“Baik, kalau begitu kamu bisa bersiap untuk menyambut kematian mama! Mama lebih baik mati!” Ujar Yuni mencari sesuatu yang tajam untuk mengiris urat nadinya.
Alika tidak percaya dengan apa yang di lakukan Yuni, sebegitu inginnya Yuni agar Alika mengantikkan kakaknya sehingga Yuni menjadikan nyawanya sebagai ancaman agar Alika setuju.
Tanpa sadar air bening dari mata indah itu jatuh menetes bersama luka yang di deritanya akibat Yuni, ibu kandung yang pilih kasih.
Pria itu kini berdiri tepat di depannya.
“Kamu siapa?” Tanya Alika. Dia menebak, jika pria itu bukanlah suaminya karena pria itu terlihat sangat normal, tidak cacat sedikitpun.
Mendengar pertanyaan Alika membuat pria itu mengernyitkan alisnya.
“Kamu tidak tahu siapa aku?” Tanya pria itu menatap Alika dengan sorot mata yang tajam. Dan langsung di jawab Alika dengan gelengan kepala.
Bagaimana mungkin dia mengenal pria itu jika ini adalah pertama-kalinya melihatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Maple_Latte, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
EP: 32
“Ini untukmu.”
Sebuah gantungan kunci berbentuk bulan di berikan Alika pada Brian yang saat untuk sudah akan berangkat.
“Harganya memang murah tapi aku harap kamu menyukainya.” Kata Alika.
Brian memandangi gantungan kunci itu, gantungan kunci yang menarik. Berbentuk bulan berwarna kuning keemasan dengan beberapa permata kecil di tengahnya.
“Akan aku simpan dengan baik. Terima kasih kakak ipar.” Ucap Brian.
Ada rasa bersalah di hati Brian, Alika sampai memberikan kenang-kenangan untuknya, padahal sebenarnya dia tidak benar-benar pergi.
Alika melambaikan tangan pada Brian yang sudah berada di dalam mobil. Menatap mobil yang kian jauh dari perkarangan rumah.
“Kita akan ke mana tuan?” tanya Brian yang bingung akan dia bawa ke mana tuannya itu.
“Antar saja aku ke rumah kakek, malam nanti saat Alika tidur kita baru akan kembali.”
Mobil yang di kendarai oleh Zicko pun melaju membelah jalanan menuju rumah kakek Admanegara.
Melewati gerbang yang menjulang tinggi akhirnya mobil berhenti tepat di depan rumah mega itu.
Brian turun, sudah lama dia tidak pernah datang berkunjung. Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun dia tidak kembali ke rumah itu. Tidak ada yang berubah sedikit pun, hanya saja cat rumah yang terus di poles hingga terlihat tak pernah kusam.
Rumah yang menyimpan kenangan pahit untuknya. Rumah tempat dia kehilangan kedua orang tuannya dan rumah di mana dia mendapatkan traumanya.
“Tuan, tuan muda datang.” Kata pak Benny memberitahu kakek Admanegara yang kala itu sedang menikmati sarapannya.
“Daniel datang?”
Kakek Admanegara seakan tidak percaya jika cucu yang selama ini selama dia minta untuk berkunjung tidak pernah datang tiba-tiba pagi ini tanpa pemberitahuan sudah ada di luar rumahnya.
“Apa dia bersama dengan istrinya?” tanya kakek Admanegara.
“Tidak tuan, tuan muda hanya datang bersama dengan asistennya.”
Kakek Admanegara langsung bisa menebak jika ada sesuatu yang membuat Daniel datang ke rumahnya.
“Selamat datang tuan muda.”
Para pelayan berjejer menyambut kedatangan Daniel. Dan ada beberapa pelayan baru yang takjub saat melihat ketampanan cucu dari tuan besarnya itu.
“Tuan besar menunggu anda di meja makan, beliau ingin sarapan bersama.” Kata pak Benny yang ikut menyembuhkan setelah tadi sempat melaporkan kedatangan Daniel pada Kakek Admanegara.
Tanpa bicara Daniel langsung berjalan ke ruang makan untuk menemui kakek Admanegara.
“Kakek.” Ucap Daniel.
“Duduklah.” Kata kakek Admanegara.
Daniel menurut, menarik kursi lalu duduk, ada kecanggungan diantara keduanya. Untuk beberapa menit tidak ada yang bicara lagi.
“Silakan tuan muda.”
Koki yang datang mengantarkan sarapan memecah keheningan.
“Terima kasih.” Ucap Daniel lalu sibuk dengan sarapannya.
Waktu membuat kedua orang itu, cucu dan kakek tidak bisa mengungkapkan perasaan masing-masing. Daniel yang kehilangan orang tuannya mengalami trauma, tak tahu siapa yang harus dia salahkan atas apa yang terjadi dan menimpanya.
Sedangkan kakek Admanegara, dia terus merasa bersalah pada cucunya satu-satunya itu, karena andai saja dia bisa menjaga keluarganya. Mungkin semua hal buruk itu tidak akan terjadi.
Perlahan-lahan jarak mulai muncul di antara kakek Admanegara dan Daniel, jarak yang membuat suasana menjadi dingin dan canggung. Tidak ada lagi bahan obrolan, saling tak tahu harus membuka pembicaraan dan memulainya dari mana.
Hanya suara garpu dan pisau yang sesekali menyentuh piring porselen yang terdengar menghadirkan suara bising.
“Kenapa kami tidak membawa istrimu?” akhirnya kakek Admanegara yang mengalah.
“Dia tidak tahu jika aku adalah aku yang sebenarnya.” Jawab Daniel.
Kakek Admanegara meletakkan garpu dan pisau, mulai menatap serius Daniel. Dia tidak mengerti apa yang cucunya itu katakan.
“Apa maksud mu?”
“Aku mengaku sebagai orang lain saat pertama kali bertemu dengannya.”
Daniel mulai menjelaskan semuanya dengan rinci. Dan juga perihal kedatangannya pagi itu ke rumah kakek.
Kakek mendengarkan dengan saksama, dia bisa menangkap kenapa Daniel melakukan itu. Dia hanya meminta agar Daniel tidak terlalu lama membongkar Alika.
Karena bagaimana pun Alika adalah istrinya, dia harus tahu yang sebenarnya, jika Daniel bukanlah pria cacat.
Kakek Admanegara tahu jika Alika adalah perempuan yang baik saat pertama kali bertemu dengan Alika saat dia mengundang Alika untuk makan malam bersama.
“Tidak akan lama, setelah memastikan semuanya dengan baik, aku kan katakan semuanya dengan jujur padanya.” Ujar Daniel.
Dia memang tidak berencana akan lama-lama membohongi Alika, dia hanya ingin tahu beberapa hal lagi. Ia itu, apakah Alika akan menerima dia apa adanya, meskipun dengan wajah cacat dan miskin.
Setelah memastikan semua itu, dia pasti akan jujur mengatakan semuanya pada Alika.
Setelah sarapan bersama kakek Admanegara, Daniel masuk kedalam kamarnya. Kamar yang dia tempati waktu dia kecil hingga remaja. Sebelum kejadian buruk itu terjadi.
Banyak kenangan di sana, foto kedua orang tuanya juga masih berbingkai rapi di atas meja kamarnya tanpa debu, pasti kakek selalu menyuruh orang untuk membersihkannya.
Daniel lalu berjalan ke arah ruang belajar, menatap setiap inci ruangan itu, dulu ibunya sering sekali duduk di sana bersama dengannya. Mengajari dia dengan sabar sambil sesekali bercanda dan tertawa bersama.
Daniel memegangi dadanya, terasa nyeri dan sakit. Ia mengertakkan rahangnya menahan luka. Luka yang tidak pernah hilang dari hatinya, meskipun sudah bertahun-tahun lamanya.
Daniel menarik laci meja belajar, mengeluarkan album foto. ia membukanya perlahan-lahan, menatap kenangan yang terpatri di sana.
mengusap secara lembut wajah seorang wanita cantik dengan rambut panjang yang di kuncir tinggi dengan jarinya. Dia menggendong anak balitanya sambil tersenyum tulus menatap kamera yang memotret dirinya.
di lembar berikutnya ada foto seorang pria berwajah tampan dan tinggi berdiri di samping wanita di foto pertama.
keduanya tampak begitu bahagia dengan tangan pria yang merangkul pinggang si wanita.
menatap wajah pria itu membuat Daniel merasakan perasaan campur aduk, rasa kehilangan sekaligus perasaan benci.
dua rasa itu mengaduk-adul hatinya. benci karena pengkhianatan si pria terhadap wanita yang begitu di cintainya, dan juga rasa kehilangan akan pria itu.
Album itu berisi tentang kenangan Daniel dengan kedua orang tuannya dan juga kakeknya. kenangan akan bahagia dan tawa yang pernah dia rasakan sebelum sebuah terenggut habis oleh orang-orang yang dengki dan benci pada keluarganya.
Dan sampai detik ini Daniel masih mencari siapa dalang di balik pembunuhan kedua orang tuanya dan juga penculikan dirinya.
Dia telah bersumpah akan mencari dan mendapatkan orang-orang yang bertanggung jawab atas semua itu. Dia akan membalasnya hingga tidak tersisa apapun dari orang-orang itu.
...****************...
Support author dengan like, komen dan vote ya :) Terima kasih para pembaca yang setia dengan novel author yang masih banyak. kekurangannya ini. Salam hangat dari author untuk kalian semua.
trus tidak helen yg terkejut akan fakta ttg daniel