Elyana Mireille Castella, seorang wanita berusia 24 tahun, menikah dengan Davin Alexander Griffith, CEO di perusahaan tempatnya bekerja. Namun, pernikahan mereka jauh dari kata bahagia. Sifat Davin yang dingin dan acuh tak acuh membuat Elyana merasa lelah dan kehilangan harapan, hingga akhirnya memutuskan untuk mengajukan perceraian.
Setelah berpisah, Elyana dikejutkan oleh kabar tragis tentang kematian Davin. Berita itu menghancurkan hatinya dan membuatnya dipenuhi penyesalan.
Namun, suatu hari, Elyana terbangun dan mendapati dirinya kembali ke masa lalu—ke saat sebelum perceraian terjadi. Kini, ia dihadapkan pada kesempatan kedua untuk memperbaiki hubungan mereka dan mengubah takdir.
Apakah ini hanya sebuah kebetulan, atau takdir yang memberi Elyana kesempatan untuk menebus kesalahannya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Firaslfn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 12: Tembok yang Tinggi
Hari-hari berlalu, tetapi kehangatan yang diharapkan Elyana dari Davin tetap terasa seperti mimpi yang jauh. Usahanya untuk mendekat, baik sebagai istri maupun rekan kerja, sering kali berakhir pada dinding tak terlihat yang selalu Davin bangun di antara mereka.
Di kantor, Davin memperlakukannya dengan profesional, tetapi tanpa sedikit pun rasa hangat. Setiap kali Elyana mencoba memberikan masukan atau membantu dalam pekerjaan, respons Davin selalu dingin dan singkat.
“Aku sudah mengecek laporan ini,” kata Elyana suatu pagi, menyerahkan dokumen yang ia kerjakan semalaman. “Ada beberapa poin yang bisa kita perbaiki sebelum presentasi nanti.”
Davin hanya menerima dokumen itu tanpa melihatnya. “Baik. Kalau ada yang salah, aku yang akan memperbaikinya.”
Elyana menelan kekecewaannya, meski sudah mulai terbiasa dengan respons seperti itu. Ia tetap tersenyum kecil, menyembunyikan perasaan yang bergolak di hatinya.
“Baiklah. Kalau butuh bantuan, aku siap membantu,” ucapnya pelan sebelum keluar dari ruangan itu.
Di rumah, situasi tidak jauh berbeda. Meski Elyana berusaha menciptakan suasana nyaman, Davin tetap mempertahankan sikapnya yang dingin. Malam itu, Elyana memutuskan untuk memasak makan malam istimewa, sesuatu yang dulu pernah menjadi favorit mereka.
Davin pulang lebih lambat dari biasanya. Saat ia masuk ke ruang makan, meja sudah dipenuhi oleh aroma masakan yang hangat. Elyana, dengan senyum penuh harap, menunggu reaksinya.
“Kamu sudah makan?” tanya Elyana lembut.
Davin hanya mengangguk sambil melepas dasinya. “Aku makan di kantor.”
Elyana terpaku, tetapi ia segera menyembunyikan kekecewaannya. “Tidak apa-apa. Kalau begitu, mungkin kamu mau kopi atau teh? Aku bisa buatkan.”
“Tidak usah,” jawab Davin singkat. Ia melangkah pergi ke ruang kerjanya tanpa menoleh lagi.
Elyana menatap punggungnya yang menghilang di balik pintu. Ia menggenggam erat kain serbet di tangannya, berusaha menenangkan perasaan yang berkecamuk di dalam dirinya.
Waktu terus berjalan, dan meski Davin tetap dingin, Elyana tidak menyerah. Ia mencoba berbagai cara untuk membuat pria itu membuka diri, tetapi tembok yang dibangun Davin terlalu tinggi dan kokoh.
Namun, ada satu momen kecil yang membuat Elyana tidak sepenuhnya kehilangan harapan. Suatu malam, ia mendengar suara piano dari ruang keluarga. Saat ia mengintip, ia melihat Davin duduk di depan piano, jari-jarinya memainkan melodi yang penuh emosi.
Elyana berdiri di pintu, terpukau oleh sisi lain dari Davin yang jarang terlihat. Ia ingin mendekat, tetapi langkahnya terhenti ketika Davin menyadari kehadirannya.
“Ada apa?” tanya Davin dingin, suaranya memutus keheningan.
“Tidak, aku hanya… musikmu indah,” jawab Elyana pelan.
Davin tidak menanggapi. Ia menutup piano itu dan berdiri. “Kamu sebaiknya istirahat. Sudah malam.”
Elyana hanya mengangguk, menyadari bahwa meski ia telah melihat celah kecil di dinding Davin, pria itu dengan cepat menutupnya kembali.
Malam itu, Elyana berbaring di tempat tidur dengan pikiran yang penuh. Tembok itu memang tinggi, tetapi ia tidak akan berhenti mencoba. Karena di balik semua sikap dingin Davin, Elyana percaya ada sesuatu yang berharga—sesuatu yang layak ia perjuangkan.
Hari mulai berlalu, Elyana kembali memulai harinya dengan tekad baru. Meski Davin terus bersikap dingin, ia memutuskan untuk tetap mencoba, walau hanya melalui hal-hal kecil.
Pagi itu, sebelum berangkat ke kantor, Elyana menyeduhkan kopi untuk Davin dan meletakkannya di meja makan. Ketika Davin muncul dengan setelan rapi seperti biasa, Elyana tersenyum kecil.
"Aku buatkan kopi. Mungkin bisa membantumu memulai hari," katanya dengan suara lembut.
Davin hanya melirik sekilas, lalu mengambil cangkir itu tanpa komentar. Ia duduk dan mulai menyeruput kopinya dalam diam.
Elyana menunggu reaksi apa pun—pujian, ucapan terima kasih, atau bahkan komentar kecil. Tapi yang ia dapatkan hanyalah keheningan yang dingin.
“Bagaimana rasanya? Aku mencoba resep baru,” tanya Elyana akhirnya, mencoba memecah suasana.
“Cukup baik,” jawab Davin singkat, lalu melanjutkan menikmati sarapannya tanpa menatapnya.
Meski jawabannya sederhana, Elyana merasa itu adalah kemajuan kecil. Ia tersenyum tipis dan melanjutkan harinya dengan sedikit lebih ringan.
Di kantor, Elyana tetap menjalankan perannya sebagai rekan kerja yang profesional. Ia tahu Davin tidak mudah didekati, tetapi ia tidak ingin menyerah begitu saja. Siang itu, saat rapat berlangsung, Elyana mempresentasikan ide-idenya dengan percaya diri.
Davin mendengarkan dalam diam, wajahnya seperti biasa sulit dibaca. Ketika Elyana selesai, ada jeda sejenak sebelum Davin akhirnya berbicara.
“Idemu bagus. Kita bisa mencoba implementasinya dalam proyek berikutnya,” katanya, meski nadanya tetap datar.
Elyana terkejut sekaligus lega. Meski ucapannya singkat, ini adalah kali pertama Davin mengakui usahanya secara langsung.
“Terima kasih,” ucap Elyana, berusaha menjaga nada suaranya tetap profesional.
Namun, sebelum ia sempat merasa lebih optimis, Davin melanjutkan dengan nada tegas, “Tapi pastikan semuanya sempurna. Aku tidak mau ada kesalahan.”
Elyana hanya mengangguk. Ia tahu, tembok Davin masih berdiri kokoh.
Malamnya, Elyana memutuskan untuk mencoba lagi mencairkan suasana di rumah. Ia menunggu Davin pulang, kali ini dengan sebuah buku di tangannya—novel yang dulu pernah Davin baca dan diskusikan bersamanya di masa-masa awal pernikahan mereka.
Saat Davin tiba, Elyana menyapanya seperti biasa. “Aku menemukan buku ini di rak kita. Aku ingat kamu pernah menyukainya. Mungkin kamu mau membacanya lagi?”
Davin memandang buku itu sejenak sebelum menjawab, “Aku sibuk. Tidak ada waktu untuk membaca.”
Jawabannya membuat hati Elyana mencelos, tetapi ia mencoba tetap tersenyum. “Kalau begitu, aku akan membacakannya untukmu. Mungkin saat makan malam atau sebelum tidur.”
“Tidak perlu,” jawab Davin dingin. “Aku tidak membutuhkan itu.”
Tanpa berkata apa-apa lagi, Davin melangkah pergi ke ruang kerjanya, meninggalkan Elyana sendiri di ruang tamu.
Malam itu, Elyana merenung di kamar. Meskipun usahanya terasa sia-sia, ia tidak mau menyerah. Ia memandang cincin pernikahannya, mengingat janji yang pernah mereka buat.
“Davin,” gumamnya pelan, “aku hanya ingin kita bisa seperti dulu lagi. Kenapa kamu begitu sulit didekati?”
Meski hatinya terasa berat, Elyana tahu ini bukan saatnya untuk menyerah. Ia harus terus mencoba, meski tembok itu terasa begitu tinggi dan sulit dihancurkan. Karena ia percaya, suatu saat, tembok itu akan runtuh—walaupun hanya sedikit demi sedikit.
Hari-hari berlalu, dan Elyana tetap bertahan dengan segala usaha kecilnya. Ia sadar, perubahan tidak mungkin terjadi secepat kilat, terutama dengan seseorang seperti Davin yang begitu tertutup. Namun, tekadnya tidak surut.
Suatu sore, Elyana pulang lebih awal dari kantor dan memutuskan untuk memasak makan malam spesial. Ia mengingat kembali hidangan favorit Davin—steak medium rare dengan saus lada hitam dan mashed potato buatan sendiri.
Saat Davin tiba di rumah, aroma makanan memenuhi ruang makan. Elyana menyapanya dengan lembut, “Kamu pasti lelah. Aku sudah menyiapkan makan malam. Semoga kamu suka.”
Davin hanya memandang meja makan sejenak sebelum berkata, “Kamu tidak perlu repot-repot.”
“Tapi aku ingin,” jawab Elyana dengan senyuman kecil. “Anggap saja ini bentuk rasa terima kasihku atas kerja kerasmu.”
Davin mendesah ringan tetapi tetap duduk. Elyana memperhatikan bagaimana ia memotong steaknya dan mencicipi hidangan itu.
“Bagaimana rasanya?” tanya Elyana hati-hati.
“Enak,” jawab Davin singkat, namun ada sedikit jeda dalam nada bicaranya—seolah-olah ia ragu untuk memberikan pujian lebih banyak.
Setelah makan malam selesai, Elyana mencoba membuka percakapan. “Aku tahu kamu selalu sibuk, tapi mungkin suatu hari kita bisa mengambil waktu bersama? Hanya untuk bersantai sebentar.”
Davin menatapnya dengan ekspresi datar. “Aku tidak punya waktu untuk hal-hal seperti itu.”
Jawaban itu membuat Elyana terdiam sejenak, tetapi ia tidak menyerah. “Tidak apa-apa. Kalau ada waktu, kamu bisa memberitahuku.”
Namun, Davin tidak memberikan respon lebih lanjut. Ia berdiri dan membawa piringnya ke dapur, lalu pergi ke ruang kerjanya seperti biasa.
Di ruang kerjanya, Davin duduk di belakang meja dengan pikiran yang berat. Ia tidak bisa mengabaikan perubahan Elyana. Wanita itu tampak berusaha mendekatinya, tetapi ada sesuatu yang terus menahannya untuk merespons dengan hangat.
Pikirannya kembali ke masa lalu—ke momen-momen saat ia dan Elyana masih bisa berbicara dengan lebih mudah. Saat itu, tidak ada jarak seperti sekarang. Namun, semakin ia mengingat, semakin ia merasa bahwa tembok yang ia bangun ini melindunginya dari sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak ingin hadapi.
Di kamar, Elyana merenungkan respons Davin hari itu. Meski ia tidak mendapatkan banyak, ada sedikit perubahan—entah itu dari caranya tidak langsung menolak makan malam, atau respons kecil seperti mengakui rasa masakan.
Ia memegang cincin pernikahannya erat. Baginya, setiap langkah kecil adalah kemajuan.
“Davin,” bisiknya pelan, “aku tidak akan menyerah. Aku akan terus mencoba, tidak peduli seberapa sulit kamu untuk didekati.”
Dengan tekad itu, Elyana memutuskan bahwa hari esok akan menjadi kesempatan baru. Meskipun tembok itu tinggi, ia percaya, perlahan-lahan ia akan menemukannya jalan untuk menembusnya.
...****************...