Rara Maharani Putri, seorang wanita muda yang tumbuh dalam keluarga miskin dan penuh tekanan, hidup di bawah bayang-bayang ayahnya, Rendra Wijaya, yang keras dan egois. Rendra menjual Rara kepada seorang pengusaha kaya untuk melunasi utangnya, namun Rara melarikan diri dan bertemu dengan Bayu Aditya Kusuma, seorang pria muda yang ceria dan penuh semangat, yang menjadi cahaya dalam hidupnya yang gelap.
Namun Cahaya tersebut kembali hilang ketika rara bertemu Arga Dwijaya Kusuma kakak dari Bayu yang memiliki sifat dingin dan tertutup. Meskipun Arga tampak tak peduli pada dunia sekitarnya, sebuah kecelakaan yang melibatkan Rara mempertemukan mereka lebih dekat. Arga membawa Rara ke rumah sakit, dan meskipun sikapnya tetap dingin, mereka mulai saling memahami luka masing-masing.
Bagaimana kisah rara selanjutnya? yuk simak ceritanya 🤗
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Queen Jessi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bayu x Arga
Hari itu, Rara bertemu dengan Bayu di sebuah kafe kecil setelah jam kerja. Bayu, yang sudah mendengar tentang kejadian terakhir di kantor, tidak bisa menyembunyikan rasa khawatirnya. Begitu melihat Rara, ia segera berdiri dari tempat duduknya, menatapnya dengan mata yang penuh kecemasan.
"Rara, kau baik-baik saja?" tanya Bayu langsung tanpa basa-basi.
Rara tersenyum tipis, mencoba menenangkan suasana. "Aku baik-baik saja, Bayu. Jangan terlalu khawatir."
Namun, Bayu tidak bisa begitu saja percaya. Matanya memindai wajah Rara, mencari tanda-tanda kelelahan atau kesakitan. "nanda sudah memberitahuku soal insiden itu. Apa benar Clara yang mencelakai mu?"
Rara menunduk sejenak, menghela napas panjang. "Iya, tapi semuanya sudah selesai. Clara sudah ditangani oleh Arga dan Nanda."
Bayu menggeleng, tampak tidak puas dengan jawaban itu. "Sudah selesai menurutmu, tapi bagaimana dengan dirimu? Kau tidak terluka, kan? Kau tidak trauma?"
Rara tertegun mendengar nada serius Bayu. Ada kehangatan di sana, sebuah perhatian yang tulus. "Aku... sedikit terguncang, tapi aku baik-baik saja sekarang. Kak Arga dan Nanda banyak membantuku," katanya dengan suara pelan.
Bayu masih terlihat cemas. "Aku tidak tahu apa yang dipikirkan Kak Arga, membiarkanmu tetap bekerja di lingkungan seperti itu. Seharusnya dia menjauhkanmu dari semua bahaya ini."
Rara tersenyum tipis. "Ini keputusan yang aku buat sendiri, Bayu. Aku ingin tetap bertahan. Aku tidak bisa selalu bergantung pada orang lain."
Bayu menghela napas panjang, tetapi ia tidak bisa memaksa Rara untuk mengubah pikirannya. "Kalau begitu, berjanjilah padaku. Jika ada apa-apa, kau harus menghubungiku. Jangan mencoba menyelesaikan semuanya sendirian, oke?"
Rara mengangguk pelan. "Terima kasih, Bayu. Aku benar-benar menghargai perhatianmu."
Bayu tersenyum lembut, tetapi kekhawatiran di matanya belum sepenuhnya hilang. Bagi Bayu, Rara adalah sosok yang tangguh, tetapi ia juga tahu bahwa bahkan orang yang paling kuat sekalipun butuh dukungan.
suasana terasa riang saat Rara dan Bayu berbincang. Tawa Rara yang ceria menggema, sesuatu yang jarang terjadi. Bayu, dengan humornya yang khas, membuat Rara merasa nyaman, seperti melupakan segala tekanan yang ada.
Namun, momen itu berubah saat Arga tiba-tiba muncul. Ia berjalan mendekat dengan tatapan dingin yang sulit ditebak, matanya terfokus pada Rara.
"Kau selama ini tidak pernah tertawa lepas seperti ini," kata Arga datar, meskipun ada nada tajam di dalamnya. "Ternyata Bayu memiliki sesuatu yang tidak kumiliki."
Rara menoleh, sedikit terkejut dengan kehadiran Arga. Sementara itu, Bayu menatap kakaknya, mencoba membaca emosi yang tersembunyi di balik wajahnya yang tenang.
Namun, di balik sikap santainya, hati Bayu terasa sakit. Ia telah lama menyimpan perasaan pada Rara, tetapi sekarang, ia merasa bahwa Arga mungkin memiliki tempat khusus di hati Rara. Tanpa berpikir panjang, Bayu memutuskan untuk mengungkapkan apa yang dirasakannya.
"Rara," ucap Bayu, suaranya terdengar bergetar. "Aku mencintaimu. Aku tidak bisa lagi menyembunyikannya."
Rara terdiam, matanya membelalak, bingung dengan pernyataan mendadak itu. Ia menatap Bayu, tetapi tidak ada kata yang keluar dari mulutnya.
Namun, sebelum situasi itu sempat berkembang, Arga melangkah maju dengan tegas. Ia meraih tangan Rara, menariknya berdiri hingga berdiri di sampingnya.
"Dia tidak perlu menjawab itu," ujar Arga dengan nada dingin, tetapi penuh otoritas. "Karena Rara akan menjadi istriku."
Bayu terkejut mendengar pernyataan Arga. Ia berdiri, menatap kakaknya dengan wajah penuh keterkejutan. "Apa maksudmu, Kak? Apa Rara mencintaimu?" tanyanya, suaranya terdengar terluka.
Rara tetap diam, tidak mampu menjawab. Ia hanya menunduk, tidak tahu harus mengatakan apa.
Arga, tanpa menjelaskan lebih lanjut, menggenggam tangan Rara lebih erat. "Ayo," katanya singkat, lalu membawa Rara keluar dari kafe tanpa memberi Bayu kesempatan untuk berbicara lebih jauh.
Di luar, angin malam menyapa wajah mereka. Arga tetap berjalan cepat menuju mobilnya, tidak melepaskan genggaman tangannya pada Rara.
"Arga," panggil Rara akhirnya, suaranya pelan. "Kenapa kau melakukan ini?"
Arga berhenti sejenak, menatap Rara dengan mata yang sulit diartikan. "Karena aku tidak akan membiarkan siapa pun merebutmu dariku."
Rara hanya bisa terdiam, hatinya bergejolak dengan berbagai emosi. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya dirasakan oleh Arga, atau bahkan oleh dirinya sendiri.
Setibanya di rumah, suasana terasa tegang. Arga yang biasanya tenang tampak lebih tegas dari biasanya. Ia menatap Rara yang berdiri di depannya dengan ekspresi serius.
"Besok kita akan menikah," ucap Arga tanpa basa-basi, suaranya mantap. "Seperti yang sudah kita sepakati sebelumnya."
Rara tertegun, meskipun ia tahu pernikahan ini adalah bagian dari perjanjian mereka, kenyataan bahwa hari itu akan tiba begitu cepat membuatnya merasa sedikit gugup. Namun, ia tidak berkomentar apa-apa. Hanya mengangguk pelan sebagai tanda setuju.
HARI PERNIKAHAN
Keesokan harinya, suasana terasa sunyi. Tidak ada pesta mewah, tidak ada keluarga yang hadir, tidak ada tamu yang mengucapkan selamat. Rara dan Arga hanya ditemani oleh penghulu di sebuah kantor pernikahan kecil.
Rara mengenakan gaun putih sederhana yang dipilihnya sendiri, rambutnya digelung rapi tanpa banyak aksesoris. Sementara Arga tampak gagah dengan setelan jas hitam, tetap dengan aura dinginnya yang khas.
Mereka duduk berdua di meja akad, saling berhadapan. Ketegangan terasa di udara, tetapi keduanya tetap tenang. Saat prosesi berlangsung, suara penghulu yang membimbing prosesi akad nikah terdengar khidmat.
Ketika tiba saatnya Arga mengucapkan ijab kabul, ia melakukannya dengan lantang dan tanpa keraguan. Rara yang mendengarnya hanya bisa menunduk, mencoba menyembunyikan campuran emosi yang melanda dirinya.
Setelah semua selesai, penghulu mengucapkan, "Selamat, kalian berdua kini sah menjadi suami istri."
Namun, tidak ada sorakan atau ucapan selamat setelah itu. Hanya keheningan yang menyelimuti ruangan.
Setelah menandatangani dokumen pernikahan, Arga dan Rara berdiri berdua di luar kantor. Angin sepoi-sepoi mengusap wajah mereka.
"Ini yang kau inginkan, kan? Tanpa pesta, tanpa orang lain," ujar Arga, menatap Rara dengan tatapan lembut yang jarang terlihat.
Rara mengangguk. "Iya. Aku tidak ingin membuat hal ini menjadi besar. Lagipula, ini hanya sebuah perjanjian."
Arga menatap Rara sejenak, ada sesuatu di matanya yang sulit diartikan. "Ya, perjanjian," gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri.
Mereka pun berjalan menuju mobil, meninggalkan kantor pernikahan itu. Meskipun mereka sekarang sudah sah sebagai suami istri, rasa canggung dan ketidakpastian masih terasa di antara mereka.
Namun, di dalam hati Arga, ia tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Sementara Rara, ia hanya bisa berharap bahwa keputusan ini tidak akan membawa lebih banyak luka di hatinya.