Ketika cinta hadir di antara dua hati yang berbeda keyakinan, ia mengajarkan kita untuk saling memahami, bukan memaksakan. Cinta sejati bukan tentang menyeragamkan, tetapi tentang saling merangkul perbedaan. Jika cinta itu tulus, ia akan menemukan caranya sendiri, meski keyakinan kita tak selalu sejalan. Pada akhirnya, cinta mengajarkan bahwa kasih sayang dan pengertian lebih kuat daripada perbedaan yang ada.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Faustina Maretta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kesedihan Nisa
Keluarga Nisa sudah cukup lama bersabar, terutama Rahmat, ayah Nisa, yang merasa kesal dengan keluarga Tama. Sudah berminggu-minggu Rahmat menunggu kabar dari Arman, ayah Tama, terkait pembicaraan yang mereka lakukan. Mereka pernah bertemu untuk membicarakan rencana perjodohan antara Tama dan Nisa, namun hingga saat ini, Arman belum memberikan kejelasan, seolah menunda-nunda dengan alasan yang tidak jelas.
Rahmat duduk di ruang tamu sambil memandang ponselnya yang tak kunjung berbunyi. Berkali-kali ia mencoba menahan kekesalan, tapi kini rasa itu tak bisa lagi dibendung. Baginya, waktu adalah sesuatu yang sangat berharga, dan menunggu tanpa kepastian seperti ini terasa sangat merendahkan.
"Ayah, mungkin mereka sibuk. Kita beri mereka waktu lagi," ujar Nisa, berusaha menenangkan ayahnya meski dalam hati ia juga mulai gelisah.
"Tapi tidak bisa seperti ini terus, Nisa! Aku sudah menunggu berminggu-minggu. Mereka yang berjanji akan menghubungi setelah pertemuan kita, tapi sampai sekarang tidak ada kabar apa pun. Apa mereka menganggap kita ini main-main?" Rahmat menggerutu, memukul meja dengan pelan, tanda bahwa ia mulai kehilangan kesabarannya.
Nisa tahu betul bagaimana ayahnya merasa sedikit terhina. Sebagai seorang pria yang menjunjung tinggi harga diri, Rahmat tidak pernah suka digantung tanpa kepastian, terutama ketika menyangkut hal-hal yang penting seperti ini.
Di sisi lain, Nisa memang tidak terlalu mengenal Tama secara personal. Ia hanya mengikuti apa yang orangtuanya anggap sebagai pilihan terbaik untuk masa depannya. Namun, semakin lama Arman dan keluarganya menunda, semakin ia merasa bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
"Ayah, bagaimana kalau kita coba bicara langsung dengan mereka lagi? Tanyakan kejelasannya secara langsung daripada terus menunggu dalam ketidakpastian," usul Nisa dengan lembut.
Dengan tekad bulat, Rahmat akhirnya memutuskan untuk menghubungi Arman dan meminta kepastian. Bagi Rahmat, harga dirinya dan keluarganya terlalu berharga untuk terus dibiarkan dalam ketidakpastian.
***
Tama duduk di ruang tamu rumahnya ketika ia mendengar suara mobil berhenti di depan rumah. Dari balik tirai, ia bisa melihat keluarga Nisa turun dari mobil. Ini adalah pertama kalinya ia akan bertemu langsung dengan Nisa, wanita yang diinginkan oleh orang tuanya untuk menjadi istrinya. Meskipun Tama tahu pertemuan ini tak terhindarkan, hatinya dipenuhi rasa gelisah. Ia telah memutuskan bahwa ini saatnya untuk berbicara jujur.
Rahmat, ayah Nisa, memasuki ruang tamu dengan tegap, diikuti oleh Nisa dan ibunya. Nisa tampak anggun, dengan wajah yang tenang namun tidak dapat menyembunyikan sedikit kegugupan. Ini pertama kalinya mereka bertatap muka, dan Nisa tampak sedikit canggung. Tama mengamati wanita yang hendak dijodohkan dengannya ini, namun hatinya sudah terisi oleh perasaan yang berbeda.
Setelah beberapa basa-basi, Rahmat dengan nada yang tegas namun sopan akhirnya membuka percakapan. "Arman, kami sudah cukup lama menunggu keputusan dari keluarga kalian. Kami berharap hari ini ada kepastian terkait perjodohan ini."
Arman terlihat sedikit tersipu, namun sebelum ia bisa menjawab, Tama menyela. Dengan suara yang penuh keyakinan, ia berkata, "Pak Rahmat, Bu, dan Nisa, saya menghargai kedatangan kalian hari ini. Tapi, saya harus berbicara dengan jujur." Semua mata kini tertuju padanya, suasana berubah tegang.
"Saya tidak bisa menerima perjodohan ini," lanjut Tama dengan tegas. "Saya menghormati keputusan orang tua saya, dan saya sangat menghargai Nisa serta keluarganya. Tapi, saya sudah punya seseorang yang saya cintai. Saya akan menikah dengan wanita itu."
Ruangan seketika hening. Arman menatap putranya dengan mata terkejut, sementara Rahmat tampak terpaku di tempatnya, tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Nisa tetap diam, namun ekspresinya berubah, tampak kecewa meski ia berusaha untuk tetap tenang. Ibunya terlihat sedikit khawatir.
"Apa maksudmu, Tama?" Arman akhirnya berbicara dengan nada bingung. "Kita sudah membicarakan ini. Kamu tahu bahwa perjodohan ini penting untuk kedua keluarga."
Tama mengangguk pelan. "Saya tahu, Ayah. Tapi, ini bukan tentang keluarga, ini tentang hidup saya. Saya mencintai orang lain, dan saya sudah memutuskan untuk bersamanya."
Rahmat akhirnya angkat bicara, suaranya rendah namun berisi kekecewaan yang mendalam. "Tama, kamu mengerti betapa pentingnya kesepakatan ini bagi keluarga kami? Kamu sudah membuat kami menunggu, dan sekarang kamu menolak tanpa memberi kami kesempatan untuk mengetahui alasanmu sebelumnya."
Tama menunduk sejenak, merasa bersalah, namun tetap teguh dengan keputusannya. "Saya minta maaf, Pak Rahmat. Saya tidak bermaksud menyakiti atau merendahkan keluarga Anda. Tapi saya tidak bisa menjalani pernikahan ini tanpa cinta."
Nisa akhirnya angkat bicara, suaranya tenang namun penuh makna. "Kalau memang ini keputusanmu, Tama, aku mengerti. Aku tidak ingin menikah dengan seseorang yang hatinya sudah milik orang lain. Lebih baik semuanya jelas sekarang daripada terlambat."
Tama mengangguk, bersyukur bahwa Nisa bisa memahami keputusannya. Ia kemudian melihat ke arah keluarganya, terutama ayahnya, yang tampak sangat kecewa. Namun, Tama tahu bahwa ini adalah pilihan yang benar bagi dirinya.
Rahmat menghela napas panjang, mencoba menerima kenyataan yang ada. "Baiklah, kalau ini keputusanmu, Tama. Meski kami merasa terhina oleh proses ini, kami akan menghormati pilihanmu."
Keluarga Nisa pun memutuskan untuk berpamitan. Suasana di rumah Tama menjadi tegang, namun keputusan telah dibuat. Tama tahu bahwa setelah ini, hubungan antara keluarganya dan keluarga Nisa mungkin tak akan pernah sama lagi. Tetapi, ia juga tahu bahwa ia harus mengikuti hatinya, dan tak ada yang bisa mengubah itu.
Dalam diam, hati Nisa hancur mendengar penolakan Tama. Meskipun ia mencoba bersikap tenang di depan semua orang, di dalam hatinya, ada rasa sakit yang tak tertahankan. Tak ada yang tahu, bahkan orang tuanya sendiri, bahwa sejak pertama kali mendengar namanya disebut sebagai calon suaminya, Nisa sudah mulai mencari tahu tentang Tama.
"Sudah, Nak, jangan menangis," bisik sang Ibu mencoba menenangkan putrinya yang menangis.
Nisa menangis di pelukan sang Ibu. Dia tak pernah bertemu langsung dengan Tama sebelumnya, namun dari informasi yang didapatnya, Nisa merasa ada sesuatu yang berbeda tentang pria itu. Tama bukan hanya seorang pria yang sukses di kariernya, tapi juga dikenal sebagai pribadi yang hangat dan baik hati. Setiap cerita yang ia dengar tentang Tama membuatnya semakin penasaran dan tanpa sadar, ia mulai mengaguminya. Diam-diam, Nisa membayangkan bagaimana hidupnya jika benar-benar menikah dengan Tama, dan sedikit demi sedikit, perasaan itu berubah menjadi cinta.
"Mereka benar-benar keterlaluan!" gerutu Rahmat kesal saat melihat putrinya menangis. "Aku tidak akan diam saja!" lanjut Rahmat.
"Ayah ... Ibu ... kalau boleh Nisa jujur, sebenarnya, Nisa sudah jatuh cinta dengan Tama. Itulah mengapa Nisa menangis, hati Nisa sangat sakit sekali, Bu ..." rintih Nisa seraya memegang dadanya yang terasa sesak.
To be continued......