Beginning And End : Dynasty Han.
Pada siang yang mendung.
Namun langit mendung menaungi kota, menyisakan aspal basah berkilauan di bawah sinar matahari yang tembus pandang. Aroma tanah basah yang khas menusuk hidung, bercampur dengan bau bensin dari motor sport hitam milik Kei, sebuah aroma yang kini terasa pahit bagi Reina. Kei dan Reina melaju pelan, motor membelah genangan air di jalanan, meninggalkan jejak buih putih yang sebentar kemudian lenyap, seperti jejak air mata yang tak mampu bertahan lama. Taman Grenery, tujuan mereka, tampak samar di kejauhan, dikelilingi pepohonan rindang yang daunnya masih basah kuyup oleh hujan, layaknya hati Reina yang terendam kesedihan. Taman yang dulu menjadi saksi bisu pernyataan cinta Kei, kini berubah menjadi tempat perpisahan terakhir mereka, dibayangi oleh kepergian Reina ke Osaka yang semakin dekat— sebuah takdir pahit yang tak bisa dihindari. Papa Danton akan bebas dalam dua minggu, dan Mama Ina tak punya pilihan selain ikut pindah, meninggalkan segalanya, termasuk kenangan indah bersama Kei. Sebuah kepedihan yang mendalam, seperti bayangan awan gelap, mulai menyelimuti hati Reina, mencengkeramnya erat-erat.
Di persimpangan lampu merah, Reina memeluk Kei dengan erat, air matanya membasahi jaket kulit Kei, seperti hujan yang tak henti-hentinya membasahi bumi. Lampu merah menyala terang, memantulkan cahaya merah menyala di mata Reina yang berkaca-kaca, bagaikan bara api yang hampir padam, menyisakan sisa-sisa kehangatan. "Sayang, maafin aku..." Suara Reina bergetar, tangisnya tertahan, sebuah melodi sedih yang mengalun pelan di antara hiruk pikuk kota yang terasa begitu jauh. Di sekeliling mereka, suara klakson mobil terdengar samar, bercampur dengan suara tetesan air hujan yang masih jatuh dari atap-atap bangunan, irama sendu yang mengiringi kepergiannya, sebuah simfoni perpisahan yang menyayat hati. Bayangan gedung-gedung pencakar langit tampak memanjang di jalanan basah, menciptakan suasana yang suram, seperti lukisan duka yang melukiskan perpisahan mereka yang tak terelakkan.
Kei, yang fokus pada jalanan yang masih basah dan licin, berusaha menenangkan Reina. "Jangan menyalahkan diri sendiri..." Ia berkata, suaranya lembut namun tegas, sebuah syair penghiburan di tengah badai kesedihan yang menerjang hati Reina. Ia bisa merasakan getaran tubuh Reina yang gemetar di pelukannya, seperti dedaunan yang tertiup angin kencang, rapuh dan mudah patah.
"Tapi kamu ga bakalan lupain aku kan..." Suara Reina semakin lirih, tangisnya pecah, suara isak tangisnya bercampur dengan suara gemuruh mesin motor yang pelan, seperti ratapan hati yang terpendam, sebuah jeritan jiwa yang terluka. Angin sepoi-sepoi membawa aroma bunga-bunga yang masih basah oleh hujan, menambah kesedihan suasana, sebuah simfoni duka yang menyayat hati, mengiris-iris kenangan indah yang akan segera sirna.
Kei, yang mendengar tangisan Reina, segera memindahkan tangan kirinya dari stang motor ke tangan Reina. "Reina..." Ia mengusap tangan Reina dengan lembut, jari-jarinya merasakan dinginnya air mata Reina di kulitnya, seperti butiran embun pagi yang dingin dan menyentuh, sebuah sentuhan lembut yang mencoba meredakan luka.
Lampu berganti hijau. Kei menjalankan motornya dengan perlahan, menikmati suasana mendung yang menenangkan, namun bagi Reina, suasana itu terasa mencekam, seperti bayangan kematian yang mendekat. Aroma tanah basah semakin kuat, bercampur dengan aroma bunga-bunga yang masih basah oleh hujan, sebuah wewangian yang menyiratkan kesedihan dan perpisahan, sebuah aroma yang akan selalu mengingatkannya pada hari ini. Tanaman di sekitar tampak layu, daun-daunnya menggantung lemas karena beban air hujan, seperti hati Reina yang terbebani oleh kesedihan yang mendalam, sebuah beban yang sulit untuk dilepaskan. Langit tampak gelap, awan-awan tebal menutupi matahari, membuat suasana semakin sendu, seperti hati Reina yang diliputi oleh kesedihan yang pekat, sebuah kesedihan yang begitu dalam dan mencekam. Hujan rintik-rintik masih turun, menambah kesan melankolis, seperti tetesan air mata yang tak pernah berhenti, sebuah tangisan yang tak pernah berakhir.
Lima belas menit kemudian, mereka tiba di taman Grenery. Taman itu tampak sunyi dan sepi, hanya suara angin yang berdesir di antara pepohonan yang terdengar, seperti bisikan kesedihan yang mengalun pelan, sebuah lagu perpisahan yang menyayat hati. Bangku-bangku taman terlihat basah, dikelilingi oleh bunga-bunga yang layu, seperti kenangan-kenangan indah yang mulai layu dan pudar, meninggalkan jejak kesedihan yang mendalam. Taman itu seperti menunggu kedatangan mereka, menanti perpisahan terakhir Reina dan Kei, sebuah pertemuan terakhir yang diiringi oleh kesedihan yang mendalam, sebuah perpisahan yang tak terelakkan. Sinar matahari yang tembus pandang menerobos celah-celah awan, menciptakan bayangan-bayangan yang aneh di taman, seolah menambah kesan misterius dan melankolis, sebuah pertanda akan sesuatu yang tak terduga.
Mereka berjalan bergandengan tangan, mencari pondok kayu yang tidak terlalu lembab. Jalan setapak yang mereka lalui masih basah, meninggalkan jejak langkah mereka di tanah, seperti jejak kaki yang akan segera hilang ditelan waktu. Keheningan taman hanya diiringi oleh suara langkah kaki mereka dan isak tangis Reina yang sesekali terdengar, sebuah melodi sedih yang mengalun pelan di antara dedaunan yang basah.
"Taman ini akan sangat merindukanmu... Reina," ucap Kei, senyum kecilnya tak mampu menutupi kesedihan yang terpancar di matanya, sebuah senyum yang mencoba menyembunyikan kesedihan yang begitu dalam. Ia menatap Reina dengan penuh kasih sayang, seolah ingin mengabadikan setiap momen bersama, sebuah kenangan yang akan selalu terukir di hatinya.
"Iya... aku juga..." Suara Reina terdengar lambat, penuh kerinduan, sebuah kerinduan yang begitu mendalam dan menyayat hati. "Ya... aku sangat beruntung berpacaran dengan kamu Kei. Kamu adalah pahlawan bagiku." Suara Reina sedikit bersemangat, berusaha mengusir kesedihan, sebuah usaha yang sia-sia untuk melawan takdir.
"Makasih Reina... aku juga begitu." Ucap Kei, nada suaranya datar, namun ada sedikit kelembutan yang tersembunyi, sebuah kelembutan yang mencoba meredakan luka di hati Reina.
"Syukurlah..." Reina menghela napas panjang, matanya berkaca-kaca, sebuah isyarat akan air mata yang akan segera membasahi pipinya.
"Sampai segitu nya mengelahkan napas ya..." Ucap Kei, berusaha memecahkan suasana, sebuah usaha untuk meredakan kesedihan yang menyelimuti mereka.
"Ih... wajar ga sih... soalnya pacar ku ini sangat dingin, sok cuek padahal pergantian." Reina berusaha bercanda, namun nada suaranya masih bergetar, sebuah usaha untuk menutupi kesedihan yang mendalam.
Kei hanya bisa tertawa kecil, mendengar ocehan Reina, sebuah tawa yang terdengar hampa dan getir.
Reina menunjuk ke arah pondok kayu yang terlihat kering, padahal satu jam yang lalu hujan sangat lebat. "Kei, lihat pondok itu..." Pondok kayu itu tampak mencolok di tengah taman yang basah, seolah muncul dari ketiadaan, sebuah misteri yang menambah kegelisahan di hati Reina.
Kei terkejut, matanya membulat. "Reina... kamu sadar ga?" Suaranya bergetar, penuh ketakutan.
"Ada apa Kei, kok kamu keliatan ketakutan gitu?" Reina penasaran, matanya menatap Kei dengan heran.
"Perasaan ku, tidak ada pondok yang berdiri di sana. Kalau ga salah, di sana adalah patung monumen, Reina." Ucap Kei, berusaha tenang, namun tangannya gemetar. Ia mengingat jelas patung monumen yang berdiri di tempat itu, bukan pondok kayu. Sebuah firasat buruk mulai muncul di benaknya.
Reina terdiam, tubuhnya menegang. "I... i... iya... kau... benar Kei, t... t... tapi, m... mana patung monumen nya?" Reina bertanya dengan suara gemetar, ketakutan mulai menguasainya. Ia merasakan hawa dingin yang menusuk tulang, meskipun matahari masih bersinar redup. Sebuah ketakutan yang tak terjelaskan mulai mencengkeram hatinya.
Seketika, hujan turun dengan lebat, bunyi petir menggelegar. Angin bertiup kencang, menggoyang-goyang pepohonan di sekitar. Suasana menjadi semakin mencekam, seperti pertanda akan datangnya bahaya. Kei menarik Reina ke arah pondok kayu. "Reina... ayok ke pondok itu, kita tidak punya pilihan lain."
"B.. baiklah." Reina terhuyung, kakinya terasa lemas. Ia merasa tak berdaya, seperti daun yang terombang-ambing di tengah badai.
Mereka berdua sampai di pondok kayu. Kei melihat dan meneliti pondok itu, ada sebuah tulisan cina yang terukir di dinding. Ia mengabaikannya, namun Reina mencium aroma darah yang menyengat di sekitar pondok. Aroma darah itu begitu kuat, menusuk hidung dan membuat Reina merasa mual, sebuah aroma yang menambah ketakutan dan kegelisahan di hatinya.
"K.. Kei..." Reina memanggil nama Kei dengan suara gugup.
"Iya Reina, apakah kamu merasa hal yang aneh?" Tanya Kei, suaranya tenang, namun ada sedikit kegelisahan yang tersembunyi.
"Aku mencium bau darah..." Reina merasakan kepalanya berputar, tubuhnya lemas. Kei memegang tubuh Reina dengan erat.
"Reina... kamu baik-baik saja!?" Sorak Kei, panik mulai menguasainya.
"Kepala ku pusing Kei..." Ucap Reina, suaranya melemah. Ia merasa semakin lemah, tubuhnya semakin lemas.
Tak lama kemudian, Kei juga merasakan sakit yang luar biasa. Ia merasakan kepalanya berdenyut, dan penglihatannya mulai kabur. Mereka berdua pingsan di dalam pondok kayu, Kei memeluk Reina erat-erat, sebuah pelukan terakhir sebelum mereka terjerumus ke dalam misteri yang mengerikan.
Tidak lama kemudian, Kei terbangun. Ia terkejut, ia berada di dalam ruangan tahta kerajaan. Dindingnya dilapisi warna putih mengkilap, karpet merah terbentang sejalur ke arah kursi tahta. Cahaya matahari tidak terlihat, ruangan itu diterangi oleh cahaya lampu kristal yang mewah, sebuah pemandangan yang begitu kontras dengan suasana taman yang suram.
"Di mana aku ini..." Ucap Kei, kebingungan. Ia tersadar bahwa ia pingsan di pondok kayu bersama Reina. Ia melihat ke arah samping kiri, Reina masih tertidur.
Kei, yang tak mampu berdiri, merangkak ke tempat Reina tertidur. Tubuhnya terasa berat, hampir tak mampu bergerak.
Sesampainya di sana, Kei duduk dan menyandarkan Reina ke tubuhnya. "Reina, bagun Reina..." Ia menggoyangkan tubuh Reina dengan lembut.
Reina pun terbangun. "Kei... badan ku terasa berat..." Ucap Reina, suaranya lemas. Ia melihat sekeliling, terkejut melihat pemandangan yang belum pernah dilihatnya. "Kei... kita di mana sekarang?" Ucap Reina ketakutan, tubuhnya sedikit gemetar.
"Aku juga tidak tahu, Reina." Ucap Kei, matanya menatap Reina yang masih lemas.
"Wah... kalian sudah sadar ya... lebih cepat dibanding yang aku bayangkan." Suara misterius itu muncul kembali, sebuah suara yang menambah kegelisahan dan ketakutan mereka.
"Hei... di mana kau... keluar!" Sorak Kei, suaranya tegas, penuh amarah.
Aura kegelapan dan cahaya keemasan muncul di hadapan Kei dan Reina. Ruangan itu tiba-tiba menjadi gelap, hanya aura kegelapan dan cahaya keemasan yang menerangi mereka, sebuah pemandangan yang begitu menakutkan dan misterius.
"Kei... benda apa itu... aku takut..." Reina menggigil ketakutan, memeluk Kei dengan erat.
"Siapa kalian?" Ucap Kei, suaranya bergetar, namun tetap berusaha tegar.
"Aku adalah The Dragon Abyss," ucap aura kegelapan, suaranya bergema di ruangan itu.
"Dan aku adalah The Angel Dragon," ucap cahaya terang keemasan, suaranya lembut, namun penuh kekuatan.
"Apa apaan ini..." Kei tidak percaya dengan apa yang baru saja mereka katakan.
"Kei... kita di mana sekarang, aku mau pulang..." Ucap Reina, memeluk Kei erat-erat, menyembunyikan wajahnya di dada Kei.
The Dragon Abyss dan The Angel Dragon menggabungkan diri.
"Aku akan memberikan intruksi selama kau berperang melawan musuh di sekitar."
Kei dan Reina terkejut, mata mereka membulat, jantung mereka berdebar kencang. Perang? Sebuah kenyataan yang begitu mengerikan dan tak terduga.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments
MomoCancer🦀
awal yang bagus 👍
2024-12-08
0