda.
Davin menatap mereka bergantian, lalu tanpa banyak bicara, ia menarik gelas dari tangan Cezza dan meneguk alkohol itu sampai habis dalam satu kali tegukan.
Suasana seketika hening sejenak sebelum akhirnya Regan bersiul kecil, sementara Cezza tersenyum lebar penuh kemenangan.
Tak lama setelah meneguk minuman yang disodorkan Cezza, Davin mulai merasakan ada sesuatu yang aneh. Tubuhnya tiba tiba terasa panas. Napasnya berat, gerakannya mulai gelisah. Dengan satu tangan, ia melonggarkan dasi yang melilit lehernya, mencoba memberi ruang untuk udara. Matanya sudah tidak fokus, seolah ada sesuatu yang bergejolak di dalam dirinya—gairah yang tak bisa ia kendalikan.
Cezza, yang memperhatikan perubahan tingkah davin itu, tersenyum tipis. Pelan-pelan, ia mendekat ke arah Davin, mencoba menyentuh lengan laki-laki itu. Namun, Davin dengan cepat menepis tangan Cezza.
"Pak Davin..."
Davin tak menggubris. Wajahnya dingin, rahangnya mengeras. Tanpa berkata apa pun, ia berbalik dengan cepat, meninggalkan venue acara.
Langkahnya tergesa, menyusuri lorong keluar. Tanpa banyak berpikir, ia melangkah masuk ke dalam mobilnya, menyalakan mesin, dan melaju pulang. Jemarinya menggenggam kemudi erat, matanya menatap lurus ke depan meski pikirannya kacau.
-
Davin melempar jasnya ke sembarang arah, seolah tidak peduli. Dengan langkah sedikit goyah, ia merebahkan tubuhnya di samping Valerie yang tengah tertidur pulas. Tangan Davin melingkar begitu saja di perut istrinya, gerakan yang membuat Valerie tersentak bangun.
"Davin... lo ngapain? Ini kamar gue," suara Valerie terdengar serak karena kaget, matanya membelalak melihat sosok suaminya yang tiba-tiba memeluknya
Davin hanya mendesah pelan. "Pusing..." gumamnya, matanya setengah terpejam.
"Lo mabok, ya?"
Alih-alih menjawab, Davin justru memainkan kabel lampu tidur di nakas sebelahnya. Valerie langsung menarik tangan itu dengan cepat. "Davin, stop! Jangan mainin itu. Nanti kesetrum!" tegur Valerie, suara paniknya jelas terdengar.
"Lo sumpah ngerepotin banget, ya..."
Valerie mendesah frustasi, menyandarkan punggungnya di kepala ranjang. "Lo mabok. Makanya kalau gak biasa minum, jangan banyak-banyak!" omelnya.
Tanpa peringatan, Davin tiba-tiba menarik tengkuk Valerie, mendekatkan wajah istrinya. Bibirnya mendarat di bibir Valerie, mencium dengan lembut namun menuntut. Valerie terdiam membeku, tubuhnya menegang dalam genggaman Davin. Setelah beberapa detik, Davin perlahan melepasnya, matanya menatap Valerie dengan sorot tajam yang serius.
"Gue gak mau. "
Davin tak menjawab. Dengan gerakan hati-hati, ia mendorong tubuh Valerie hingga kini posisinya berada di atas wanita itu. Nafasnya berhembus pelan di wajah Valerie, membuat wanita itu semakin gelisah.
"Gue... gue gak mau," Valerie berusaha menghindari tatapan suaminya, tapi jemari Davin mengusap rambutnya pelan, seolah berusaha menenangkan.
"Saya butuh kamu," gumam davin.
Valerie menatap wajah suaminya yang pucat, tetapi sorot mata itu begitu intens, seakan mencari sesuatu darinya. "Lo kenapa, sih? Kok jadi begini? Gak biasanya lo..."
"Lo habis minum berapa botol hah?"
"Agata...Sekali ini aja... mau, ya?" pinta laki laki itu.