Kanara Rusadi, wanita beranak satu yang menikah dengan laki-laki keji karena dijual oleh ibu tirinya. Kanara kabur dari rumah akibat mendapatkan kekerasan dari suaminya. Ia bersama putranya harus hidup serba berkekurangan.
Demi sang putra dan berbekal ijasah SMA, Kanara bertekad masuk di sebuah perusahaan besar milik laki-laki yang pernah dia tabrak mobil super duper mahalnya.
Pertemuan awal mereka meninggalkan kekesalan Brandon. Namun seiring berjalannya waktu, Brandon mengetahui bahwa Kanara sedang bersembunyi dari suaminya dan saat ini berada di dalam bahaya yang mengancam nyawanya.
Brandon yang diam-diam mulai ada rasa pada Kanara, berusaha menyelamatkan wanita itu dari ancaman sang suami yang berkuasa di dunia gelap. Tanpa ia sadari Kanara adalah wanita yang pernah pernah terjerat dengannya sepuluh tahun lalu dan bocah bernama Bian itu adalah putra kandungnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mae_jer, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 32
Lelaki yang memakai masker hitam yang diam-diam mengamati ke dalam kamar Bian tadi mendatangi rumah seseorang. Lelaki itu menghadap seorang wanita yang sedang asyik bermain dengan kucingnya.
Betsy.
Perempuan yang diam-diam jatuh hati pada Damian si mafia kejam. Siang tadi Betsy ingin menjenguk seorang temannya di rumah sakit, namun dia tidak menyangka akan melihat Kanara dan anak sialannya itu. Anak Kanara terluka parah. Dan ada laki-laki lain juga yang menemani Kanara. Kebetulan sekali, kebetulan yang tidak pernah dia sangka-sangka.
Betsy mengangkat pandangannya perlahan dari kucing di pangkuannya, menatap lelaki itu dengan sorot penuh tuntutan.
"Siapa laki-laki yang bersama dengan wanita itu dan anaknya? Kau sudah cari tahu? " tanya Betsy. Raut wajahnya selalu culas.
"Saya belum tahu siapa dia nona. Tapi laki-laki itu tampaknya bukan orang biasa karena semalam saya melihat dia menyuruh beberapa anak buahnya berjaga di luar pintu kamar rawat anak itu. Pria itu juga tampak dekat dengan Kanara dan anaknya. Mereka terlihat bersama di rumah sakit sampai pagi tadi."
Wajah Betsy mengeras mendengar laporan itu. Ia berdiri, melangkah ke arah jendela, memandang ke luar lalu tersenyum sinis.
"Wanita itu punya laki-laki simpanan rupanya. Huh! Bagus sekali, dasar ja-lang. Bagaimana kalau Damian tahu istri yang dia cari-cari ternyata sedang asyik-asyikan dengan laki-laki lain? Tapi tidak, Damian tidak boleh tahu keberadaan wanita itu dan anaknya. Aku tidak akan membiarkan mereka bertemu lagi." kata Betsy.
Dia tahu Damian sangat kejam. Terhadap istri dan anak itu, pria itu juga selalu berbicara dengan nada dan kalimat yang kasar. Tapi hatinya selalu luluh pada mereka, sekalipun Damian marah besar, pria itu tidak pernah sampai main tangan menyiksa istri dan anaknya. Paling-paling kalau dia sangat marah pada Kanara, lelaki itu hanya akan menghukumnya dengan berhubungan intim. Mata-mata yang Betsy tempatkan di rumah Damian yang cerita padanya. Tidak, Betsy tidak sudi Damian terus-terusan meniduri wanita itu. Tidak pantas. Damian terlalu baik untuk wanita itu. Kalau menghukumnya dengan berhubungan intim, wanita itu terlalu senang hidupnya. Hampir semua wanita ingin merasakan benda pamungkas Damian menyatu dengan mereka.
Betsy telah lama menaruh hati pada Damian, lelaki yang dingin dan penuh bahaya itu. Ia ingin Damian hanya miliknya, bukan milik Kanara atau siapa pun itu.
"Terus awasi mereka," ujar Betsy dengan nada memerintah, tanpa menoleh sedikitpun ke lelaki bermasker itu.
"Aku ingin tahu semua tentang laki-laki itu. Namanya, pekerjaannya, semuanya. Juga, kalau ada kesempatan, singkirkan mama dan anak itu. Aku ingin mereka menghilang selamanya dari bumi ini. Mereka hanya lalat yang mengganggu hidup Damian." kata si wanita berdarah dingin.
Lelaki bermasker itu mengangguk pelan dan menghilang. Sementara itu, Betsy kembali duduk, menyusun rencana dalam diam. Kali ini, ia akan memastikan Kanara tidak lagi menjadi ancaman bagi dirinya.
"Maaf Damian, tapi aku harus menyingkirkan istri dan anakmu. Ini semua demi kebaikanmu." gumam Betsy. Dia tidak akan pernah membiarkan Damian mengetahui keberadaan Kanara dan anak haram itu.
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Di tempat lain,
Brandon duduk di salah satu kursi ruang rapat sekolah, bersama orang tua murid lainnya. Aula kecil itu cukup ramai dengan obrolan dan suara pembicara di depan yang tengah menjelaskan rencana kegiatan tahunan. Namun, Brandon sama sekali tidak mendengar apa yang dikatakan. Pikirannya terpusat pada Kanara dan Bian, dua sosok penting yang baru saja ia tinggalkan di rumah sakit.
Tadi siang, adiknya, Yara, menelepon meminta tolong agar ia menghadiri rapat sekolah Zane. Yara dan suaminya, Darren, terjebak urusan pekerjaan yang mendesak, hingga Brandon tidak bisa menolak. Walaupun keberadaannya di sini penting untuk keponakannya, hatinya tetap saja gelisah meninggalkan Kanara dan Bian begitu saja. Anak itu terluka, dan Kanara tampak rapuh, sosok ibu muda yang ia lihat memikul beban di pundaknya.
Brandon menarik napas panjang, mencoba menenangkan kegelisahannya. Kata-kata Bas masih terngiang di kepalanya. Tentang bagaimana Kanara dijual pada kepala mafia, dan masa lalunya yang masih penuh misteri.
Hal itu membuat Brandon semakin yakin bahwa wanita itu membutuhkan perlindungan. Setelah meninggalkan rumah sakit, ia langsung menelpon anak buahnya, memerintahkan mereka untuk menjaga Kanara dan Bian secara diam-diam. Tapi meskipun sudah memastikan mereka dilindungi, pikirannya tetap saja tidak tenang.
"Uncle, uncle?" suara kecil itu memanggilnya. Brandon tersentak dari lamunannya dan menoleh. Zane, keponakannya, duduk di sebelahnya dengan ekspresi bingung. Bocah itu melambaikan tangan di depan wajah Brandon, mencoba menarik perhatiannya.
"Uncle denger nggak tadi? ibu guru ngomong tentang acara hiking bulan depan," kata Zane sambil menunjuk ke arah papan presentasi.
"Oh, ya, ya, uncle dengar kok sayang," balas Brandon sambil tersenyum, meski jelas-jelas ia tidak mendengar apa-apa. Zane memandangnya dengan tatapan aneh, tapi tidak berkata apa-apa lagi.
Brandon mencoba fokus, tapi pikirannya kembali melayang.
"Uncle," panggil Zane lagi, kali ini dengan suara lebih keras.
"Uncle beneran nggak denger kan, pasti? Tadi bu guru tanya siapa yang mau jadi volunteer buat hiking. Aku bilang uncle aja!"
Brandon mengerjap kaget.
"Apa? Kamu bilang apa tadi?" tanyanya dengan wajah kaget.
"Aku bilang uncle mau jadi volunteer buat hiking!" jawab Zane sambil tersenyum lebar. Anak kecil itu jelas tidak sadar bahwa Brandon sedang jauh dari suasana hatinya yang biasa.
Brandon menghela napas. Ia juga tidak ingin mengecewakan Zane, meskipun ia sama sekali tidak berniat terlibat dalam kegiatan sekolah seperti ini.
"Baiklah, terserah kamu saja." katanya akhirnya, meski pikirannya masih sibuk memikirkan Kanara dan Bian.
Di akhir rapat, Brandon menggenggam ponselnya erat-erat. Begitu rapat selesai, ia berniat menelpon anak buahnya lagi untuk memastikan situasi di rumah sakit. Setidaknya, dengan begitu, ia bisa sedikit lebih tenang.
Ia sempat bicara dengan beberapa guru penanggung jawab untuk kegiatan sekolah Zane. Setelah pembicaraan tersebut berakhir, Brandon langsung pergi dari sekolah. Dia ingin cepat-cepat kembali ke rumah sakit. Tidak sanggup lama-lama berada di tempat ini.
Brandon mengantar Zane pulang dulu, lalu melanjutkan perjalanannya ke rumah sakit. Sebenarnya bisa saja dia membawa keponakannya ikut bersamanya, hanya saja Zane bilang dia pengen pulang ke rumah. Jadi Brandon mengantarnya pulang, sekalian pria itu mengganti pakaian yang santai.
Sekarang ini dua hal yang paling membuat Brandon tidak sabar adalah, bertemu Kanara dan Bian, serta mengetahui hasil tes DNA Bian keluar.