Rere jatuh cinta pada pria buta misterius yang dia temui di Sekolah luar biasa. Ketika mereka menjalin hubungan, Rere mendapati bahwa dirinya tengah mengandung. Saat hendak memberitahu itu pada sang kekasih. Dia justru dicampakkan, namun disitulah Rere mengetahui bahwa kekasihnya adalah Putra Mahkota Suin Serigala.
Sialnya... bayi dalam Kandungan Rere tidak akan bertahan jika jauh dari Ayahnya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Zylan Rahrezi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Arion Dalam Bahaya
Bab 22 -
Di bawah langit malam yang berawan, Putra Mahkota Arion melangkah pelan di sepanjang pinggiran hutan yang mengelilingi wilayah Estyor. Matanya tajam memerhatikan setiap detil di sekelilingnya, mencoba mencari petunjuk baru tentang retakan dunia bawah yang baru saja muncul. Namun, di tengah keheningan hutan, dia merasakan sesuatu yang aneh-sebuah suara, samar-samar, memanggil namanya dari balik pepohonan yang gelap.
Arion menghentikan langkahnya, tatapannya beralih ke arah suara itu. "Siapa di sana?" gumamnya pada dirinya sendiri, meski tak ada jawaban yang terdengar selain bisikan angin.
Dorongan tak terjelaskan membuatnya melangkah lebih dalam ke hutan, mengikuti suara misterius itu. Setiap langkahnya terasa semakin berat, tetapi ia tak bisa berhenti. Suara itu terus memanggilnya, menariknya lebih dalam ke dalam bayangan yang semakin gelap.
Tiba-tiba, sesuatu yang besar dan lengket muncul dari dalam tanah, seperti tanaman rambat yang merayap keluar dari rawa. Monster rawa, makhluk dari dunia bawah yang tampak seperti gabungan akar-akar yang menjulur, melingkari tubuh Arion dengan cepat. Rambatan tanaman itu melilit tubuhnya dengan kuat, menghalangi gerakannya.
Arion segera menarik pedangnya dan mencoba menebas tanaman-tanaman yang melingkar di sekelilingnya. "Aku tak akan menyerah begitu saja!" serunya dengan penuh tekad. Tebasan demi tebasan ia lakukan, memotong beberapa bagian monster itu. Namun, monster rawa itu terlalu kuat. Dengan gerakan cepat, ia menepis pedang dari tangan Arion, membuat senjatanya terlempar jauh ke sisi lain hutan.
"Sial!" Arion merutuk dalam hati. Dia sendirian, tak ada prajurit atau pengawalnya di dekatnya. Kesalahannya adalah pergi tanpa membawa pasukan, dan sekarang dia terjebak dalam situasi yang sulit.
Tanpa pedangnya, Arion mencoba melawan dengan kekuatan fisiknya, namun lilitan monster rawa itu semakin erat. Sesuatu yang lebih besar sedang terjadi, dan Arion merasa dia harus bertahan-dia harus kembali hidup-hidup.
Di dalam ruang makan keluarga Estyor, perjamuan makan malam sederhana berlangsung. Rere duduk di meja bersama beberapa bangsawan dari klan Estyor, termasuk Josh De Estyor, tetua keluarga. Meskipun suasana perjamuan tampak tenang, perasaan Rere tidak tenang. Arion tidak hadir dalam perjamuan itu, dan absennya Putra Mahkota membuat Rere gelisah.
Sesekali, Rere melirik ke arah pintu, berharap Arion segera muncul. Namun, dia terlalu enggan untuk bertanya, meskipun firasat buruk sudah menghantui pikirannya. Dia menggenggam gelas di tangannya dengan sedikit gemetar.
Melihat kegelisahan Rere, Josh De Estyor mencoba memecah keheningan dengan mengajaknya berbicara ringan. "Kau tampak cemas, Rere," katanya lembut. "Raja Peri Acros sepertinya menjadi tumpuan harapan bagi semua klan sekarang. Kami semua bergantung pada ramalannya untuk menghadapi retakan yang semakin sering terjadi." Rere tersenyum tipis, meskipun pikirannya melayang. "Ya, ramalan beliau memang sangat penting. Semoga ramalan berikutnya bisa memberikan kita petunjuk yang lebih jelas," jawabnya dengan suara pelan.
Namun, sebelum percakapan mereka bisa berlanjut lebih jauh, pintu ruang makan terbuka dengan cepat, dan Calix, kesatria pengawal Arion, masuk dengan wajah serius. Dia mendekati meja dan berbisik kepada Rere, tatapannya penuh kecemasan.
"Putra Mahkota menghilang," katanya dengan nada tegas namun pelan, cukup untuk didengar Rere. "Kami tidak tahu ke mana dia pergi."
Rere terkejut, perasaan gelisahnya berubah menjadi kepanikan. Dia segera berdiri dari kursinya, tatapannya menatap Calix dengan intens. "Kita harus menemukannya," ucapnya dengan nada mendesak.
Rere bergegas keluar dari ruang makan, diikuti oleh Undine yang terbang melayang dari kalungnya, tubuhnya bersinar lembut di malam yang gelap. "Kita harus mencari Arion," kata Rere dengan penuh tekad.
Undine mengangguk, memancarkan cahaya biru di sekitarnya. "Aku akan membantumu menemukannya," jawab peri air itu. Dengan bantuan Undine, mereka mulai melacak jejak energi Arion, berharap bisa menemukan Putra Mahkota sebelum terlambat.
Namun, tak lama setelah mereka mendekati tepi hutan, Undine tiba-tiba berhenti di udara, wajahnya berubah tegang. "Rere, kita tidak bisa masuk lebih dalam," katanya dengan suara yang khawatir. "Hutan ini sudah terselimuti oleh kabut pekat sihir. Ini bukan kabut biasa-kabut ini bisa membahayakan bayimu." Rere tertegun mendengar peringatan Undine. Kabut itu... apakah berhubungan dengan retakan dunia bawah? Atau lebih dari itu, apakah ini juga berhubungan dengan mana kuat yang dibawa oleh bayi di dalam kandungannya?
"Tapi aku harus menemukannya, Undine!" kata Rere dengan suara putus asa. "Aku tidak bisa meninggalkannya di sana."
Undine terbang lebih dekat, tatapannya penuh dengan kekhawatiran. "Aku mengerti, tapi kau harus memikirkan keselamatan bayimu. Kabut ini sangat berbahaya, dan kita tidak tahu apa yang tersembunyi di baliknya. Jika kau masuk, risikonya terlalu besar."
Rere merasa frustrasi, tetapi dia tahu bahwa Undine benar. Dia tidak bisa mempertaruhkan nyawa bayinya, meskipun hatinya hancur memikirkan Arion yang mungkin sedang dalam bahaya. Dia menatap ke arah hutan yang gelap, berharap bahwa Arion akan segera kembali dengan selamat.
Tolonglah, Arion... kembali dengan selamat, gumamnya dalam hati, penuh harap.
Arion terperangkap dalam cengkeraman monster rawa yang semakin mempererat lilitannya di sekujur tubuhnya. Napasnya terasa semakin berat, dan penglihatannya mulai kabur. Namun, di tengah rasa sakit dan kelelahan, sesuatu yang aneh mulai terjadi di sekitarnya. Kabut tebal yang menutupi hutan mulai bergerak, menciptakan ilusi yang sulit dibedakan dari kenyataan.
Di balik kabut itu, sosok yang sangat dikenalinya tiba-tiba muncul. Rere berdiri di hadapannya, mengenakan jubah putihnya, dengan senyum lembut yang selalu membuat Arion merasa nyaman. Mata Rere menatap Arion dengan hangat, penuh kasih, seolah-olah dia benar-benar ada di sana. Arion yang terjebak dalam halusinasi kabut sihir itu, menatapnya dengan takjub.
"Arion," suara lembut Rere terdengar seperti bisikan yang membelai telinganya. Rere melangkah lebih dekat, tangannya terulur pelan menuju wajah Arion. Sentuhannya lembut, jemarinya meraba pipi Arion dengan kehangatan yang hampir terasa nyata.
Seketika, seluruh tubuh Arion merinding. Sentuhan Rere membuatnya merasakan perasaan yang tak pernah ia bayangkan sebelumnya. Seolah-olah seluruh dirinya tenggelam dalam kenyamanan dan kedamaian, lupa akan bahaya yang mengancam nyawanya.
"Rere..." bisik Arion dengan suara lemah, tubuhnya tak lagi melawan lilitan monster rawa. Dia seolah terbuai dalam halusinasi yang semakin dalam.
Namun, tiba-tiba, senyum lembut di wajah Rere berubah. Mata yang sebelumnya hangat kini dipenuhi kekosongan, dan senyum yang tadinya menenangkan berubah menjadi sesuatu yang aneh dan tak wajar. Saat Arion hendak meraih sosok Rere, wajah Rere mulai berubah-perlahan-lahan, wajah Rere berubah menjadi wajah Calix.
Arion terperanjat. Alih-alih melihat wajah Rere yang tersenyum, kini ia mendapati Calix, kesatria pengawalnya, menatapnya dengan ekspresi terkejut dan khawatir. Arion yang masih terbelit dalam lilitan monster rawa, menatap Calix dengan kebingungan.
"Yang Mulia! Apa yang terjadi dengan Anda?" seru Calix, sambil mencoba mendekati Arion dengan pedang terhunus, berusaha memotong tanaman yang melilit Putra Mahkota.
Arion mengerjap, matanya berusaha menyesuaikan diri dengan kenyataan. Halusinasi yang ia alami tadi membuatnya merasa bingung. Apa yang baru saja terjadi? Mengapa dia melihat Rere, dan mengapa perasaannya begitu kuat?
Dengan bantuan Calix dan pasukan yang cukup besar, mereka berhasil mengusir monster rawa itu. Arion, yang kini terlepas dari cengkeraman monster, terjatuh ke tanah dengan napas tersengal-sengal. Tubuhnya penuh luka, namun yang lebih mengganggunya adalah pikirannya. Dia merasa aneh, seolah-olah dia baru saja mengalami mimpi buruk yang terlalu nyata.
"Yang Mulia, Anda baik-baik saja?" tanya Calix, masih terkejut melihat keadaan Arion yang sepertinya terpengaruh oleh sesuatu yang lebih dari sekadar serangan monster.
Arion hanya mengangguk, meskipun masih kebingungan. Dia merasa tubuhnya lemas, bukan hanya karena pertempuran, tetapi karena halusinasi yang baru saja dia alami. "Aku baik-baik saja...." jawabnya dengan suara pelan, berusaha menyembunyikan kegelisahan yang melingkupinya.
Saat mereka kembali ke tempat yang lebih aman, Arion tidak bisa berhenti memikirkan Rere. Mengapa dia melihat Rere dalam halusinasi itu? Apa maksud dari semua ini? Bagaimana mungkin halusinasinya terasa begitu nyata?
Arion menggigit bibinya, merasa frustrasi. "Apakah aku sudah gila?" gumamnya dalam hati. Bayangan Rere terus menghantuinya, seolah-olah ada sesuatu yang lebih dalam di balik perasaannya.
Dia tahu bahwa sesuatu sedang berubah dalam dirinya, tetapi dia belum siap mengakuinya. Halusinasi itu mungkin hanya ilusi kabut sihir, namun perasaan yang muncul darinya terasa lebih nyata dari yang ingin dia akui.
Malam itu, di manor keluarga Estyor, suasana ruang tengah terasa berat dengan ketegangan. Arion, Jenderal Kylen, Calix, dan beberapa anggota bangsawan, termasuk Victor, berkumpul setelah kejadian di hutan. Mereka duduk mengelilingi meja besar dengan peta wilayah Estyor terbentang di atasnya. Setiap pria yang ada di ruangan itu memandang Arion, menunggu penjelasannya setelah insiden dengan monster rawa.
Arion, yang masih merasakan efek dari pertempuran dan halusinasi sebelumnya, berdiri di ujung meja, memegang tepi peta dengan tangan yang sedikit bergetar, meski ia berusaha keras untuk menyembunyikannya.
"Monster rawa yang kita hadapi tadi bukanlah makhluk biasa," ujar Arion memecah keheningan, suaranya tenang namun tegas. "Aku memperhatikan sesuatu yang tidak biasa dalam pergerakan makhluk itu. Berdasarkan pengamatanku, monster rawa ini kemungkinan besar adalah pengganti monster danau yang sebelumnya muncul dari retakan."
Para pria di ruangan itu saling berpandangan, mencoba mencerna penjelasan Arion.
"Pengganti?" tanya Jenderal Kylen, alisnya terangkat.
Arion mengangguk. "Ya, seperti posisi mereka berpindah. Monster danau seharusnya menjadi ancaman utama, namun dengan munculnya monster rawa, seolah-olah makhluk-makhluk dari retakan itu dapat beradaptasi, atau lebih tepatnya, menggantikan satu sama lain. Mungkin monster rawa itu muncul untuk menggantikan monster danau yang tidak lagi menjadi ancaman besar setelah kita menghadapinya," Keheningan kembali menyelimuti ruangan saat mereka mempertimbangkan hipotesis Arion. Itu adalah kemungkinan yang belum pernah mereka bayangkan sebelumnya-bahwa monster dari retakan dunia bawah mungkin memiliki keterkaitan satu sama lain, atau bahkan mekanisme pengganti ketika salah satu dari mereka dikalahkan.
"Selain itu," lanjut Arion, tatapannya kini lebih serius, "aku mendapati bahwa monster rawa ini mampu menghasilkan kabut sihir halusinasi. Kabut itu bisa memanipulasi persepsi kita dan membuat kita melihat apa yang tidak ada. Kabut itu bisa mempengaruhi kita secara fisik maupun mental."
Kata-kata Arion membuat beberapa orang di ruangan itu bergidik Kabut sihir halusinasi bukan sesuatu yang bisa dianggap remeh. Jika monster seperti itu bisa membuat prajurit atau bangsawan kehilangan kendali atas pikiran mereka, maka ancaman dari retakan ini jauh lebih berbahaya dari yang mereka kira.
Namun, di tengah suasana serius itu, Victor, yang selama ini mendengarkan dengan ekspresi santai, tiba-tiba tertawa kecil, menarik perhatian semua orang di ruangan. "Hmm... Halusinasi, ya? Mungkin kabut itu juga yang membuat Putra Mahkota kita terpedaya hingga akal sehatnya menguap," katanya dengan nada bercanda, senyum nakal di wajahnya.
Beberapa dari mereka tampak tersenyum tipis mendengar lelucon Victor, mencoba meredakan ketegangan yang ada. Namun, mata mereka kembali tertuju pada Arion, menunggu bagaimana dia merespons candaan itu.
Arion menatap Victor, namun kali ini dengan tatapan yang lebih dalam, lebih serius dari sebelumnya. "Kau benar," ujar Arion dengan suara yang datar tapi penuh arti. "Aku memang... terpengaruh oleh kabut halusinasi itu." Ucapan Arion membuat ruangan itu terdiam sejenak. Victor, yang semula bercanda, kini tampak terkejut. Dia jelas tidak menyangka bahwa Arion akan mengakui pengaruh kabut itu secara langsung. Beberapa pria lainnya juga tampak bingung dan waspada, menatap Putra Mahkota dengan tatapan penuh tanya.
"Aku tidak akan membohongi kalian," lanjut Arion dengan tenang, meskipun ada sedikit kegelisahan di balik kata-katanya. "Saat berada di tengah kabut itu, aku... melihat sesuatu yang tidak nyata. Itu membuatku tersesat dalam pikiranku sendiri."
Meski Arion tidak memberitahu secara spesifik halusinasi apa yang ia alami, dia tahu bahwa ini bukan waktunya untuk mengungkapkan bahwa sosok yang ia lihat adalah Rere. Itu adalah sesuatu yang terlalu pribadi dan bisa menimbulkan pertanyaan yang lebih dalam dari yang seharusnya.
Jenderal Kylen menatap Arion dengan cermat. "Jadi, Yang Mulia, kabut itu benar-benar bisa mempengaruhi pikiran kita?"
Arion mengangguk, tatapannya tajam. "Ya. Itu bukan kabut biasa. Itu bisa memanipulasi pikiran kita dan membuat kita meragukan kenyataan. Ini adalah sihir yang sangat berbahaya, dan kita harus waspada terhadap hal ini ke depannya."
Victor yang sebelumnya tertawa kini terdiam, tidak menyangka bahwa candaan kecilnya malah mendapatkan klarifikasi yang mengejutkan. Dia menyadari bahwa situasi ini jauh lebih serius dari yang ia kira.
"Kalau begitu," kata Victor, berusaha menyesuaikan kembali nada suaranya, "kita harus mencari tahu cara untuk menghadapi sihir kabut ini, bukan?"
Arion mengangguk sekali lagi, matanya penuh dengan tekad. "Betul. Kita tidak bisa membiarkan kabut ini membuat kita kehilangan kendali. Mulai sekarang, kita harus mempersiapkan diri lebih baik untuk menghadapi ancaman seperti ini."
Dengan kata-kata terakhir itu, diskusi mereka berlanjut, namun di benak Arion, halusinasi tentang Rere terus menghantuinya. Meski dia berhasil menyelamatkan dirinya dan mengklarifikasi pengaruh kabut, dia tidak bisa mengabaikan perasaan aneh yang tertinggal setelah pengalaman itu.
pliz jgn digantung ya ...
bikin penasaran kisah selanjutnya
apa yg dimaksud dgn setengah peri dan manusia? apakah rere?