NovelToon NovelToon
Di Antara 2 Hati

Di Antara 2 Hati

Status: sedang berlangsung
Genre:Selingkuh / Cinta Terlarang / Pelakor / Pelakor jahat
Popularitas:3.1k
Nilai: 5
Nama Author: cocopa

Amara adalah seorang wanita muda yang bekerja di sebuah kafe kecil dan bertemu dengan Adrian, seorang pria sukses yang sudah menikah. Meski Adrian memiliki pernikahan yang tampak bahagia, ia mulai merasakan ketertarikan yang kuat pada Amara. Sementara itu, Bima, teman dekat Adrian, selalu ada untuk mendukung Adrian, namun tidak tahu mengenai perasaan yang berkembang antara Adrian dan Amara.

Di tengah dilema cinta dan tanggung jawab, Amara dan Adrian terjebak dalam perasaan yang sulit diungkapkan. Keputusan yang mereka buat akan mengubah hidup mereka selamanya, dan berpotensi menghancurkan hubungan mereka dengan Bima. Dalam kisah ini, ketiganya harus menghadapi perasaan yang saling bertautan dan mencari tahu apa yang sebenarnya mereka inginkan dalam hidup.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon cocopa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bayangan Yang Semakin Mendekat

Pagi itu, Amara membuka kafe lebih awal. Biasanya, ia menikmati ketenangan pagi sebelum pelanggan mulai berdatangan, tapi hari ini pikirannya terlalu kalut. Pesan dari Adrian masih menghantui benaknya. Ia tahu seharusnya ia tidak perlu bertemu, tapi rasa penasaran dan kebutuhan untuk mendengar penjelasan langsung membuatnya sulit menolak.

Kafe perlahan mulai ramai. Beberapa pelanggan tetap datang seperti biasa. Suara mesin kopi yang berdengung dan percakapan santai para pelanggan biasanya cukup untuk mengalihkan perhatiannya, tapi tidak hari ini.

"Amara, kamu nggak apa-apa?" tanya Rini, salah satu rekan kerjanya di kafe.

Amara tersentak dari lamunannya. "Oh, iya, aku nggak apa-apa, kok," jawabnya dengan senyum kecil yang dipaksakan.

Rini tidak tampak yakin. "Kalau ada apa-apa, bilang aja, ya. Kita teman, nggak usah dipendam sendiri."

Amara mengangguk, meskipun ia tahu dirinya tidak akan mengatakan apa-apa. Masalah ini terlalu pribadi, terlalu rumit untuk dibagikan dengan orang lain.

Di sisi lain kota, Bima duduk di kantor dengan ekspresi kusut. Ia tidak bisa berkonsentrasi pada pekerjaan. Pikirannya terus melayang ke perbincangan semalam dengan Adrian. Kata-kata Adrian terus terngiang di telinganya: "Amara itu teman aku, dan aku nggak akan pernah menyakitinya."

Bima ingin percaya, tapi bayangan kedekatan mereka terus menghantuinya. Apalagi, ia merasa hubungannya dengan Amara semakin renggang belakangan ini.

"Satria," panggil Bima tiba-tiba kepada asistennya yang sedang menyiapkan dokumen di meja.

"Ya, Pak?" Satria langsung menghentikan pekerjaannya dan mendekat.

"Aku minta tolong, cari tahu jadwal Adrian hari ini," kata Bima dengan nada serius.

Satria tampak bingung, tapi tidak berani bertanya. "Baik, Pak. Saya akan cari tahu segera."

Bima tahu tindakannya mungkin berlebihan, tapi ia merasa perlu memastikan semuanya. Ia tidak ingin mengambil risiko kehilangan Amara.

Di kafe, waktu menunjukkan pukul sebelas siang ketika Adrian muncul. Amara yang sedang membersihkan meja hampir menjatuhkan gelas di tangannya saat melihat sosok itu.

Adrian melangkah masuk dengan santai, mengenakan kemeja biru muda yang sedikit digulung di lengan. Ia tersenyum kecil, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang serius.

"Amara, bisa bicara sebentar?" tanyanya pelan.

Amara melirik sekeliling, memastikan Rini dan rekan lainnya tidak terlalu memperhatikan. Ia mengangguk singkat, lalu berjalan ke arah pojok kafe yang lebih sepi.

"Ada apa, Adrian? Kenapa kamu kirim pesan kayak gitu?" Amara membuka pembicaraan dengan nada sedikit tegang.

Adrian menarik napas panjang sebelum menjawab. "Amara, aku nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi aku perlu bilang sesuatu yang penting."

Amara menatapnya dengan hati-hati. "Apa itu?"

Adrian ragu sejenak, lalu melanjutkan, "Aku tahu Bima mungkin merasa aku terlalu sering ada di sekitar kamu. Dan aku nggak mau kamu jadi terjebak di tengah. Tapi aku juga nggak bisa membohongi perasaan aku."

Kata-kata Adrian membuat Amara tertegun. Ia mencoba memproses apa yang baru saja didengarnya.

"Adrian, kamu ngomong apa?" tanyanya dengan suara gemetar.

"Aku nggak bisa terus pura-pura, Amara," kata Adrian. "Aku suka sama kamu."

Amara merasa dunia seolah berhenti sejenak. Kata-kata Adrian menggema di kepalanya, membuatnya sulit berpikir jernih.

"Tapi Adrian, aku istri Bima," jawab Amara pelan, suaranya hampir berbisik.

"Aku tahu," jawab Adrian dengan nada yang sama. "Dan aku nggak minta kamu ninggalin dia. Aku cuma... aku cuma pengen kamu tahu apa yang aku rasain. Itu aja."

Amara tidak tahu harus berkata apa. Perasaan bersalah dan kebingungan membanjiri hatinya. Ia ingin marah, tapi di sisi lain, ia juga merasa ada sesuatu dalam dirinya yang mulai bergeser.

 

Sementara itu, Bima yang sedang memantau dari jarak jauh melalui laporan Satria semakin gelisah. Ketika ia mendengar bahwa Adrian berada di kafe, ia langsung merasa ada sesuatu yang tidak beres.

"Bima, kamu mau aku pantau terus?" tanya Satria dengan nada ragu.

Bima menggeleng. "Nggak usah. Aku sendiri yang akan ke sana."

 

Amara dan Adrian masih berbicara ketika pintu kafe terbuka dengan keras. Suara bel pintu membuat mereka berdua menoleh, dan di sana, berdiri Bima dengan ekspresi yang tidak bisa ditebak.

"Adrian, kita perlu bicara," kata Bima, suaranya tegas.

Amara langsung merasa panik. Ia tahu ini tidak akan berakhir baik.

"Di sini bukan tempatnya," jawab Adrian sambil melirik Amara.

"Tidak, justru di sini tempatnya," tegas Bima. "Aku ingin tahu apa yang kamu lakukan di sekitar istri aku selama ini."

Kafe menjadi hening. Para pelanggan mulai memperhatikan mereka, dan Amara merasa dirinya ingin menghilang saat itu juga.

"Amara, aku nggak mau kamu terjebak di tengah," kata Adrian pelan, tetapi cukup jelas untuk didengar Bima.

"Terjebak di tengah apa?" tanya Bima dengan nada tinggi. "Kamu mau bilang kalau aku yang salah di sini?"

Amara mencoba menenangkan Bima, tapi suaranya tersangkut di tenggorokan.

Adrian berdiri diam, tetap tenang meski tatapan Bima begitu tajam menusuk. Suasana di kafe semakin tegang. Amara, yang berdiri di antara mereka, merasa seperti terperangkap di tengah dua badai besar yang siap saling menghancurkan.

"Bima, aku nggak mau ribut di sini," ujar Adrian dengan nada yang tetap terkendali. "Tapi aku juga nggak bisa mundur kalau kamu terus menganggap aku punya maksud buruk."

Bima melangkah maju, berdiri lebih dekat ke arah Adrian. "Maksud buruk? Kamu datang ke kafe ini hampir setiap hari, berbicara dengan Amara seolah-olah dia nggak punya suami. Kamu pikir itu bukan masalah?"

Para pelanggan mulai saling berbisik, dan Rini mencoba mendekati Amara untuk menawarkan bantuan, tapi Amara memberi isyarat halus agar temannya menjauh. Ia tahu, semakin banyak orang terlibat, situasi ini hanya akan semakin rumit.

"Amara," suara Bima terdengar lebih lembut ketika ia menatap istrinya, tetapi ada ketegasan dalam nada bicaranya, "aku nggak bisa terus begini. Aku nggak bisa terus pura-pura kalau nggak ada yang salah."

Amara menundukkan kepala, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk meredakan ketegangan. Tapi bagaimana caranya? Apa yang bisa ia katakan?

"Aku nggak bermaksud ngelangkahin batas apa pun," jawab Adrian. "Tapi kalau kamu merasa begitu, aku minta maaf. Aku cuma peduli sama Amara. Aku nggak mau dia merasa sendirian."

Kata-kata Adrian membuat Bima mendengus sinis. "Sendirian? Aku suaminya. Aku ada di sini untuk dia. Jadi apa yang kamu maksud dengan sendirian?"

Amara, yang tak tahan lagi dengan situasi ini, akhirnya angkat bicara. "Cukup! Kalian berdua, tolong berhenti."

Keduanya terkejut dengan nada suara Amara yang tiba-tiba meninggi. Amara menatap Bima dengan tatapan penuh kelelahan. "Bima, aku nggak pernah bermaksud membuat kamu merasa tersisih. Tapi aku juga nggak bisa terus-terusan dihakimi tanpa alasan. Adrian datang ke sini karena dia teman, nggak lebih dari itu."

Kemudian, Amara menoleh ke Adrian. "Dan kamu, Adrian, kamu nggak seharusnya ngomong hal-hal seperti tadi ke aku. Aku istri Bima. Perasaan aku ke kamu... itu nggak pernah bisa lebih dari sekadar teman."

Suasana hening sejenak. Kata-kata Amara menggantung di udara, menyisakan ketegangan yang hampir tak tertahankan.

"Aku ngerti," ujar Adrian akhirnya, suaranya terdengar berat. "Kalau itu keputusan kamu, aku akan hormati. Tapi aku nggak akan minta maaf karena aku peduli sama kamu."

Adrian berbalik dan berjalan keluar dari kafe, meninggalkan Amara dan Bima yang masih berdiri di tempat mereka.

"Bima, aku—" Amara mencoba berbicara, tapi Bima mengangkat tangan, menghentikannya.

"Kita ngomong di rumah," katanya singkat sebelum ia juga pergi meninggalkan kafe.

Amara berdiri di sana, sendirian, merasa seperti telah kehilangan sesuatu yang penting meskipun ia tidak tahu apa itu. Hatinya dipenuhi dengan rasa bersalah, kebingungan, dan kelelahan. Ia tahu malam ini akan menjadi malam yang panjang, dan pembicaraan dengan Bima di rumah tidak akan mudah.

 

Sementara itu, Adrian mengendarai mobilnya tanpa tujuan yang jelas. Hatinya penuh dengan emosi yang bercampur aduk. Ia tahu Amara memilih Bima, seperti yang seharusnya, tapi itu tidak membuat segalanya menjadi lebih mudah.

Ponselnya bergetar di kursi sebelah, menampilkan nama seseorang yang ia kenal baik. Satria. Dengan malas, Adrian menjawab.

"Adrian, gue baru dengar dari seseorang kalau Bima mulai nyelidikin aktivitas lo," ujar Satria langsung tanpa basa-basi.

Adrian mengerutkan kening. "Apa maksud lo?"

"Dia minta beberapa orang buat ngecek jadwal lo, siapa lo ketemu, bahkan apa yang lo lakuin di luar kantor. Gue rasa dia mulai curiga lebih jauh," jelas Satria.

Adrian hanya mendengarkan dengan diam. Ia tahu hubungannya dengan Amara selalu berada di garis tipis, tapi ia tidak menyangka Bima akan sejauh itu.

"Gue cuma mau bilang hati-hati, Adrian. Situasi lo sekarang nggak mudah, apalagi kalau Bima udah mulai main cara kayak gini."

"Thanks, Satria," jawab Adrian singkat sebelum menutup telepon.

Di dalam mobil yang gelap dan sunyi, Adrian memikirkan langkah berikutnya. Ia tahu, apa pun pilihannya, konsekuensinya akan berat—bagi dirinya, bagi Amara, dan bagi Bima.

Dan di sisi lain, Amara yang duduk sendiri di kafe, menyadari bahwa hidupnya akan berubah lebih banyak dari yang pernah ia bayangkan.

1
Zein Shion
Gemesin banget sih tokoh utamanya, bikin hati meleleh😍
ANDERSON AGUDELO SALAZAR
Sekali baca, rasanya nggak cukup! Update dong, thor! 👀
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!