Marriage Is Scary...
Bayangkan menikah dengan pria yang sempurna di mata orang lain, terlihat begitu penyayang dan peduli. Tapi di balik senyum hangat dan kata-kata manisnya, tersimpan rahasia kelam yang perlahan-lahan mengikis kebahagiaan pernikahan. Manipulasi, pengkhianatan, kebohongan dan masa lalu yang gelap menghancurkan pernikahan dalam sekejap mata.
____
"Oh, jadi ini camilan suami orang!" ujar Lily dengan tatapan merendahkan. Kesuksesan adalah balas dendam yang Lily janjikan untuk dirinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rahma Syndrome, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tawa Dalam Diam
Calvin membuka pintu, menyapa Agatha dengan sapaan khasnya.
“Halo Anak Kecil, aku bawain makanan sehat buat kamu,” kata Calvin seraya memamerkan kotak makanan berwarna abu-abu.
“Aku butuh makanan empat sehat lima milyar, Cal,” ujar Agatha sambil terkekeh geli.
“Ck, lima sempurna dulu, lima milyarnya menyusul,” jawab Calvin seraya membuka kotak makan itu. Dia menarik over bed table, lalu menyusun makanan di atasnya dengan rapi.
“Ini kamu yang masak?” tanya Agatha antusias saat melihat berbagai lauk mulai dari sayur, capcay, daging, sop, bahkan buah yang sudah di potong-potong kecil.
“Kalo bukan aku, siapa lagi? Udah tinggal makan aja. Atau mau aku suapin?” goda Calvin membuat Agatha berdecak sebal.
“Ini nggak ada racunnya, kan?” tanya Agatha memastikan.
“Nggak, paling abis makan langsung muntah-muntah,” balas Calvin kesal, namun justru disambut tawa oleh Agatha.
Tanpa berlama-lama, Agatha menyendok nasi dan lauk lalu memasukkannya ke dalam mulut dengan gerakan perlahan. Dia mengunyah sambil menatap Calvin, berusaha untuk menilai dari rasa makanan tersebut.
“Emmm, enak banget,” kata Agatha sambil menggeleng-gelengkan kepala, menandakan jika makanan buatan Calvin memang enak.
Calvin tersenyum puas melihat reaksi Agatha yang sesuai dengan harapannya.
Saat Agatha sibuk makan, Lucas datang untuk memeriksa kondisi Agatha. Ketika baru saja masuk, dia sedikit terkejut mendapati Calvin sedang duduk di sofa sambil menatap Agatha yang makan dengan lahap.
“Cal, kamu udah lama disini?” tanya Lucas.
“Belum. Aku kesini ngasih makan dia, kasian banget nggak ada yang ngasih makan,” ujar Calvin dengan nada menggoda. Agatha yang sedang fokus dengan makanannya tidak merespon sedikitpun.
“Kamu mau periksa dia?” tebak Calvin.
“Hm, liat dia makan lahap gitu, dia udah boleh pulang hari ini,” kata Lucas sambil mengamati cara Agatha makan.
“Betul. Dia kaya nggak makan 2 hari.”
“Lebih tepatnya seminggu,” balas Lucas seraya duduk disamping Cavin. Keduanya seperti orang bodoh yang mengamati Agatha makan.
Saat Agatha terbatuk karena terlalu cepat makan, Lucas dengan sigap mengambil minum dan menyerahkannya kepada Agatha.
“Pelan-pelan,” ujar Lucas.
Agatha menerima minuman dari Lucas dan meneguknya hingga tandas. Setelah mengucapkan terimakasih, dia kembali fokus makan.
“Calvin, besok-besok masakin lagi, ya,” pinta Agatha setelah dia menyelesaikan suapan terakhirnya.
“Mampir aja ke restoran, nanti aku buatin yang spesial.”
“Gratis, ya.”
“Harga teman!”
Agatha tertawa lirih, sedangkan Lucas hanya menggelengkan kepala sambil merapikan kotak makan. Dia menarik over bed table dan meletakkannya di tempat semula.
“Lily sama Isaac mau kesini,” kata Lucas seraya kembali duduk di sofa.
“Oh, ya? Jam berapa?” tanya Agatha senang.
“Bilangnya, sih, bentar lagi.”
Agatha hanya mengangguk-angguk. Perutnya yang kenyang membuatnya enggan berbicara. Bahkan dia menguap beberapa kali, menandakan bahwa dirinya mulai mengantuk.
“Agatha, abis makan jangan langsung tiduran. Duduk aja dulu. Ngak baik buat kesehatan,” saran Lucas saat melihat Agatha mulai mengantuk.
“Berapa lama?”
“Dua sampai tiga jam.”
“Lama banget!” dengus Agatha kesal. Perutnya yang begitu penuh membuat dirinya ingin cepat tiduran.
Sebelum Lucas membalas keluhan Agatha, tiba-tiba pintu terbuka, sosok Lily dan Isaac muncul dari balik pintu.
“Lilyyy,” pekik Agatha dengan ceria.
“Agathaaa,” pekik Lily tak kalah kerasnya. Dia merentangkan tangan untuk memeluk Agatha. Adegan keduanya tampak seperti orang yang berbulan-bulan tidak bertemu.
Isaac meletakkan keranjang buah diatas meja, lalu duduk bergabung dengan Calvin dan Lucas.
“Kamu kenapa?” tanya Calvin menyadari ada yang berbeda dari Isaac. Raut wajah Isaac sedikit berbeda, tidak seperti biasanya.
Isaac hanya menggeleng sekilas. Dia tidak berniat menjawab pertanyaan Calvin. Bahkan, sejak pagi tadi, dia banyak bungkam.
***
Isaac duduk dibalik kemudi dengan ekspresi dingin, matanya terpaku pada jalan di depan. Tangannya erat memegang setir, setiap gerakan terasa kaku dan penuh beban. Sepanjang perjalanan, bahkan sejak tadi pagi, dia menghindari kontak mata Lily.
Lily memperhatikan perubahan sikap Isaac. Wajahnya yang biasanya hangat kini begitu dingin, bahkan tak sekalipun dia melirik ke arahnya. Merasa khawatir, Lily memutuskan bertanya,
“Sayang, kamu lagi sakit?”
Isaac hanya menggeleng pelan tanpa melepaskan pandangannya dari jalan.
Tak puas dengan jawaban singkat itu, Lily bertanya lagi, “Kamu lagi ada masalah? Cerita dong sama aku.”
Isaac tetap diam, matanya lurus ke depan, rahangnya mengeras. Dia berusaha menahan keinginan untuk membalas setiap pertanyaan yang Lily ajukan, namun dorongan Lily untuk selalu tahu segala sesuatu justru membuatnya semakin tertekan.
"Lily, bisa diem bentar nggak? Aku harus konsen nyetir!" bentak Isaac tiba-tiba, nada suaranya lebih keras dari yang dia inginkan.
Lily terkejut. Mata yang sebelumnya penuh perhatian kini berkaca-kaca, memancarkan rasa sakit yang begitu jelas.
Dia heran kenapa suaminya cepat sekali berubah. Padahal, Isaac sudah berjanji tidak ada yang disembunyikan dari Lily. Mereka akan terbuka satu sama lain.
Dengan pelan, Lily mengalihkan pandangannya ke luar jendela, menatap jalanan yang terlihat panas di bawah sinar matahari. Hatinya terasa sesak, pertanyaan dan perhatian yang ingin dia berikan pada Isaac malah disambut dengan kemarahan.
“Apa aku salah kalo pengen tau segala hal tentang Isaac?” batin Lily.
Isaac menghela napas panjang, merasa menyesal atas reaksi kasarnya.
“Maaf, Lily,” ucapnya dengan suara pelan, namun Lily tetap diam. Wajahnya tetap berpaling, tidak memberikan satu pun respons yang diharapkan Isaac.
Sepanjang sisa perjalanan, keduanya terjebak dalam keheningan yang menyesakkan. Akhirnya, mobil berhenti di depan kantor Lily. Tanpa sepatah kata, Lily membuka pintu, lalu turun dan menutupnya dengan keras, membuat Isaac tersentak.
Isaac hanya bisa menatap punggung Lily yang berjalan menjauh, kepalanya menunduk dan langkahnya cepat seolah ingin menghindarinya.
Begitu Lily menghilang dari pandangan, Isaac menggertakkan gigi, merasa frustasi dengan dirinya sendiri. Dia memukul-mukul setir mobil dengan tinjunya, mengeluarkan rasa marah yang seharusnya tak pernah dia tunjukkan lagi pada Lily. Kedua tangannya mengacak-acak rambut, pikirannya dipenuhi penyesalan dan rasa bersalah yang menyesakkan.
“Sialan! Aku harus gimana?”
“Aku nggak mungkin jauhin Lisa gitu aja. Dia pasti ngadu ke Papa. Aku juga nggak mungkin bilang ke Lily,” lirih Isaac frustasi.
Bagi Lily, tugas seorang istri adalah mempercayai sang suami. Soal berkhianat atau tidaknya, itu urusan suami. Tapi apa jadinya jika kepercayaan dibalas dengan pengkhianatan? Apa jadinya jika hubungan di selimuti oleh kebohongan?
Banyak sekali yang disembunyikan oleh Isaac dari Lily. Mulai dari tragedi pembunuhan Margaret, perselingkuhan dengan Lisa, hingga kebohongan-kebohongan kecil yang pernah Isaac ucapkan pada Lily.
Sikap Isaac yang mudah sekali berubah membuat Lily bingung. Terkadang, dia seperti tidak mengenali suaminya. Dia merasa jauh, benar-benar jauh dari Isaac hingga tak bisa menjangkaunya..
kenalin yahhh aku author baru 🥰
biar semangat up aku kasih vote utkmu thor