Yaya pikir mereka benar sebatas sahabat. Yaya pikir kebaikan suaminya selama ini pada wanita itu karena dia janda anak satu yang bernasib malang. Yaya pikir kebaikan suaminya pada wanita itu murni hanya sekedar peduli. Tak lebih. Tapi nyatanya, ia tertipu mentah-mentah.
Mereka ... sepasang kekasih.
"Untuk apa kau menikahi ku kalau kau mencintainya?" lirih Yaya saat mengetahui fakta hubungan suaminya dengan wanita yang selama ini diakui suaminya sebagai sahabat itu.
(Please yg nggak suka cerita ini, nggak perlu kasih rating jelek ya! Nggak suka, silahkan tinggalkan! Jgn hancurkan mood penulis! Dan please, jgn buka bab kalo nggak mau baca krn itu bisa merusak retensi penulis. Terima kasih atas pengertiannya.)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon D'wie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Pergi
"Apa dia yang menjadi alasanmu menolak ku, Raf?"
Rafi mengernyit saat melihat siapa yang barusan bersuara tersebut. Tak berbeda dengan Yaya, ia pun ikut menatap Nora dengan dahi berkerut. Terlebih saat melihat dengan siapa Nora menghampiri mereka.
Yaya yang merasa tidak memiliki masalah dengan Nora pun seseorang yang datang bersamanya, merekahkan senyum ramah seperti biasa.
"Sudah aku bilang 'kan, itu bukan urusanmu." Rafi berusaha menjawab dengan biasa saja. Namun Nora bisa melihat ekspresi kekesalan di wajahnya.
"Raf, apa kau tidak salah, kau masih muda, kenapa kau justru lebih memilih perempuan itu? Apa matamu buta, dia bahkan lebih tua darimu," ucap Nora sambil menatap bengis ke arah Yaya.
Yaya yang tadinya tersenyum, semakin kebingungan.
"Ada apa ini sebenarnya? Kenapa kalian bertengkar di sini? Kalau ada masalah, sebaiknya selesaikan baik-baik. Oh ya, Nora, dokter Elvan, silahkan duduk dulu." Yaya berdiri lalu mempersilahkan kedua orang yang baru saja tiba itu untuk duduk di dua kursi yang masih kosong.
"Tidak usah sok beramah tamah pada kami. Mbak, seharusnya kau itu sadar diri, Rafi itu masih muda, tidak pantas untukmu. Meskipun kau pun masih muda, tapi kau jauh lebih dewasa. Kau lebih pantas menjadi kakak Rafi ketimbang pasangannya. Jadi aku minta, Mbak sadar diri," tukas Nora membuat Yaya membelalakkan matanya.
"Nora, jaga bicaramu! Sudah aku bilang, apapun yang aku lakukan itu bukanlah urusanmu. Kenapa kau masih saja ikut campur!" desis Rafi kesal. Rafi berusaha menekan suaranya sebab ia sadar kalau mereka sedang berada di tempat umum.
"Sebenarnya apa yang kau katakan, Nora? Jujur, Mbak tidak mengerti." Sedikit banyak, ia bisa memahami maksud kalimat Nira yang terindikasi merupakan sebuah kecemburuan. Tapi kenapa Nora justru cemburu padanya? Ia saja tidak memiliki hubungan apapun selain pertemanan dengan Rafi.
"Jangan pura-pura bodoh, Mbak! Mbak pasti tau maksud ucapanku!" seru Nora kesal yang menganggap Yaya sedang berpura-pura tidak mengerti apa yang ia katakan.
"NORA! BERHENTI BICARA SEMBARANGAN!"
"Rafi, jangan membentak adikku!" seru dokter Elvan yang kini ikut angkat bicara.
"Dokter Elvan, jangan karena Anda kakak Nora jadi Anda membenarkan setiap apa yang adik Anda katakan! Anda bisa mendengar sendiri 'kan seperti apa kata-kata yang adik Anda ucapkan. Apa itu pantas ia ucapkan pada seseorang yang usianya bahkan lebih dewasa dari dia. Terlebih ia juga selalu saja ikut campur urusanku. Apa hak dia selalu saja ikut campur urusanku?" balas Rafi nyalang. Jelas ia tidak terima dengan apa yang dokter Elvan lakukan. Membela sang adik sampaibm mengabaikan kesalahan fatal yang sedang adiknya lakukan.
"Oke, adikku memang salah karena terlalu ikut campur urusanmu. Tapi ... " Dokter Elvan menjeda kata-katanya. Ia melirik Yaya yang tampak penasaran dengan apa yang ingin ia ucapkan. "Itu dia lakukan karena dia mencintaimu. Selain itu, apa kau tau seperti apa perempuan yang kau pilih ini? Dia ... " Dokter Elvan kembali mengarahkan pandangannya pada Yaya yang sejujurnya terlihat begitu cantik. Padahal ia tidak berdandan berlebihan, tapi jujur saja hal itu mampu membuat jantungnya berdegup kencang. " ... bukanlah perempuan baik-baik," imbuhnya membuat mata Rafi dan Yaya terbelalak.
"Apa maksudmu, Dokter? Jangan menuduh orang sembarangan tanpa bukti karena itu sama saja dengan fitnah."
Yaya tetap diam. Ia penasaran dengan apa yang ingin dokter Elvan katakan. Sebenarnya apa yang mendasari laki-laki itu menilainya seperti itu. Sementara mereka saja baru bertemu sebanyak dua kali.
"Saya memang tidak memiliki bukti, tapi saya melihat dengan mata kepala saya sendiri bagaimana kelakuannya di luar sana." Nora yang mendengar itu tersenyum sinis.
"Kelakuan saya yang mana yang membuat Anda menilai saya sebagai bukan perempuan baik-baik?" Yaya menatap datar Dokter Elvan. Bila ia tadi menyambut mereka dengan senyuman, maka kini raut wajah itu terlihat datar. Tak ada keramahan, yang ada hanya perasaan kesal karena ada seseorang yang tiba-tiba mengatakannya bukan perempuan baik-baik. Sementara ia selalu menjaga batasan pada lawan jenis. Bahkan dengan Rafi pun meskipun mereka kian dekat, mereka tidak pernah melakukan sesuatu yang sekiranya berpotensi menimbulkan kesalahpahaman. Bahkan mereka pun selalu bertemu di tempat umum. Meskipun mereka tinggal di gedung yang sama, tapi mereka juga tidak pernah masuk ke unit apartemen masing-masing. Yaya tak pernah mengajak Rafi ke unitnya pun Rafi juga begitu. Lantas, apa yang mendasari dokter Elvan menilainya tanpa bukti seperti ini?
Dokter Elvan tersenyum sinis. Meskipun jantungnya sedang berdebar begitu cepat, tapi ia tetap harus menggunakan logika. Ia tak mungkin jatuh hati pada perempuan seperti ini. Meskipun sebelumnya pernah ada niatan untuk mendekati Yaya dan mengubah perilakunya, tapi sepertinya ia sudah tidak memiliki waktu lagi. Apalagi kini mereka sudah terlanjur saling berhadapan dan berdebat.
"Kau tentu masih ingat pertemuan kedua kita di Jakarta 'kan? Tepatnya di rumah sakit Husada tempo hari," ujar dokter Elvan.
Jelas saja, Yaya sedikit terkejut dengan penuturan itu. Pun Rafi, ia tidak tahu kalau Yaya dan dokter Elvan pernah bertemu kembali saat di Jakarta. Yang ia tahu, mereka pernah bertemu saat Yaya ikut membantu korban kecelakaan beberapa waktu lalu itu saja.
"Lantas?" tanya Yaya dingin. Memangnya apa korelasi antara pertemuan kedua mereka tempo hari dengan penilaian laki-laki itu sekarang?
"Saya melihat kamu masuk ke salah satu ruangan dokter dan dengan mata kepala saya sendiri saya melihat kamu berpelukan mesra dengan seorang dokter paruh baya. Ckckck ... Aku tidak menyangka, kau perempuan seperti itu. Ternyata penampilan bisa menipu. Kau berlagak seperti wanita yang sholehah, tapi aslinya kau ... " Dokter Elvan tersenyum sinis. "Kau tau, Rafi, bukan hari itu saja aku melihatnya dengan laki-laki paruh baya. Bahkan belum lama ini aku melihat perempuan ini sedang berkencan dengan laki-laki yang jauh lebih dewasa daripada dirinya. Lalu kini ia pun mendekati kamu. Apa perempuan seperti ini pilihanmu? Oke, kalau kau tidak mau memilih adikku. Tapi ... sebagai mantan konsulen yang juga sudah menganggap mu seperti adikku sendiri, aku sangat menyayangkan kalau mau lebih memilih dia. Di dunia ini masih banyak perempuan baik-baik yang lebih pantas untukmu, Raf. Aku tidak ingin kau menyesal di kemudian hari karena memilih perempuan seperti dia."
Dokter Elvan berujar tenang, tapi kata-katanya cukup menyakiti hati Yaya. Yaya sangat menyayangkan, padahal dokter Elvan merupakan dokter yang cerdas, tapi kenapa ia justru menilainya tanpa mencari tahu kebenarannya terlebih dahulu. Bahkan seorang polisi pun tidak bisa menuduh seseorang tanpa bukti yang jelas karena adanya asas praduga tak bersalah.
Lalu sekarang, ada seorang dokter yang menuduhnya sembarangan seperti ini? Tanpa bukti. Hanya karena sekedar melihat sesuatu yang bahkan ia tidak tahu kebenarannya.
"Kau dengar itu, Raf. Rafi, mungkin kau membenciku karena aku yang terlalu terobsesi padamu. Oke kalau kau tidak mau menerima cintaku, aku tak apa. Tapi ... tolong pertimbangan kata-kata Kak Elvan. Masih banyak perempuan baik-baik yang lebih pantas untukmu. Kau jangan tergoda dengan wajah polosnya. Kau tau, wajah cantik, polos, dan berhijab saja tidak bisa menjadi patokan kalau dia bukan perempuan baik-baik," sela Nora.
Rafi diam tak bergeming. Ia masih mencoba mencerna setiap kata-kata yang dokter Elvan sampaikan barusan.
"Mbak, kedokmu sudah terbongkar sekarang. Apa Mbak masih mau membela diri? Jelaskan pada kami sinis Nora.
Wajah datar Yaya tiba-tiba berubah. Ia kini justru tersenyum. Tersenyum miris. Kemudian terkekeh hambar. Hanya karena melihatnya dua kali sedang bersama laki-laki lain, ia lantas dicap bukan perempuan baik-baik? Benar-benar menakjubkan.
Melihat Yaya yang justru terkekeh membuat dokter Elvan dan Nora tercengang. Memangnya apa yang lucu, pikir mereka.
Sementara Rafi, ia belum tahu harus melakukan apa. Katakan saja ia bodoh. Ia masih belum bisa mencerna mana yang benar dan mana yang salah.
"Kenapa Mbak justru tertawa? Oh, aku tau, pasti Mbak sedang bingung harus membela diri bagaimana 'kan?" tuduh Nora.
Beberapa menit kemudian, Yaya pun akhirnya menghentikan tawanya. Ia menatap datar pada Nora dan dokter Elvan.
"Memangnya apa untungnya saya membela diri? Dan kalaupun saya mengatakan kebenarannya, apa mungkin kalian percaya?" ucap Yaya dengan sorot mata penuh luka. Padahal ia tidak pernah menyakiti orang lain, tapi kenapa orang lain sangat suka sekali menyakiti dirinya. "Seperti yang pernah Ali bin Abi Thalib katakan, "Tidak perlu menjelaskan tentang dirimu kepada siapa pun, karena yang menyukaimu tidak butuh itu. Dan yang membencimu tidak akan percaya itu." Terima kasih atas perkataannya yang menyakitkan. Kalau begitu, saya pamit undur diri."
Yaya pun segera mengambil tasnya dan pergi dari sana. Melihat Yaya yang pergi dengan raut penuh luka, Rafi pun berusaha mengejar. Nora ingin menghentikannya, tapi dokter Elvan mencegah. Entah mengapa, melihat raut wajah Yaya tadi membuat hati dokter Elvan sakit.
...***...
...Happy reading 🥰 🥰 🥰 ...