“Tega kau Mas! Ternyata pengorbanan ku selama ini, kau balas dengan pengkhianatan! Lima tahun penantianku tak berarti apa-apa bagimu!”
Nur Amala meremat potret tunangannya yang sedang mengecup pucuk kepala wanita lain, hatinya hancur bagaikan serpihan kaca.
Sang tunangan tega mendua, padahal hari pernikahan mereka sudah didepan mata.
Dia tak ubahnya seperti 'Habis manis sepah di buang'.
Lima tahun ia setia menemani, dan menanti sang tunangan menyelesaikan studinya sampai menjadi seorang PNS. Begitu berhasil, dia yang dicampakkan.
Bukan hanya itu saja, Nur Amala kembali dihantam kenyataan pahit. Ternyata yang menjadi selingkuhan tunangannya tidak lain ...?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cublik, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17
“Baiklah, nanti bila bertemu Bang Agam, aku akan katakan kepadanya kalau kau pernah …?” Dhien sengaja menggantungkan kalimatnya.
“Apa?” tanya Amala, dia merasakan firasat yang tidak baik.
“Kalau dulu sewaktu kita kecil. Kau pernah mengintipnya mandi di sungai!” seru Dhien, rautnya sangat menyebalkan.
“Buka mengintip ya, tetapi nggak sengaja lihat. Lagipula bukan cuma aku saja, ada kau, Meutia, dan juga Wahyuni,” kilah Amala tak terima.
Kejadian itu sudah lama sekali. Bila musim kemarau tiba, warga desa biasanya akan mandi dan mencuci di sungai. Tak terkecuali Amala, dia ke sungai bersama kedua sahabatnya dan juga Meutia. Mereka tidak sengaja melihat bang Agam yang kala itu masih remaja hendak bermain terjun bebas dari jembatan papan di atas sungai. Pemuda jangkung itu hanya mengenakan celana boxer pendek.
“Iya sih ada aku, tapi … kau tahu sendiri bukan? Kalau diriku terkadang tak punya malu, malahan suka malu-maluin. Jadi, bukan masalah lah kalau aku bilang ke Bang Agam.” Alis Dhien naik turun, sengaja menggoda sekaligus mengancam Amala.
“Dasar licik!” Amala berdiri, mengikat sarung parang yang selalu ia bawa saat pergi bekerja ke pinggangnya.
Dhien tertawa puas, dia mengangkut peralatan pancing yang tadi di taruh bawah.
Lima belas menit kemudian, mereka sudah duduk di atas tanah berumput. Di hadapan mereka terhampar rawa-rawa luas nan dalam. Tempat ini milik Agam Siddiq, letaknya di balik bukit tak jauh dari belakang rumahnya.
“Dhien bagi Cacing mu,” pinta Amala.
“Akhirnya kau bersuara juga. Aku jamin nggak menyesal kita mancing di sini, ikannya banyak dan ada juga ikan Betik (Betok) kesukaanmu itu,” balas Dhien, dia sedang mengaitkan cacing tanah di mata kail nya.
“Hem.” Amala pun melakukan yang sama. Kemudian mereka melempar benang pancing yang sudah dikasih umbul-umbul dan terikat pada joran bambu kecil berukuran panjang. Amala memilih spot di bawah batang kayu yang terendam air, biasanya tempat seperti itu dijadikan sarang ikan.
“Amala, boleh aku bertanya?” Dhien memalingkan wajahnya guna menatap sang sahabat. Tujuannya kesini memang bukan semata-mata ingin memancing ikan saja.
“Silahkan!”
“Bagaimana perasaanmu sekarang? Maksud ku, tentang rasamu kepada mantan tunangan mu itu,” ujar Dhien, sebenarnya dia sungkan ingin bertanya hal pribadi, tetapi rasa penasarannya sudah membumbung tinggi.
Amala menancapkan ujung joran pancingnya ke dalam tanah, sehingga tak perlu dipegangi. Ia paham ke mana arah pertanyaan Dhien ini.
“Kau kenal aku ‘kan, Dhien? Pantang mencintai seseorang yang statusnya belum halal bagiku. Dulu aku patuh, perhatian, hanya sebagai bentuk rasa hormat kepadanya dikarenakan ia calon suami ku,” ungkap Amala apa adanya.
“Tidak munafik, aku pernah memiliki secuil rasa untuknya. Namun, hilang tak berbekas akibat pengkhianatan nya,” Amala mendengus menarik sudut bibirnya ke atas, “Menjijikan bila mengingat adikku sendiri yang menjadi orang ketiga-nya!”
“Apa sampai sekarang kau masih memendam amarah untuk Nirma?” tanya Dhien hati-hati.
Amala melepaskan sepatu boot-nya lalu menekuk lutut, menatap lurus ke depan.
“Bohong bila sudah ikhlas, hanya saja lebih memilih tidak peduli lagi tentang kehidupannya. Terkadang hati ini masih sering meradang kala mengingat betapa kejamnya ia, betapa tidak tahu dirinya dia, demi cinta sampai sanggup mengorbankan, melukai, meninggalkan keluarganya sendiri,” sambung Amala, suaranya terdengar parau.
“Namun, kehidupan tetap harus berjalan ‘kan? Menyimpan dendam dan amarah juga tidak baik bagi kesehatan. Makanya aku bersikap masa bodoh, lagipula tugasku sebagai seorang kakak juga telah usai. Sekarang Nirma berpendidikan tinggi bahkan telah bekerja di rumah sakit umum. Setidaknya perasaan ini tidak lagi terbebani, sebab sudah berhasil mewujudkan salah satu keinginan mending Bapak,” bibir Amala mengulas senyum lembut.
“Kau hebat, Amala. Wanita tangguh, pantang menyerah, sangat berbakti. Demi kebahagiaan seseorang kau rela mengorbankan dirimu sendiri. Layaknya lilin yang membakar tubuhnya demi menerangi,” puji Dhien tulus.
“Terima kasih, Dhien. Bukan aku yang hebat, tetapi doa ibuku yang manjur dan … tentunya dukunganmu dan lainnya yang selalu ada disisi ku.” Amala memalingkan wajahnya guna menatap hangat sang sahabat.
“Sekarang bolehkah gantian aku yang bertanya, Dhien?” Amala melihat Dhien mengangguk, “Bagaimana perasaan kepada Bang Fikar?”
Dhien tertawa sumbang, sorot matanya penuh luka, “Selesai! Hilang tak berbekas. Aku hanya tinggal menunggu sampai memiliki waktu yang tepat untuk mengajukan Rapak.”
“Boleh aku temani, Dhien?” Amala menggenggam telapak tangan Dhien.
“Tanpa kau pinta, aku pasti akan memaksamu untuk menemani. Kalau tidak ada kau, siapa nanti yang akan menyadarkan diriku ketika mabuk perjalanan,” seloroh Dhien.
“Kau ini!” Amala menghempaskan tautan tangan mereka, lalu dia ikutan tertawa pelan.
“Mala! Pancing mu disambar ikan!” seru Dhien girang. Tak lama umbul-umbul pancingnya juga tenggelam, tanda ada ikan yang nyangkut di mata kail.
Kedua wanita tangguh itu sibuk dengan kegiatan memancing. Batang rumput gulma padi sudah terlihat hampir penuh oleh ikan. Rawa-rawa milik bang Agam, memang terkenal galak (banyak ikan).
“Dhien pulang yuk! Aku haus,” adu Amala, botol minumnya sudah kosong.
“Tunggulah sebentar lagi, lagi galak-galaknya ini ikan menyambar umpan,” tolak Dhien yang masih enggan pulang.
“Sebentar, Mala. Kau jaga pancingnya ya! Aku mau petik buah mentimun dulu.” Dhien beranjak, dia hendak memetik buah timun di kebun bang Agam.
“Dhien jangan! Nanti ketahuan!” Amala protes, tentu saja tidak dihiraukan oleh Dhien.
Tak lama Dhien sudah kembali lagi, dia membawa buah mentimun segar.
“Enaknya ... tadinya aku mau memetik buah semangka, tapi sepertinya masih buah pertama. Sungkan aku kalau mau mengambil sesuatu yang belum pernah di panen. Kalau timun ini ‘kan sudah buah kedua,” ucapnya seperti orang tak berdosa.
“Sama saja. Namanya tetap mencuri, Dhien! Mau buah pertama ataupun kesepuluh, ya tetap apa yang kita lakukan ini maling namanya,” sungut Amala, tak pelak dia ikut mengunyah buah mentimun.
“Tenang saja, Mala. Nan_”
“Asik kali kelihatannya ... banyak sekali hasil tangkapan mu, Dek. Bisa lah nanti bagi sedikit masakannya.” Tiba-tiba Zikri sudah berdiri menjulang di belakang Dhien. Tak jauh dari posisi mereka, terlihat Agam yang mulai mendekat.
Dhien dan Amala saling pandang.
Rasa malu hanya dirasakan oleh Amala, Dhien malah berdebat sengit dengan Zikri, musuh bebuyutan nya.
“Sedang apa kau disini?” tanya Dhien tak tahu diri. Jelas-jelas ini wilayah bang Agam.
Alis Zikri naik turun, dia terkekeh. “Tidak salah kau bertanya seperti itu, Dek? Seharusnya Abang yang bilang begitu. Bagaimana bisa kalian nyasar sampai sini?”
“Kau tidak lihat, kami sedang apa?”
“Lihat. Memancing ikan.”
“Kalau sudah tahu, ngapain bertanya lagi. Kurang kerjaan saja!” sungut Dhien, kembali asik mengunyah buah mentimun.
Begitu melihat Agam yang sudah berdiri di belakang Amala, Dhien langsung berseru, “Bang Agam, kami izin memancing, sama minta buah mentimun nya, ya?”
“Telat, Dek. Dimana-mana minta izin itu didepan, ini sudah mendapatkan hasil melimpah. Perut pun kenyang, baru bilang,” dengus Zikri.
Dhien menarik sebelah bibirnya ke atas, tersenyum menyebalkan. “Yang terpenting ‘kan bilang. Daripada tidak sama sekali.”
Agam hanya diam, tak berminat menanggapi. Dia melepaskan sepatu boot-nya dan meletakkan persis di samping milik Amala. Kemudian Agam menggulung celana jeans sampai batas lutut. Tanpa kata berjalan tenang lalu masuk ke dalam air rawa.
Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Amala, dia hampir kehabisan oksigen dikarenakan terlalu lama menahan napas. Amala melirik sosok berpakaian layaknya koboi itu sedang mengangkat gala bambu yang ditautkan pada bubu.
“Banyak sekali Ikan sepat yang masuk pengilar!” Dhien berseru antusias, matanya berbinar melihat ikan melompat-lompat dalam kotak perangkap.
“Nur ….”
“Iya, Abang ...?”
.
.
Bersambung.
bu bidan mati kutu