Amara adalah seorang wanita muda yang bekerja di sebuah kafe kecil dan bertemu dengan Adrian, seorang pria sukses yang sudah menikah. Meski Adrian memiliki pernikahan yang tampak bahagia, ia mulai merasakan ketertarikan yang kuat pada Amara. Sementara itu, Bima, teman dekat Adrian, selalu ada untuk mendukung Adrian, namun tidak tahu mengenai perasaan yang berkembang antara Adrian dan Amara.
Di tengah dilema cinta dan tanggung jawab, Amara dan Adrian terjebak dalam perasaan yang sulit diungkapkan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah hidup mereka selamanya, dan berpotensi menghancurkan hubungan mereka dengan Bima. Dalam kisah ini, ketiganya harus menghadapi perasaan yang saling bertautan dan mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cocopa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Mencari Jawaban
Amara duduk di balik meja kasir, menatap layar ponselnya yang tidak menunjukkan pesan baru. Meskipun kafe sudah mulai sepi, pikirannya tetap sibuk. Ia tidak bisa menepis bayangan Adrian yang selalu hadir di benaknya, terutama setelah pertemuan mereka yang singkat beberapa hari lalu. Sejak saat itu, segalanya seolah berubah, dan ia merasa seperti berada di persimpangan jalan yang tidak bisa ia pilih.
Hari itu, matahari mulai meredup, menyinari kafe dengan cahaya oranye yang hangat. Pintu kafe kembali berbunyi, dan Amara terbangun dari lamunannya. Seorang pelanggan baru masuk, seorang pria paruh baya dengan jas rapi dan kacamata hitam. Amara tersenyum, menyambutnya seperti biasa, meski hatinya masih penuh dengan kebingungannya sendiri.
Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Seseorang yang tidak pernah Amara duga akan muncul—Adrian.
Pria itu berdiri di pintu, memandang ke arah Amara dengan tatapan yang sulit dibaca. Amara merasa jantungnya berdebar lebih cepat, dan tiba-tiba ia merasa tidak siap untuk bertemu Adrian dalam suasana seperti ini. Namun, ia tahu bahwa ia harus menghadapi kenyataan—bahwa, dalam hidupnya, Adrian adalah sosok yang tak bisa dihindari, meski ia berusaha keras untuk melupakan perasaan itu.
"Halo," kata Adrian dengan suara rendah, namun tetap memiliki pengaruh yang kuat. "Aku ingin pesan kopi, seperti biasa."
Amara mengangguk, berusaha untuk tetap profesional. "Tentu, Adrian. Kopi hitam, kan?"
Adrian mengangguk, lalu mengambil tempat di salah satu meja yang dekat jendela. Amara mengamati dari balik meja, perasaannya semakin membingung. Ia tahu ia harus segera melupakan ketegangan ini, tetapi ia juga sadar bahwa perasaan itu lebih sulit untuk disingkirkan daripada yang ia kira.
Dengan langkah pasti, Amara menyelesaikan pesanan kopi Adrian dan membawanya ke meja yang telah ia tentukan. Sesaat, keduanya hanya terdiam, seolah tidak tahu harus mulai dari mana. Ada semacam ketegangan yang tak terucapkan di antara mereka—sebuah kedamaian yang aneh, penuh dengan rasa ingin tahu yang belum terungkap.
"Amara," akhirnya Adrian memecah keheningan, suaranya yang dalam dan penuh makna terdengar lebih serius dari biasanya. "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."
Amara menatap Adrian dengan tatapan ragu. "Tentang apa?" tanyanya, meskipun di dalam hatinya, ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini.
Adrian menarik napas panjang, matanya tidak bisa lepas dari wajah Amara. "Aku tahu aku mungkin tidak seharusnya mengatakan ini, tapi aku merasa bahwa perasaan ini tidak bisa aku sembunyikan lagi."
Mata Amara terbelalak, dan hatinya berdegup lebih kencang. Kata-kata yang keluar dari mulut Adrian bukanlah sesuatu yang ia harapkan. Ia berpikir bahwa pertemuan mereka sebelumnya hanya kebetulan, tetapi kini, semuanya sepertinya berputar di luar kendalinya.
"Apa maksudmu?" Amara bertanya, suaranya hampir tidak terdengar, berusaha menenangkan dirinya.
Adrian menghela napas lagi, kali ini lebih berat. "Aku tidak bisa terus berpura-pura tidak merasakannya. Sejak pertama kali aku datang ke kafe ini, aku merasa ada sesuatu yang berbeda. Dan aku tidak bisa berhenti memikirkanmu."
Kata-kata itu membuat Amara terdiam. Sejujurnya, ia merasa terkejut, tetapi di sisi lain, perasaan itu juga menenangkan. Apa yang ada dalam pikirannya selama ini ternyata juga dirasakan oleh Adrian. Namun, perasaan itu bukanlah sesuatu yang bisa ia terima begitu saja. Ada banyak hal yang perlu dipikirkan, terutama tentang pernikahan Adrian dan dinamika yang begitu rumit dalam hidup mereka.
"Adrian..." Amara menghela napas, berusaha untuk menata kata-katanya. "Kamu sudah menikah. Apa yang sedang kamu katakan ini... aku tidak bisa begitu saja mengabaikannya."
Adrian menundukkan kepala, menatap kopinya yang mulai dingin. "Aku tahu. Aku tahu betul apa yang kamu rasakan. Tapi aku tidak bisa menipu diriku sendiri lagi. Ini bukan hanya perasaan sesaat, Amara. Aku tidak tahu harus bagaimana, tetapi aku merasa aku tidak bisa mengabaikan ini."
Keheningan kembali menyelimuti meja mereka. Amara merasa bingung, cemas, dan tidak tahu harus berkata apa. Di satu sisi, ada perasaan yang mulai tumbuh, namun di sisi lain, ia merasa terjebak dalam situasi yang salah. Ia tidak ingin menghancurkan hubungan Adrian, namun di sisi lain, ia juga merasa bahwa ini adalah kesempatan yang tak datang dua kali.
"Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan," ujar Amara akhirnya, matanya mulai berkaca-kaca. "Aku... aku bingung. Aku tidak ingin ada yang terluka, tetapi perasaan ini... aku tidak bisa menutupinya."
Adrian menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia terlihat begitu rentan. "Aku tidak ingin melukai siapapun, Amara. Tapi aku merasa kamu adalah bagian penting dari hidupku, dan aku tidak bisa hanya membiarkannya begitu saja."
Amara menggigit bibir bawahnya, berjuang untuk menahan air mata yang hampir tumpah. Semua yang terjadi begitu cepat, dan ia merasa seperti berada di tengah badai perasaan yang tidak bisa ia kendalikan. Namun, satu hal yang pasti—kehadiran Adrian telah mengubah segalanya dalam hidupnya.