Di Antara 2 Hati
Amara memandang Bima dari ujung meja, merasakan keheningan yang menyelimuti mereka. Makan malam yang ia persiapkan dengan sepenuh hati terasa hampa. Di hadapannya, Bima makan dengan cepat, sesekali mengangkat wajahnya, namun lebih sering menunduk, fokus pada piringnya. Mata Amara tertuju pada wajah Bima yang terlihat lelah—garis di wajahnya semakin dalam, menunjukkan betapa beratnya beban yang ia pikul setiap harinya.
> "Kapan terakhir kita makan bareng tanpa terburu-buru, ya?" tanya Amara, mencoba membuka percakapan meski ia tahu betapa klise pertanyaan itu.
Bima mengangkat kepalanya, tampak sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. Ia berhenti sejenak, menatap Amara, lalu kembali melanjutkan makannya tanpa menjawab.
Amara bisa merasakan ada jarak yang semakin lebar di antara mereka. Semakin lama ia menunggu, semakin sering ia mendapati dirinya menatap ponsel, berharap Bima akan memberi kabar bahwa ia akan pulang lebih awal, atau bahkan hanya memberi kabar sejenak di tengah malam. Tapi yang ada, Bima justru tenggelam dalam dunia kerjanya, seakan Amara adalah bagian dari rutinitas yang bisa ditunda.
Bima akhirnya menyelesaikan makan malamnya, lalu mengeluarkan ponsel dari saku jasnya. Ia menatap layar sejenak, seakan menunggu sesuatu. Ketika melihat Amara yang masih menatapnya dengan pandangan lembut namun penuh pertanyaan, Bima kembali menaruh ponselnya, tampak sedikit canggung.
> "Amara, aku cuma… banyak yang harus diselesaikan besok," katanya, suaranya lebih rendah dari biasanya. "Besok aku janji, kita bisa jalan-jalan bareng. Aku mau coba lebih sering ada di rumah."
Amara tersenyum tipis, meski hatinya sedikit terluka. Ini bukan pertama kalinya Bima berjanji akan lebih banyak meluangkan waktu. Setiap kali janji itu terucap, selalu ada alasan lain yang menghalanginya. Mungkin pekerjaan, atau ada urusan bisnis yang tak bisa ditunda.
> "Aku ngerti kok," jawab Amara pelan, meski ia tahu seiring berjalannya waktu, janji-janji itu semakin terasa seperti kata-kata kosong. "Aku cuma nggak mau kita makin jauh aja. Jangan sampai kita kehilangan satu sama lain karena sibuk."
Bima diam, lalu menatap Amara, seolah meresapi kata-katanya. Tapi, tak ada jawaban yang keluar dari mulutnya. Ia hanya menghela napas dan berdiri untuk mencuci tangan.
Di ruang tamu, suasana mulai sunyi. Amara duduk di sofa, memandangi televisi yang tak ia tonton. Pikirannya melayang, teringat pada hari-hari ketika Bima masih pulang lebih awal, masih sempat berbicara panjang lebar tentang apa yang terjadi di hari itu. Kehidupan mereka dulu terasa lebih hidup, lebih penuh tawa, lebih dekat. Tapi sekarang, semuanya terasa seperti rutinitas yang harus dijalani tanpa ada ruang untuk berbagi perasaan.
Amara meraih ponselnya dan membuka galeri foto. Ia menemukan foto-foto lama mereka, waktu mereka berdua berlibur di pantai, tertawa lepas tanpa beban. Bima yang menggenggam tangannya erat, berjanji akan selalu ada. Foto itu mengingatkannya pada janji-janji yang dulu mereka buat, dan ia merasakan ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang tak bisa ia sentuh, namun begitu nyata.
Sementara itu, Bima keluar dari kamar mandi dan duduk di samping Amara. Ada rasa canggung di antara mereka, meskipun mereka sudah bersama bertahun-tahun. Ia melihat Amara yang masih menatap ponselnya, seakan menghindari tatapannya.
> "Amara…" Bima memulai, suara rendah namun penuh penyesalan. "Aku nggak ingin kamu merasa terabaikan, aku cuma… terlalu fokus dengan pekerjaan."
Amara menoleh ke arah Bima, melihat tatapan penuh kekhawatiran di matanya. Untuk sesaat, ia merasakan kehangatan itu kembali, tapi ia tahu perasaan itu tak bisa disembuhkan dengan kata-kata belaka.
> "Aku tahu, Bim," jawab Amara, suaranya lembut. "Aku cuma takut kalau kita mulai kehilangan arah. Semua janji-janji itu… apakah kita masih bisa menjaga semuanya?"
Bima menghela napas dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Aku berjanji akan lebih baik lagi, Amara. Kamu nggak perlu khawatir."
Tapi kata-kata itu terasa kosong, dan Amara tahu, seiring berjalannya waktu, ia mulai merasa takut bahwa janji itu tidak akan pernah terwujud. Mereka berdua terdiam, menatap satu sama lain tanpa kata-kata, dalam kesunyian yang semakin dalam.
Di luar sana, kehidupan terus berjalan, namun di dalam rumah mereka, sepasang suami istri ini berjuang untuk menemukan kembali jejak cinta yang mulai terhapus oleh waktu dan ambisi.
Amara duduk di sana, menatap ponselnya dengan mata kosong. Waktu terus berjalan, tetapi rasa sepi itu tak juga pergi. Sejak pernikahan mereka berjalan, ia merasa seperti hanya ada dua dunia yang berbeda di dalam rumah ini—dunia Bima, yang dipenuhi dengan pekerjaan, kesuksesan, dan ambisi, dan dunia dirinya sendiri, yang sepi tanpa perhatian, tanpa ada waktu untuk berbicara lebih dalam tentang kehidupan mereka.
Pernikahan mereka, yang dulu terasa begitu sempurna, kini terasa seperti rutinitas yang tak berujung. Setiap pagi Bima berangkat ke kantor dengan penuh semangat, dan setiap malam ia pulang, lelah dan hanya ingin tidur. Amara tahu Bima mencintainya, tapi rasa cinta itu seakan terkubur dalam tumpukan pekerjaan yang semakin menggunung.
Amara ingin berbicara lebih banyak, ingin mengungkapkan perasaannya yang tertahan. Namun setiap kali ia mencoba, Bima selalu tampak terlalu sibuk. Ia merasa seperti bayangan dalam kehidupan suaminya—ada, tapi tidak sepenuhnya ada. Ia ingin Bima kembali melihatnya, ingin kembali merasakan kehangatan yang dulu ada di antara mereka. Tapi seiring berjalannya waktu, ia mulai merasa bahwa mungkin ia yang harus mengubah dirinya sendiri untuk bisa bertahan dalam hubungan ini.
Pikiran Amara pun terus berlarian. Ia tahu, seiring dengan semakin seringnya Bima bekerja, semakin besar kemungkinan bagi perasaan lain untuk muncul dalam kehidupan suaminya. Ia tak ingin mengakui, tetapi ketakutan itu ada di dalam dirinya. Tak ada yang lebih menakutkan daripada membiarkan jarak semakin lebar antara mereka. Apalagi jika Bima mulai merasa lebih nyaman dengan orang lain. Amara sudah mendengar cerita-cerita tentang bagaimana suami yang sibuk akhirnya terjebak dalam hubungan dengan orang luar.
Di saat itulah, sebuah pesan masuk ke ponsel Amara. Ia mengangkatnya dengan cepat, berharap itu dari Bima, namun ternyata itu adalah pesan dari salah satu temannya.
> "Amara, ada kabar baru. Sekar baru mulai bekerja di perusahaan Bima, kan? Aku dengar dia bukan hanya pintar, tapi juga sangat ambisius. Jangan-jangan dia jadi favorit Bima sekarang…"
Amara membacanya berulang-ulang. Sekar? Siapa lagi dia? Baru saja beberapa hari lalu, Amara mendengar dari salah satu kolega Bima bahwa Bima baru saja merekrut seorang sekretaris baru yang berbakat dan sangat ambisius. Amara tidak terlalu memikirkannya pada awalnya, tetapi saat ini, pesan tersebut membuatnya merasa gelisah. Mengapa orang itu menyebut Sekar sebagai "favorit" Bima? Apa maksudnya?
Amara menggigit bibirnya, berusaha menenangkan diri. Ia tahu, dalam dunia kerja Bima yang penuh persaingan dan ambisi, banyak orang yang memiliki cara untuk mendapatkan perhatian. Namun, apakah Sekar benar-benar hanya sekadar sekretaris biasa?
Setiap pertanyaan itu mulai berputar dalam benaknya, meresap lebih dalam dari sebelumnya. Mungkin ia mulai khawatir lebih dari yang seharusnya, namun semakin ia berpikir, semakin ia merasa ada sesuatu yang tidak beres. Kenapa Bima tak pernah bercerita tentang Sekar lebih jauh? Kenapa ia tak pernah memberi tahu Amara tentang hubungan profesional mereka?
Amara memutuskan untuk menenangkan pikirannya. "Mungkin hanya khawatir berlebihan," katanya dalam hati, berusaha menghibur diri. Namun, jauh di dalam hatinya, perasaan tak menentu itu tetap ada, semakin dalam, semakin gelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 20 Episodes
Comments