seorang gadis "bar-bar" dengan sikap blak-blakan dan keberanian yang menantang siapa saja, tak pernah peduli pada siapa pun—termasuk seorang pria berbahaya seperti Rafael.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lince.T, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ketegangan di balik pintu
Gudang tua di Distrik Selatan kini menjadi markas sementara Rafael untuk interogasi Viktor. Malam itu, suasana terasa lebih mencekam dibanding biasanya. Anak buah Rafael berjaga di setiap sudut, bersiap menghadapi kemungkinan serangan mendadak dari pihak Darius.
Di dalam ruangan sempit yang hanya diterangi satu lampu gantung, Viktor duduk dengan tangan terikat di kursi. Wajahnya penuh luka akibat perlawanan kecil yang ia berikan saat ditangkap. Rafael duduk di seberang meja kayu kecil, menatap Viktor dengan dingin.
“Kita bisa menyelesaikan ini dengan cepat, Viktor,” kata Rafael dengan nada rendah, tapi tajam. “Lo kasih tahu semua yang gue mau tahu, dan gue mungkin mempertimbangkan untuk nggak bikin malam lo jadi lebih buruk.”
Viktor tertawa kecil meski suaranya terdengar lemah. “Lo pikir gue bakal bicara? Gue lebih baik mati daripada mengkhianati Darius.”
Rafael tersenyum tipis, seolah menikmati tantangan itu. “Kematian itu mudah, Viktor. Tapi rasa sakit? Itu cerita lain.”
Marco, yang berdiri di sudut ruangan, mendekat sambil membawa koper kecil. Ia meletakkannya di atas meja dan membukanya, memperlihatkan alat-alat interogasi yang cukup membuat siapa pun bergidik ngeri.
Liana, yang berdiri di luar ruangan dan mengintip melalui celah pintu, merasa cemas. Ia tahu Rafael kejam, tapi melihat ini dengan mata kepalanya sendiri membuatnya merasa tidak nyaman.
Di dalam, Viktor berusaha menjaga keberaniannya. “Darius akan memburu lo. Cepat atau lambat, dia akan menghancurkan lo dan semua yang lo punya.”
Rafael mencondongkan tubuhnya, mendekat ke wajah Viktor. “Darius mungkin pintar, tapi dia membuat satu kesalahan besar. Dia berpikir gue main-main.”
Viktor tertawa kecil, darah di sudut bibirnya menetes. “Lo terlalu percaya diri, Rafael. Dunia ini lebih besar dari yang lo pikir.”
---
Liana tidak tahan lagi. Ia membuka pintu dan melangkah masuk, menarik perhatian semua orang di ruangan itu.
“Cukup!” serunya.
Rafael menoleh, tatapannya seolah bertanya apa yang Liana pikirkan.
“Kalau lo bikin dia terlalu takut, dia nggak akan bicara. Lo harus main dengan cara yang berbeda,” kata Liana sambil melipat tangan di dadanya.
Rafael mengangkat alis, sedikit terkejut dengan keberanian Liana untuk ikut campur. “Dan menurut lo, apa cara yang lebih baik?”
Liana mendekat ke meja, menatap Viktor dengan tajam. “Lo pikir Darius bakal peduli sama lo? Lo cuma bidak kecil di permainan besarnya. Kalau lo ditangkap atau mati, dia bakal gantiin lo dalam hitungan hari. Jadi kenapa lo harus setia sama orang yang nggak peduli sama hidup lo?”
Viktor menatap Liana dengan ragu. Kata-katanya menusuk logika yang selama ini ia pegang teguh.
“Darius nggak bakal ninggalin gue,” gumam Viktor, tapi suaranya goyah.
Liana tersenyum dingin. “Beneran? Kalau gitu, kenapa dia nggak datang buat nyelamatin lo sekarang?”
Ruangan itu menjadi sunyi. Rafael memperhatikan dengan penuh minat. Ia menyadari bahwa pendekatan Liana, meski tidak konvensional, mulai membuahkan hasil.
---
Di luar, suasana tidak kalah tegang. Salah satu anak buah Rafael melaporkan melalui radio bahwa mereka mendeteksi pergerakan mencurigakan di radius satu kilometer. Rafael mendengar laporan itu dan segera memberi perintah.
“Marco, tingkatkan keamanan. Pastikan semua pintu dan jalur keluar terjaga.”
Marco mengangguk dan keluar ruangan untuk mengatur penjagaan. Rafael kembali fokus ke Viktor.
“Liana punya poin bagus,” kata Rafael. “Kalau Darius benar-benar peduli, dia sudah ada di sini sekarang. Tapi nyatanya, lo sendirian.”
Viktor terdiam. Ia mulai menyadari bahwa ucapannya mungkin benar.
Liana melanjutkan dengan nada lebih lembut. “Lo nggak harus mati untuk orang yang nggak peduli sama lo. Tapi kalau lo bantu kita, lo mungkin punya kesempatan untuk hidup lebih lama.”
Ketegangan terasa di udara. Rafael menunggu dengan sabar, membiarkan kata-kata Liana bekerja pada Viktor.
Akhirnya, Viktor menghela napas panjang. “Apa yang lo mau tahu?”
Rafael tersenyum dingin. “Semua. Rencana Darius, pergerakan dia, dan kelemahan yang bisa gue manfaatkan.”
---
Malam itu, Viktor mulai berbicara, memberikan informasi penting yang bisa menjadi kunci kemenangan Rafael. Sementara itu, Liana berdiri di sudut ruangan, merasa puas karena berhasil mengubah situasi.
Namun, ia tahu bahwa ini hanya awal dari permainan yang lebih besar. Di balik kemenangan kecil ini, bahaya yang lebih besar masih mengintai mereka semua.Liana melangkah keluar dari ruangan setelah mendengar sebagian besar pengakuan Viktor. Udara dingin malam itu terasa seperti pengingat betapa beratnya situasi yang ia hadapi. Di luar gudang, anak buah Rafael berjaga dengan senjata di tangan, wajah mereka penuh kewaspadaan.
Ia berjalan ke arah mobil, mencoba mengatur pikirannya yang berkecamuk. Ini adalah pertama kalinya ia terlibat langsung dalam situasi seperti ini. Melihat Rafael yang begitu tenang saat menghadapi ancaman besar, Liana merasa kagum sekaligus terintimidasi.
Namun, di balik kekagumannya, ada rasa takut. Bukan takut pada Rafael, tapi takut kehilangan dirinya sendiri di tengah dunia yang keras ini. Dunia Rafael penuh dengan darah, kebohongan, dan kekuasaan, sesuatu yang jauh dari kehidupan bebas dan spontan yang biasa ia jalani.
Saat Liana merenung, Rafael keluar dari gudang. Ia berjalan ke arahnya, suaranya lembut namun tetap penuh otoritas. “Lo baik-baik aja?”
Liana mengangguk, meski jelas terlihat dari wajahnya bahwa ia sedang bergumul dengan pikirannya. “Ini cuma... terlalu banyak buat gue,” jawabnya pelan.
Rafael mendekat, berdiri di sampingnya.
“Gue nggak paksa lo buat ikut terlibat sejauh ini, Liana. Kalau lo mau keluar, sekarang saatnya.”
Liana menatap Rafael, matanya penuh emosi yang sulit dijelaskan. “Keluar? Lo pikir gue bisa balik ke kehidupan gue yang lama setelah semua ini? Gue udah tahu terlalu banyak, Rafael. Dan lo tahu apa artinya itu.”
Rafael mengangguk perlahan. “Lo benar. Lo nggak bisa keluar begitu aja. Tapi gue janji satu hal. Selama gue masih hidup, gue nggak akan biarin lo terluka.”
Kata-kata Rafael seharusnya membuat Liana merasa tenang, tapi justru menambah beban di hatinya. Ia tahu Rafael tulus, tapi ia juga tahu bahwa janjinya tidak akan mudah ditepati di dunia yang penuh bahaya ini.
---
Sementara itu, di dalam gudang, Marco sedang menyusun informasi yang baru saja mereka dapatkan dari Viktor. Salah satu informasi paling mengejutkan adalah lokasi gudang senjata rahasia milik Darius. Jika Rafael bisa menghancurkannya, itu akan menjadi pukulan besar bagi kekuatan musuh.
Marco masuk ke ruangan di mana Rafael dan Liana berdiri. “Bos, kita punya lokasi gudang senjata mereka. Tapi ada satu masalah. Tempat itu dijaga ketat, dan ada laporan bahwa Darius sendiri mungkin berada di sana.”
Rafael menyeringai, seolah tantangan itu justru membuatnya semakin tertarik. “Kalau Darius ada di sana, itu justru kesempatan kita. Kita bisa selesaikan semua ini sekaligus.”
Marco terlihat ragu. “Tapi risikonya besar, Bos. Kalau kita salah langkah, ini bisa jadi perang habis-habisan.”
Rafael menepuk bahu Marco. “Kita nggak punya pilihan lain. Semakin lama kita menunggu, semakin kuat posisi Darius. Kita harus ambil risiko.”
Liana, yang mendengar percakapan itu, merasa cemas. “Rafael, lo yakin ini langkah yang tepat? Lo bilang sendiri tadi kalau musuh yang terlalu percaya diri itu berbahaya.”
Rafael menatap Liana dengan serius. “Gue tahu risikonya, Liana. Tapi kadang, di dunia ini, lo harus bertaruh besar untuk menang besar.”
---
Malam itu, rencana mulai disusun. Rafael memerintahkan anak buahnya untuk mengumpulkan semua sumber daya yang mereka miliki. Mereka akan menyerang gudang senjata Darius dalam waktu 48 jam.
Namun, di tengah persiapan, Liana tidak bisa menahan pikirannya yang terus berputar. Ia merasa ada sesuatu yang salah. Semua informasi yang diberikan Viktor terasa terlalu mudah, seolah-olah Darius sengaja membuat mereka menemukan lokasi gudang senjata itu.
Ia mendekati Rafael, yang sedang berdiskusi dengan Marco di ruang taktis. “Rafael, gue rasa ini jebakan.”
Rafael menatapnya dengan tatapan tajam. “Kenapa lo pikir begitu?”
“Darius bukan orang bodoh. Kalau Viktor bisa kasih tahu lokasi penting seperti itu, gue yakin itu karena Darius membiarkannya. Gue nggak tahu apa rencana dia, tapi ini nggak terasa benar.”
Marco, yang mendengar itu, ikut mengangguk setuju. “Dia ada poin, Bos. Kita perlu pastikan semua informasi ini akurat sebelum kita bergerak.”
Rafael berpikir sejenak, lalu menghela napas panjang. “Lo mungkin benar. Tapi kalau ini jebakan, kita harus buat mereka berpikir bahwa kita jatuh ke dalamnya. Kalau nggak, kita nggak akan pernah tahu apa rencana Darius sebenarnya.”
---
Dalam beberapa jam berikutnya, Rafael dan timnya mulai menyiapkan strategi baru. Mereka akan berpura-pura menyerang langsung, tetapi sebenarnya sudah menyiapkan rencana cadangan untuk menghadapi jebakan yang mungkin ada.
Liana tetap merasa cemas, tetapi ia tahu bahwa Rafael sudah mengambil keputusan. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah memastikan bahwa ia ada di sisinya, apa pun yang terjadi.
Malam semakin larut, tetapi ketegangan semakin terasa. Semua orang tahu bahwa langkah berikutnya akan menentukan segalanya—apakah Rafael akan memimpin dengan kemenangan besar, atau semuanya akan berakhir dalam kekalahan tragis.