Elle, seorang barista di sebuah kedai kopi kecil di ujung kota, tanpa sengaja terlibat perselisihan dengan Nichole, pemimpin geng paling ditakuti di New York. Nichole menawarkan pengampunan, namun dengan satu syarat: Elle harus menjadi istrinya selama enam bulan. Mampukah Elle meluluhkan hati seorang mafia keji seperti Nichole?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Absolute Rui, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16: Dalam Perangkap Bayangan
Langit malam penuh dengan awan kelabu, disertai gemuruh petir yang terdengar dari kejauhan. Udara terasa berat, seperti menyimpan rahasia besar yang siap terungkap kapan saja. Di dalam rumah besar yang megah, Nichole berdiri di ruang kerjanya, punggungnya menghadap ke arah Elle. Ia menatap keluar jendela, hujan deras membasahi kaca dan memantulkan cahaya lampu jalan.
“Kau tahu, bukan, bahwa semua ini tidak akan berhenti sampai aku menghadapi Victor,” ucap Nichole akhirnya, suaranya rendah dan penuh beban.
Elle berdiri di ambang pintu, ragu-ragu. Kata-kata itu seolah membawa bobot yang lebih dari sekadar ancaman biasa. Selama berminggu-minggu ia menyadari bayang-bayang yang selalu mengikuti Nichole—rasa takut dan kehati-hatian yang jarang ia tunjukkan. Tetapi kali ini, semuanya terasa lebih personal.
“Victor…” Elle memulai, suaranya pelan. “Siapa sebenarnya dia bagimu?”
Nichole menutup matanya sejenak, sebelum berbalik untuk menghadapi Elle. Ekspresinya tegang, dan matanya yang biasanya penuh keyakinan kini menyimpan rasa sakit yang sulit disembunyikan.
“Victor adalah… pamanku,” katanya akhirnya. “Tapi dia lebih dari itu. Dia adalah mentorku. Orang yang mengajarkan aku segalanya tentang dunia ini.”
Elle membelalakkan matanya, tidak menyangka jawaban itu. “Pamanmu?”
Nichole mengangguk, berjalan menuju meja kerjanya dan membuka laci kecil. Ia mengeluarkan sebuah foto tua, sedikit pudar oleh waktu. Foto itu menunjukkan seorang pria berusia sekitar empat puluhan dengan mata tajam dan senyum tipis. Di sampingnya, ada seorang anak lelaki kecil yang tidak lain adalah Nichole muda.
“Ketika orang tuaku meninggal,” lanjut Nichole, suaranya berubah lebih pelan, “Victor adalah satu-satunya keluarga yang tersisa. Dia membawaku masuk ke dunianya, mengajarkanku cara bertahan hidup, cara menjadi pemimpin. Tapi dia juga mengajarkanku satu hal yang selalu membuatku muak: kekuasaan adalah segalanya, dan keluarga adalah beban.”
Elle menatapnya, bingung. “Tapi kau adalah keluarganya. Bagaimana dia bisa berpikir seperti itu?”
Nichole tertawa kecil, pahit. “Victor tidak melihatku sebagai keluarga. Baginya, aku adalah penerusnya, pion yang ia bentuk untuk melanjutkan warisannya. Tetapi ketika aku mulai membangun jalanku sendiri, dia merasa aku mengkhianatinya.”
Elle menghela napas panjang, mencoba mencerna semuanya. “Jadi ini bukan hanya tentang persaingan. Ini juga tentang… pengkhianatan?”
Nichole mengangguk. “Dalam pikirannya, aku tidak layak untuk mengambil alih. Aku terlalu manusiawi, katanya. Dan sekarang, dia ingin menghancurkanku untuk membuktikan bahwa aku tidak pernah bisa melampauinya.”
...ΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩΩ...
Malam itu, hujan terus turun, menciptakan irama yang mengiringi ketegangan di dalam rumah. Nichole berdiri di ruang pertemuan dengan anak buahnya, peta besar terbentang di atas meja. Elle, meskipun tidak diundang, berdiri di sudut ruangan, memperhatikan.
“Kita sudah tahu tiga lokasi yang mungkin menjadi tempat persembunyian Victor,” kata Nichole sambil menunjuk peta. “Dia pintar, tapi dia juga punya pola. Jika kita bisa mengantisipasi langkahnya, kita punya kesempatan untuk menyerang lebih dulu.”
Salah satu anak buahnya, seorang pria bernama Marco, mengangguk. “Tapi bos, ini Victor yang kita bicarakan. Dia tidak akan tinggal diam. Jika kita salah langkah, dia bisa membalikkan keadaan dengan mudah.”
Nichole menatap Marco dengan tatapan tajam. “Aku tahu siapa yang kita hadapi, Marco. Aku mengenalnya lebih baik daripada siapa pun di ruangan ini. Itulah kenapa kita harus bergerak cepat.”
Elle akhirnya memberanikan diri untuk bicara. “Dan jika ini jebakan? Bagaimana kau tahu dia tidak sengaja meninggalkan petunjuk untuk menjebakmu?”
Ruangan menjadi sunyi. Semua mata tertuju pada Elle, yang tampak gugup di bawah tatapan mereka.
Nichole berjalan mendekatinya, ekspresinya lembut meskipun ada ketegasan di matanya. “Itulah kenapa aku tidak ingin kau terlibat, Elle. Ini bukan duniamu.”
“Tapi aku sudah terlibat,” balas Elle dengan nada tegas. “Dan aku tidak akan diam saja sementara kau mempertaruhkan nyawamu.”
Nichole menatapnya beberapa detik sebelum menghela napas panjang. “Kau keras kepala, seperti biasa.”
Beberapa jam kemudian, mereka bergerak. Nichole memimpin tim kecil menuju salah satu lokasi yang diduga menjadi markas Victor. Tempat itu adalah sebuah gudang tua di pinggiran kota, jauh dari keramaian.
Elle, meskipun awalnya dilarang ikut, memaksa untuk bergabung. Ia tahu risiko yang dihadapinya, tetapi rasa khawatir terhadap Nichole mengalahkan ketakutannya.
Ketika mereka tiba di gudang, suasana terasa mencekam. Udara dingin malam bercampur dengan bau logam yang menusuk. Lampu-lampu redup menyinari lorong-lorong yang kosong, menciptakan bayangan panjang di dinding.
“Berhati-hatilah,” bisik Nichole pada timnya. “Victor tidak pernah meninggalkan tempat tanpa perlindungan.”
Mereka berjalan perlahan, senjata siap di tangan. Elle tetap di belakang, matanya waspada terhadap setiap gerakan.
Tiba-tiba, sebuah suara menggema dari pengeras suara yang tersembunyi di dalam gudang.
“Nichole…” Suara itu rendah dan penuh karisma, membuat bulu kuduk mereka berdiri.
Nichole berhenti, mengenali suara itu. “Victor.”
Suara itu tertawa kecil. “Aku tahu kau akan datang. Aku bahkan sudah menyiapkan penyambutan untukmu.”
Saat itu juga, lampu-lampu padam, meninggalkan mereka dalam kegelapan total. Detik berikutnya, tembakan terdengar dari segala arah.
“Berlindung!” teriak Nichole, menarik Elle ke balik tumpukan kotak kayu.
Elle merasakan jantungnya berdetak kencang. Ia mencoba menenangkan dirinya, tetapi suara tembakan dan bayangan yang bergerak cepat di sekitarnya membuatnya sulit berpikir.
Nichole merapat di sampingnya, senjatanya siap di tangan. “Kau baik-baik saja?”
Elle mengangguk meskipun tangannya gemetar. “Aku… aku baik.”
Nichole menatapnya sejenak, sebelum kembali fokus ke situasi. “Dengarkan aku. Apapun yang terjadi, tetap di belakangku.”
Perlahan, mereka mulai bergerak maju, mencoba mencari celah untuk keluar dari serangan itu. Tapi Victor tidak membuatnya mudah.
Tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar di belakang mereka. Pintu besar terbuka, dan seseorang muncul dengan langkah mantap.
Victor.
Pria itu tinggi dan berkarisma, dengan rambut abu-abu yang disisir rapi dan mata tajam yang memancarkan kekuatan. Ia mengenakan jas hitam yang tampak seperti dibuat khusus untuknya, memancarkan aura dominasi yang tak terbantahkan.
“Nichole,” katanya, suaranya tenang namun penuh otoritas. “Kau datang jauh-jauh ke sini hanya untuk mati? Sungguh mengecewakan.”
Nichole berdiri, meskipun Elle mencoba menariknya kembali ke perlindungan. “Victor, kau tidak perlu melakukan ini.”
Victor tertawa kecil. “Oh, anakku, aku harus. Kau sudah terlalu jauh. Kau melupakan tempatmu. Dan aku di sini untuk mengingatkanmu siapa yang sebenarnya memegang kendali.”
Nichole mengangkat senjatanya, matanya tajam. “Kita lihat saja siapa yang akan bertahan malam ini.”
Ketegangan di antara mereka begitu tebal hingga bisa dirasakan di udara. Elle hanya bisa menatap, tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi sadar bahwa malam itu akan mengubah segalanya.
...To be Continued...
Aku membaca sampai Bab ini...alurnya bagus cuma cara menulisnya seperti puisi jdi seperti dibuat seolah olah mencekam tpi terlalu..klo bahasa gaulnya ALAY Thor...maaf ya 🙏...Kisah yg melatar belakangi LN dn itu soal cium" ketua mafia hrsnya lebih greget ngak malu"... klo di Indonesia mungkin sex tdk begitu ganas krn kita mengedepankan budaya timur..ini LN sex hrnya lbih wau....dlm hal cium mencium..ini mlah malu" meong 🤣🤣🤣🤣🤣