Marriage Is Scary

Marriage Is Scary

Jeritan yang Tertahan

Lily menghela nafas panjang sebelum memutar gagang pintu di depannya. Hari ini pekerjaannya begitu melelahkan. Banyak tuntutan yang harus dihadapi sebagai seorang news anchor. Belum lagi atasan yang begitu menyebalkan.

Lily memasuki ruang tamu dengan hati yang berat, langkahnya berat seolah membawa beban yang tak terlalu jauh dari pandangannya. Di sofa, Isaac, suaminya, tengah duduk dengan santainya, sibuk dengan ponsel kesayangannya. Dia bahkan tidak menyadari kehadiran Lily, seakan terikat oleh dunia maya yang terbentang di genggamannya.

Sesaat Lily terdiam, matanya memandang Isaac dengan tatapan yang sulit diartikan. Seburuk apapun laki-laki yang dia lihat sekarang, Isaac tetaplah suaminya dan dia masih mencintainya.

Lily memilih menikah dengan Isaac karena permintaan ibunya sebelum meninggal dunia. Sebenarnya permintaan itu cukup berat bagi Lily. Namun, dia tetap memenuhi sebelum akhirnya sang ibu meninggal setelah Lily menikah satu bulan dengan Isaac.

Lily dan Isaac mengenal satu sama lain selama dua bulan sebelum menikah. Pada saat pendekatan, Isaac merupakan seseorang yang pekerja keras, penyayang, dan lembut. Lily begitu kagum kepada Isaac dan memutuskan untuk menikah. Namun, kini Lily merasa terjebak dalam pernikahan yang menyesakkan hatinya.

Keadaan semakin buruk ketika Isaac kehilangan pekerjaannya dan menjadi pengangguran. Sekarang, Lily menjadi tulang punggung keluarga, mencari nafkah sendiri untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka.

“Aku mau daftarin kamu kerja di kantor temenku,” ujar Lily seraya duduk di seberang Isaac. Dia bersandar dan memandang Isaac dengan sedikit jengkel.

Isaac menghentikan aktivitasnya, memandang Lily sekilas, kemudian kembali fokus pada benda pipih di genggamannya.

“Kerja? Gaji kamu aja udah cukup, kok.”

Jawaban Isaac merupakan jawaban yang sering Lily dengar. Cukup? Ya, gajinya memang cukup untuk memenuhi kebutuhan. Namun, Lily ingin memiliki tabungan untuk masa depan.

“Cukup? Kita harus punya tabungan! Banyak hal yang harus-”

“Apa?” potong Isaac membuat Lily mendesah kasar. Dia mencengkeram sofa, mencoba untuk tidak terpancing emosi. Dia sudah cukup lelah di tempat kerja. Seharusnya dia bisa pulang ke rumah dengan nyaman dan melepas lelah.

Beban yang Lily pikul semakin berat saat dia menyadari bahwa Isaac tidak hanya menjadi beban finansial, tetapi juga beban emosional. Dia merasa tertekan karena suami yang dia cintai begitu tidak berguna dan tidak memperhatikan kebutuhan dan perasaannya. Dia terjebak dalam lingkaran kesedihan dan penyesalan, bertanya-tanya apakah ada jalan keluar dari kehampaan ini.

Lily beranjak dari sofa dengan kasar. Sudut matanya melirik Isaac yang sedang sibuk dengan ponselnya. Ekspresinya berubah-ubah dengan jari yang sibuk mengetik sesuatu.

Lily berjalan dengan gontai menuju kamarnya. Dia benar-benar lelah dan butuh istirahat. Setelah mandi, dia mengeringkan rambutnya dengan handuk sembari menatap novel favoritnya yang tergeletak di meja samping tempat tidur.

Lily memang hobi membaca novel, bahkan di kamarnya terdapat rak buku yang berisi banyak novel. Dia mulai suka membaca novel setelah lulus kuliah. Novel-novel yang dia baca adalah novel romance. Dia menyukai setiap adegan-adegan romantis di dalam novel.

Dengan perasaan lelah namun berharap sedikit ketenangan, Lily mengambil novel itu dan duduk di tepi tempat tidur.

Sepuluh menit berlalu dalam keheningan, halaman demi halaman beralih di tangan Lily yang lembut. Kata-kata di buku itu sedikit menghibur hatinya yang berat. Namun, momen ketenangan itu tidak berlangsung lama. Pintu kamar terbuka dan Isaac masuk, langkahnya terdengar berat dan tidak sabar.

"Sayang, aku butuh kamu," katanya dengan nada yang terdengar genit namun tak tulus, mendekati Lily yang masih tenggelam dalam bacaannya. Isaac duduk di sampingnya, tangannya mulai mengelus punggung Lily dengan gerakan yang awalnya lembut namun segera menjadi menuntut.

Lily mendesah pelan, menutup novelnya dan menaruhnya di samping. "Isaac, aku capek," katanya dengan suara lemah. "Aku butuh istirahat."

Namun, Isaac tidak mendengarkan. Tangannya semakin liar, mencumbu Lily dengan cara yang semakin kasar. "Ayolah, sayang. Seharian tadi kan kamu kerja, aku kesepian," desaknya, bibirnya mendekat, mencium Lily dengan penuh gairah yang tidak diinginkan.

Lily mencoba melawan, menepis tangan Isaac, tapi dia semakin memaksa. "Isaac, tolong... aku benar-benar capek," katanya dengan nada memohon, namun Isaac tidak peduli. Dia meraih Lily, menarik tubuhnya lebih dekat, memaksa untuk melayaninya.

Dengan kekuatan yang tidak terduga, Isaac membanting tubuh Lily ke atas kasur membuat Lily terkejut. Sebelum dia bisa bereaksi, Isaac sudah menindihnya, berat tubuhnya menekan keras, membuat Lily sulit bergerak.

Lily mencoba melawan, tetapi Isaac menahan kedua tangannya di atas kepala. "Isaac, berhenti!" teriak Lily, air mata mulai mengalir di pipinya.

Isaac tidak menghiraukan teriakan istrinya itu, bahkan dia tidak peduli dengan rasa lelah yang terpancar jelas di wajah Lily. Bibirnya dengan kasar menciumi wajah Lily dengan paksa, tangannya yang kuat meremas tubuhnya tanpa ampun. "Kamu milikku, Lily," desisnya, nadanya penuh hasrat yang menakutkan.

Lily meronta, mencoba membebaskan diri, tetapi Isaac terlalu kuat. "Isaac, please," isaknya, rasa takut dan putus asa menyelimuti dirinya.

Isaac terus memaksanya, tidak peduli dengan tangisan dan permohonan Lily. Tubuhnya yang berat menindih dengan keras, menghilangkan setiap kesempatan Lily untuk melawan. Dia merasa hancur dan merasa diperlakukan seperti pemuas di kala Isaac membutuhkannya.

Air mata mulai mengalir di pipi Lily. Dia merasa terjebak, tak berdaya menghadapi suaminya sendiri. Dengan hati yang hancur dan jiwa yang letih, Lily menyerah. Dia melayani Isaac dengan air mata yang terus mengalir, menangis dalam hening malam yang dingin.

Di balik setiap ciuman yang kasar dan sentuhan yang memaksa, Lily hanya bisa merasakan sakit dan keputusasaan. Tangisan Lily terus berlanjut, menggema dalam gelapnya malam yang sunyi, mengiringi setiap detik yang terasa begitu menyakitkan.

“Jadilah istri yang baik,” desis Isaac di sela-sela aktivitasnya.

Setelah merasa puas, Isaac menarik diri dari atas tubuh Lily. Dia meraih pakaiannya yang tergeletak di lantai tanpa mengucapkan sepatah katapun. Dia mengenakan celana dan kaosnya dengan gerakan cepat dan acuh tak acuh.

Lily terbaring lemah di tempat tidur, tubuhnya terasa hancur dan hatinya berantakan. Air mata terus mengalir di pipinya, dan isaknya yang pelan terdengar dalam keheningan kamar. Dia merasa tidak berdaya.

Isaac, tanpa menoleh sedikitpun ke arah Lily, berjalan keluar kamar.

Isaac berjalan menuju rooftop. Dia mengeluarkan sebatang rokok dari saku, menyalakannya dengan gerakan yang sudah terlalu akrab. Asap rokok pertama keluar dari bibirnya, dia merasa rileks, seakan tidak ada yang terjadi.

Isaac merokok dalam diam, seakan dunia di sekitarnya tidak berarti. Dengan setiap hisapan, dia semakin jauh dari kenyataan yang harus dihadapi, memilih melarikan diri dalam kepulan asap yang menyesakkan.

JANGAN LUPA LIKE, KOMEN, VOTE, TAMBAHKAN FAVORIT, DAN BERI HADIAH UNTUK NOVEL INI ❤️ TERIMAKASIH

Terpopuler

Comments

Mom Dee 🥰 IG : damayanti6902

Mom Dee 🥰 IG : damayanti6902

awal yg menarik 😊

2024-11-14

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!