"Cuma karna I-Phone, kamu sampai rela jual diri.?" Kalimat julid itu keluar dari mulut Xander dengan tatapan mengejek.
Serra memutar malas bola matanya. "Dengar ya Dok, teman Serra banyak yang menyerahkan keperawanannya secara cuma-cuma ke pacar mereka, tanpa imbalan. Masih mending Serra, di tukar sampa I-Phone mahal.!" Serunya membela diri.
Tawa Xander tidak bisa di tahan. Dia benar-benar di buat tertawa oleh remaja berusia 17 tahun setelah bertahun-tahun mengubur tawanya untuk orang lain, kecuali orang terdekatnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Clarissa icha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Kedua anaknya satu persatu meninggalkan ruang keluarga dan pergi ke kamar mereka masing-masing untuk istirahat. Zayn berjalan pelan di belakang Kakak perempuannya dan sesekali menjahilinya hingga membuat teriakan Zianka memenuhi rumah. Keduanya saling menyayangi dan peduli satu sama lain, tapi tak jarang terjadi pertengkaran karna ulah jauh Zayn. Jika sedang dalam kondisi sehat seperti ini, Zayn memang paling aktif dan ceria. Namun ketika rasa sakitnya datang, Zayn akan menjadi orang yang paling pendiam di keluarganya.
Marta menatap sendu punggung Zayn yang mulai menghilang dari pandangannya. Dua anak itu sudah masuk ke dalam lift.
"Mama nggak mau tau, pokoknya Papa harus menemui kembaran Zayn dan membujuknya supaya mau donor sumsum tulang belakangnya.!" Desak Marta.
Darwin menghela nafas berat, dia tidak yakin bisa membujuk putrinya yang sejak lahir ditelantarkan dan tidak pernah dia temui sekalipun. Bahkan Darwin tidak tau seperti apa wajah putrinya saat ini. Darwin hanya mengingat namanya, nama yang dia berikan pada saat menemani Sena melahirkan.
Selama 17 tahun ini, Darwin benar-benar tidak peduli pada keberadaan Serra. Baginya, anak yang dilahirkan oleh Sena 17 tahun lalu hanya Zayn. Darwin tidak mau masuk ke dalam kehidupan Serra dan mengusik keluarga Sena yang begitu membencinya. Anggap saja, Serra sebagai pengganti Sena yang sudah tiada di keluarga itu.
"Papa akan coba. Nanti biar Papa sendiri dulu yang menemui Serra di sekolahnya, kalau Serra menolak, Mama bisa turun tangan untuk ikut membujuknya." Ucap Darwin sembari mengusap punggung Marta agar membuatnya tenang.
Zayn memang tidak terlahir dari rahim Marta, namun Darwin bisa merasakan dan melihat sendiri ketulusan Marta pada Zayn. Marta menyayangi dan memperlakukan Zayn seperti anak kandungnya sendiri.
"Zayn kan kakaknya, dia harus mau semalatin nyawa Zayn.!" Serunya dengan nada paksaan.
"Nggak semudah itu Mah, Papa sudah menelantarkan dia sejak lahir, apa dia akan segampang itu berbaik hati sama kita.?" Ujar Darwin penuh kekhawatiran. Logikanya masih berjalan, dia juga memiliki firasat kalau Serra pasti akan membencinya jika tau ayahnya masih hidup dan baik-baik saja namun tidak pernah menemuinya.
"Papa bisa bujuk dia pakai uang, Mama yakin dia pasti bersedia melakukan apapun untuk Zayn asal ada uang." Seloroh Marta yang mulai menggebu-gebu, dia sudah tidak sabar ingin melihat Zayn sembuh dan hidup sehat seperti dulu. Apalagi keberadaan Zayn menjadi kebanggaan didalam keluarga besarnya. Karna Zayn satu-satunya cucu laki-laki dari keluarga Marta.
Darwin mengangguk pasrah. "Kita lihat saja nanti."
...******...
Pukul 9 pagi Serra pulang ke rumah Sila. Seharian menginap dan menenangkan diri di apartemen Xander dirasa sudah cukup, jadi minggu pagi Serra pulang.
Serra masuk ke dalam dan langsung di hampiri kedua ponakannya karna dia membawa dua kantong plastik.
"Kak Serra bawa apa tuh.?" Tanya Akbar. Serra tersenyum kemudian memberikan satu kantong plastik yang paling besar pada Akbar.
"Tolong bawain ke dapur ya, itu buat masak." Ujarnya. Akbar tidak melayangkan protes, bocah laki-laki itu langsung membawa barang belanjaan ke dapur.
"Ini pasti makanan untuk Mila dan Kak Akbar kan.?" Mata Mila tampak berbinar menatap kantong plastik di tangan Serra.
"Iya, ini bisa kita makan sama-sama. Untuk Mama dan Papa juga." Ujar Serra kemudian meletakkan kantong plastik itu di atas meja. Mila antusias membongkarnya, Akbar yang sudah kembali dari dapur juga ikut mengeluarkan makanan dari dalam kantong plastik itu.
"Mama sama Papa mana.?" Serra mengamati rumah mungil itu. Sila dan Beny tidak terlihat sejak dia masuk ke dalam rumah.
"Lagi ke rumah Pak RT Kak." Jawab Akbar, bocah itu sudah membuka cemilan dan mulai memakannya.
"Ke Pak RT.? Memangnya ada apa di rumah Pak RT."
Dua bocah itu menggeleng tidak tau. Serra memilih bergabung dengan mereka dan ikut makan cemilan yang tadi dia beli di mini market dekat rumah. Tak berselang lama, Sila pulang bersama Beny.
"Kamu sudah pulang. Kamu nggak kenapa-napa kan.?" Sila langsung menghampiri Serra memperhatikan keponakannya itu dari ujung kaki sampai kepala. Semalam Sila tidak bisa tidur mencemaskan Serra, dia khawatir Darwin dan istrinya mencari keberadaan Serra dan melakukan sesuatu pada keponakannya.
Serra menggeleng. "Serra baik-baik aja Tan, memangnya kenapa.?" Serra memasang wajah bingung, dia pura-pura tidak tau meski bisa membaca kekhawatiran Tantenya.
"Syukurlah, Tante cuma khawatir kamu kecapean." Sila mengembangkan senyum yang tampak di paksa. Ada beban dan ketakutan yang tergambar di sana.
"Oiya,, Tante sama Om mau ngasih tau ke kamu, Om pindah kerjaan ke luar kota. Kita akan pindah setelah kamu wisuda dan anak-anak kenaikan kelas." Tutur Sila tampak semangat.
"Pindah Mah.? Kita akan pindah kemana.? Mila nanti pisah dong sama temen-temen." Wajah Mila langsung sendu.
"Kita akan pindah ke rumah yang lebih bagus, di sana juga banyak teman. Mila dan Akbar akan punya teman baru yang lebih seru." Ujar Sila membujuk.
"Beneran Mah rumahnya lebih bagus.? Ada kolam renangnya nggak.?" Seloroh Akbar.
Sila dan Beny hanya tersenyum. "Kamu do'akan saja ya supaya Papa punya banyak uang jadi bisa bikin kolam renang nanti."
Dua bocah kakak beradik itu langsung mendoakan Papanya.
Sementara itu, Serra terdiam sejak Sila mengatakan kalau mereka akan pindah. Serra tau bukan itu alasan yang sebenarnya untuk pindah keluar kota. Om dan Tantenya sedang berusaha melindunginya dari Ayah kandungnya agar tidak di paksa untuk donor sumsum tulang belakang.
"Kamu nggak masalah kan kalau harus daftar universitas baru.? Selagi kamu belum membayarnya." ujar Sila.
Serra mengangguk. "Nggak masalah Tante. Memangnya Om Beny pindah kerjaan di kota apa.? Nanti biar Serra daftar kuliah dari sekarang."
"Kita pindah ke Surabaya." Jawab Beny. "Kamu nggak usah khawatir, di Surabaya juga banyak universitas yang bagus."
Serra mengangguk paham, dia juga tidak berniat protes karna tau Om dan Tantenya sedang mengupayakan yang terbaik untuknya. Kalau memang harus pindah untuk menghindari orang-orang jahat itu, Serra tidak keberatan. Lagipula dia juga tidak ingin tau seperti apa sosok ayah kandung dan saudara kandungnya.
...*****...
'saya di depan halte, cepat keluar.!'
Sudut bibir Serra terangkat setelah membaca pesan dari Xander. Dia langsung pamit pada tiga sahabatnya dan berlari keluar dari gedung sekolahnya untuk menghampiri Xander di halte. Serra memang selalu mengingatkan Xander agar menunggu di depan halte jika ingin menjemputnya.
Gadis dengan rambut panjang yang di kuncir kuda itu berjalan riang di trotoar menuju mobil mewah milik Xander.
Tanpa di suruh, Serra langsung membuka pintu dan masuk ke mobil Xander.
"Hai Dok,, Kita mau kemana nih.?" Sapanya dengan ramah dan ceria seperti biasa. Serra memasang seat beltnya sambil menatap Xander yang mulai melajukan mobil.
"Temani saya main golf." Jawab Xander.
"Main golf.? Yang benar saja siang-siang begini main golf. Nggak mau Dok, nanti kulit Serra hitam." Protesnya.
"Kamu mau duit nggak.?"
"Mau lah.!" jawab Serra cepat.
Xander terkekeh, kalau sudah urusan uang, Serra paling semangat.
"Nanti saya transfer, kamu bisa pakai buat perawatan kalau kulitnya jadi hitam." Tutur Xander.
Serra mengangguk. "Siap Boss,," Sahut Serra sembari bersandar di bahu Xander dengan santainya. "Dokter baru pulang dari rumah sakit kan.? Kok masih wangi aja sih, nggak bau obat-obatan." Celotehnya sembari menghirup aroma parfum maskulin milik Xander yang menguar.
"Saya nggak kayak kamu, bau matahari."
Serra mencebik, namun dia sengaja menggosokkan rambut dan badannya ke lengan Xander. "Rasakan, biar Dokter ketularan bau matahari.!" Serunya. Xander hanya menggeleng melihat kelakuan Serra.
Sementara itu, tanpa mereka sadari ada mobil hitam yang mengikuti mereka sejak di halte tadi.
"Bagaimana bisa mereka saling mengenal.?" Gumamnya tanpa mengalihkan sedikitpun pandangannya dari mobil Xander.
Serba salah.
Anna kasihan juga karena Zayn nya cuek, tapi ya gimana.. kan cinta ga bisa dipaksakan. Tapi kita ga tau juga sih perasaan Zayn ke Anna sebenarnya gimana, soalnya tadi waktu Aron narik pergelangan tangan Anna, Zayn tiba² termenung. Entah apa maksudnya.