> "Dulu, namanya ditakuti di sudut-sudut pasar. Tapi siapa sangka, pria yang dikenal keras dan tak kenal ampun itu kini berdiri di barisan para santri. Semua karena satu nama — Aisyah.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon syahru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 25: Menghadapi Takdir dengan Ikhlas
Bab 25: Menghadapi Takdir dengan Ikhlas
"Dan bersabarlah kamu bersama orang-orang yang menyeru Tuhannya di pagi dan petang hari dengan mengharap keridhaan-Nya. Dan janganlah pandangannya teralih dari mereka."
(QS. Al-Kahfi: 28)
---
Sebuah Keputusan yang Berat
Setelah pertemuannya dengan Aisyah, hati Fahri dipenuhi oleh berbagai perasaan. Sebagian besar dari dirinya merasa lega bisa bertemu dan mengungkapkan niat baiknya, tetapi ada juga bagian dari dirinya yang merasa bingung. Aisyah kini dalam kondisi yang sangat rapuh, dan Fahri merasa harus melakukan lebih banyak untuk membantunya. Namun, ia juga tidak ingin memberi harapan palsu.
Hari-hari setelah pertemuan itu, Fahri menghabiskan waktunya dengan banyak berpikir. Ia kembali mengingat saat-saat indah bersama Aisyah sebelum ia memutuskan untuk menjalani hidup di pesantren. Apakah ia harus kembali pada Aisyah? Ataukah ia cukup membantu dengan cara yang lebih ikhlas, tanpa melibatkan perasaan pribadi yang masih tersisa?
Setiap kali ia berdoa, Fahri selalu memohon petunjuk Allah untuk menunjukkan jalan yang benar. "Ya Allah, aku ingin melakukan yang terbaik, tapi aku juga tidak ingin menyakitinya lagi," gumam Fahri dalam hati.
---
Perjalanan Dalam Mencari Jawaban
Fahri tahu, ia tidak bisa terus-terusan terperangkap dalam perasaan yang belum selesai. Ia harus memilih jalan yang sesuai dengan takdir Allah, meskipun jalan itu tidak mudah. Melangkah lebih jauh dalam prosesnya belajar agama di pesantren memberinya sedikit kedamaian, tetapi perasaan rindu dan kesal terhadap keadaan yang ada tetap saja menghantuinya.
Suatu hari, ia bertemu dengan Ustaz Arif yang selalu menjadi panutan dan pembimbingnya di pesantren. Dalam percakapan mereka, Fahri menceritakan semua perasaan yang ia alami.
"Ustaz, saya merasa terjebak dalam perasaan yang sulit saya kendalikan. Aisyah… dia dalam kesulitan, dan saya ingin membantunya. Tapi, saya juga takut jika saya hanya akan menyakitinya lagi," kata Fahri dengan suara penuh keraguan.
Ustaz Arif menatapnya dengan penuh perhatian. "Fahri, hidup ini penuh dengan ujian dan pilihan. Terkadang, kita dihadapkan pada situasi yang membingungkan. Tetapi ingatlah, apa yang kita pilih harus berdasarkan niat yang baik. Jika niatmu adalah untuk membantu, maka lakukanlah dengan tulus. Jangan biarkan perasaanmu mengambil alih, karena hati yang ikhlas akan lebih ringan dalam menerima takdir."
Fahri mengangguk, mencoba mencerna nasihat itu. "Lalu, bagaimana jika saya salah langkah, Ustaz?"
Ustaz Arif tersenyum lembut. "Kita semua manusia, Fahri. Tidak ada yang sempurna. Tetapi jika kita bersungguh-sungguh dalam menjalankan yang terbaik menurut Allah, maka apapun hasilnya adalah yang terbaik untuk kita. Berdoalah, dan biarkan Allah yang menentukan."
---
Kembali ke Aisyah
Setelah merenung panjang, Fahri merasa bahwa ia harus kembali menemui Aisyah. Tetapi kali ini, ia tidak ingin membawa harapan atau tekanan. Ia hanya ingin menjadi teman yang bisa diandalkan, tidak lebih dari itu.
Keesokan harinya, Fahri mengunjungi rumah Aisyah sekali lagi. Suasana rumah itu masih terasa hampa, namun ia tidak gentar. Dengan hati yang ikhlas, ia mengetuk pintu dan menunggu.
Aisyah membuka pintu dengan wajah yang terlihat lebih tenang. Ada sedikit keceriaan di wajahnya yang memancarkan kelegaan. "Fahri, kau datang lagi?" tanyanya dengan nada lembut.
"Ya, Aisyah. Aku ingin memastikan apakah kau baik-baik saja. Aku mendengar bahwa banyak masalah yang datang kepadamu, dan aku ingin membantu dengan apa pun yang aku bisa," jawab Fahri dengan penuh ketulusan.
Aisyah menatapnya sejenak, dan kemudian mengangguk pelan. "Terima kasih, Fahri. Sungguh, aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Hidupku berubah begitu cepat."
Fahri duduk di depan Aisyah, dan mereka berbicara panjang lebar tentang apa yang terjadi dalam hidup mereka masing-masing. Fahri mendengarkan dengan penuh perhatian, memberikan nasihat yang bijaksana sesuai dengan yang telah diajarkan di pesantren. Meskipun ia merasa sedih melihat Aisyah dalam keadaan tersebut, ia juga merasa lega bisa berbicara dengan jujur tanpa terbebani oleh perasaan pribadi.
---
Keputusan untuk Melangkah Maju
Setelah berbicara lama, Aisyah akhirnya berkata, "Fahri, aku tahu kau ingin membantuku. Tapi aku merasa aku harus menjalani hidup ini sendiri sekarang. Aku perlu waktu untuk sembuh."
Fahri mengangguk, meskipun hatinya sedikit teriris. "Aku mengerti, Aisyah. Aku akan selalu ada jika kau butuh bantuan. Tapi aku tidak ingin mengganggumu. Aku hanya ingin melihatmu bahagia."
Aisyah tersenyum lembut, dan itu memberi ketenangan dalam hati Fahri. "Terima kasih, Fahri. Aku juga ingin melihatmu bahagia. Teruskan perjalananmu, dan jangan biarkan masa lalu menghalangimu."
Fahri merasa berat untuk meninggalkan Aisyah, tetapi ia tahu bahwa inilah yang terbaik untuk mereka berdua. Mereka berpisah dengan penuh rasa hormat dan ikhlas, dan Fahri kembali ke pesantren dengan hati yang lebih tenang, meskipun masih ada perasaan kehilangan yang sulit dijelaskan.
---
Fahri kembali ke pesantren dengan hati yang lebih lapang. Ia tahu bahwa perjalanan hidupnya masih panjang, dan ia harus terus melangkah dengan niat yang baik. Meskipun perasaan cinta pada Aisyah tidak bisa dihapus begitu saja, Fahri sadar bahwa ia harus menghargai pilihan dan takdir Allah. Ia kembali memfokuskan diri untuk memperbaiki dirinya, mempelajari agama, dan menjalani hidup yang lebih baik.
Dengan penuh keyakinan, Fahri berdoa, "Ya Allah, beri aku kekuatan untuk menghadapi semua ujian-Mu. Tuntunlah aku di jalan-Mu yang lurus, dan jauhkanlah aku dari kebingungan dalam memilih."